Sekali Lagi, Omnibus Law untuk Masyarakat Adat

Penulis : Redaksi Betahita

Analisis

Rabu, 19 Februari 2020

Editor : Redaksi Betahita

R. Yando Zakaria
Pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat Yogyakarta

Di tengah debat tentang omnibus law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, orang seakan-akan alpa pada satu hal: kebijakan itu justru menghalangi masyarakat adat mengoptimalkan tanah adatnya. Hasil kajian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (2018) di enam wilayah komunitas adat menunjukkan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber alam lestari mencapai Rp 159,21 miliar per tahun dan jasa lingkungan Rp 170,77 miliar per tahun.

Peluang untuk mengoptimalkannya dibuka sejak Presiden Joko Widodo melaksanakan reforma agraria. Program ini meliputi 9 juta hektare lahan melalui proses legalisasi dan redistribusi aset serta 12,7 juta hektare melalui redistribusi akses melalui program perhutanan sosial. Namun capaian target perhutanan sosial masih relatif rendah, sekitar 30 persen, dan redistribusi aset hanya sekitar 1 persen. Perlu upaya khusus untuk meningkatkannya.

Namun, alih-alih sebagai penyerap tenaga kerja, daerah tempat sumber daya alam bernilai tinggi itu justru menjadi kantong kemiskinan. Menurut Biro Pusat Statistik, pada 2014 saja, hampir 8,65 juta rumah tangga atau lebih dari 43 juta jiwa yang masih melakukan perladangan berpindah. Angka ini meningkat hampir 10 persen dibanding dekade sebelumnya.

Puluhan warga Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, menyampaikan pernyataan sikap, dalam konflik lahan yang terjadi akibat masuknya perkebunan kelapa sawit swasta di lahan yang dianggap sebagai wilayah adat Kinipan, 19 Januari 2019 lalu,/Foto: Betahita.id

Pada 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis data bahwa sekitar 12 juta rumah tangga atau sekitar 60 juta jiwa hidup di pinggiran hutan. Angka ini tidak jauh berbeda dengan klaim AMAN, yang memperkirakan 70 juta jiwa.

Angka tersebut berbanding lurus dengan data-data jumlah desa yang penduduknya masih menggantungkan penghasilannya pada sumber daya hutan. Dalam Peta Jalan Reformasi Tenurial Kehutanan (2012) tercatat bahwa sekitar dua pertiga dari total desa masih bergantung pada hutan. Berita buruknya, hampir dua pertiga penduduk di dalam atau sekitar kawasan hutan itu tergolong penduduk miskin.

“Hutan Kaya, Rakyatnya Miskin”, begitu antropolog senior Nancy L. Peluso memberi judul disertasi doktoralnya. Hal itu terjadi karena masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan justru tidak terlibat dalam, bahkan diasingkan dari, sistem pengelolaan hutan.

Dokumen Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun 2009 mencatat sekitar 30 persen desa, yang saat itu sekitar 70 ribu desa, memiliki konflik tata batas dengan kawasan hutan yang ditetapkan secara sepihak (melalui mekanisme penunjukan). Sedangkan desa yang telah memiliki tata batas desa definitif, menurut Badan Informasi Geospasial (2017), jumlahnya kurang dari lima persen.

Pengucuran dana desa atau alokasi dana desa memang memungkinkan desa memiliki dana pembangunan 5-7 kali lipat dari sebelumnya. Tapi ketidakpastian wilayah membuat penggunaan dana itu tidak optimal (KSP, 2017). Ironisnya, data pada 2014 menunjukkan bahwa 97 persen izin pemanfaatan kawasan hutan justru diberikan kepada korporasi.

Maka, tidak mengherankan jika konflik agraria tak kunjung tertangani dan malah terus bertambah. Padahal, sebagaimana ditunjukkan hasil kajian Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) pada 2018, konflik agraria telah meningkatkan beban pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari penduduk sekitar 40 persen dibanding masa sebelum konflik. Hal ini baru awal proses pemiskinan struktural yang lebih dahsyat jika gejala meningkatnya jumlah anak putus sekolah tidak bisa diatasi.

Konstitusi mengakui hak-hak masyarakat adat, termasuk hak tanah ulayatnya. Namun hak ulayat itu diakui jika keberadaan masyarakat adat ditetapkan melalui peraturan daerah. Dalam praktiknya, selain tidak mudah dan tidak murah, kebijakan itu tidak sesuai dengan realitas sosio-antropologis di lapangan (Zakaria, 2018).

Upaya Kementerian Kehutanan menetapkan peta indikatif wilayah/hutan adat sekitar 6 juta hektare tentu perlu diapresiasi. Untuk sementara, wilayah yang dicadangkan itu aman dari kemungkinan pemberian izin untuk sektor swasta. Namun, mengingat pengadaan peraturan daerahnya tidak mudah dan tidak murah, sampai kapan aset itu dibiarkan “menganggur”?

Jika pemerintah serius menciptakan lapangan kerja, hambatan untuk memanfaatkan sumber daya hutan itu perlu segera dihilangkan. Untuk percepatan perhutanan sosial bisa diciptakan jalur pintas yang memungkinkan lahan-lahan hutan yang dicadangkan itu segera saja digarap oleh desa tanpa proses permohonan izin segala. Proses penyusunan dokumen perencanaan dan pengembangan usahanyalah yang nanti perlu disupervisi dan diawasi.

Untuk pengakuan hutan adat cukup dengan mencabut Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan dan menggantinya dengan mekanisme pengadministrasian pengakuan hak yang lebih sederhana dan murah. Metode etnografi dapat digunakan untuk membuktikan apakah klaim keberadaan suatu masyarakat adat benar atau tidak benar adanya. Jika ada kemauan, dua solusi itu dapat menjadi bagian dari Undang-Undang Cipta Kerja.

TEMPO.CO | TERAS.ID