Izin Tambang Emas Tumpang Pitu Tak Bakal Dicabut, Warga Kecewa

Penulis : Redaksi Betahita

Tambang

Jumat, 28 Februari 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Kekecewaan masih menaungi para warga Desa Sumberagung Kabupaten Banyuwangi, yang beberapa hari terakhir menggelar aksi penolakan tambang Tumpang Pitu di bawah terik matahari dan diguyur hujan lebat, di depan Kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim).

Beragam bentuk aksi yang dilakukan warga, termasuk mogok makan, tidak berhasil membuat Gubernur Jatim Kofifah Indar Parawansa tergerak untuk menemui peserta aksi, apalagi memenuhi tuntutan mereka.

Baca juga: Warga Penolak Tambang Emas Banyuwangi Ancam Mogok Makan

Jerih payah warga penolak tambang Banyuwangi ini agaknya juga sulit terbayar. Lantaran, pemerintah Provinsi Jatim tidak berencana  mencabut izin pertambangan yang dituntut warga. Pemerintah menganggap tidak ada yang salah dengan keberadaan perusahaan-perusahaan tambang emas yang beraktivitas di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya.

Puluhan warga Desa Sumberagung, Banyuwangi dan warga simpatisan berasal dari daerah lainnya menggelar aksi tolak tambang di depan kantor Gubernur Jatim, 20 Februari 2020./Foto: Forum Rakyat Banyuwangi

Kepala Dinas ESDM Provinsi Jatim, Setiajit mengatakan, keberadaan dan aktivitas penambangan emas oleh PT Bumi Sukses Indonesia (BSI) dan PT Damai Sukses Indonesia (DSI) di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya, tidak menyalahi ataupun melanggar aturan.

Setiajit mengatakan, kedua perusahaan itu telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah mendapat izin usaha pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) dari pemerintah daerah setempat.

“Enggak ada pelanggaran, semua peraturan perundangan dilaksanakan dengan baik. AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) sudah dilakukan. Ditetapkan oleh Mengeri LHK. IUP OP ditetapkan oleh Bupati Banyuwangi. Pajak dibayar tertib di tahun 2019 sebesar Rp674 miliar,” kata Setiajit, Rabu (26/2/2020).

Setiajit menegaskan, izin usaha pertambangan PT  BSI dan PT DSI tidak akan dicabut. Karena pada Selasa (18/2/2020) pekan lalu, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan pihak yang melakukan aksi penolakan tambang Tumpang Pitu dan pertemuan tersebut telah menghasilkan kesepakatan.

Kesepakatan dimaksud adalah dikeluarkannya areal pemukiman, lokasi evakuasi bencana, dan beberapa areal lainnya, dari wilayah izin usaha pertambangan yang akan dieksplorasi oleh perusahaan. Namun, saat ditanya dengan siapa saja persisnya pertemuan tersebut dilakukan, Setiajit hanya menyebut pertemuan tersebut dilakukan dengan kelompok Fitri Cs.

“Tidak akan dicabut (izin pertambangan). Saya nyatakan bahwa Dinas ESDM akan mengeluarkan, 1. Pemukiman, 2. Lokasi evakuasi bencana, 3. Kawasan wisata, 4. Resapan air dan 5. Fasum (fasilitas umum) dari wilayah izin usaha pertambangan eksplorasi. Dan mereka yang aksi sepakat. 18 Februari. Saya terima sendiri di ruang Binaloka Pemprov  dengan Fitri Cs.”

Tak banyak kata yang disampaikan Gubernur Jatim, Kofifah Indar Parawansa, saat dimintai komentarnya terkait aksi mogok makan dan berbagai aksi yang dilakukan para warga penolak tambang Tumpang Pitu di depan Kantornya. Kofifah hanya mengarahkan agar wawancara dilakukan dengan Kepala Dinas ESDM Provinsi Jatim.

"Silakan ke Kadis ESDM. Mereka (para warga penolak tambang) sudah tiga kali diterima Kadis ESDM," kata Kofifah Indar Parawansa, Selasa (25/2/2020).

Fitri Cs bukan Kelompok Aksi di Depan Kantor Gubernur

Pernyataan Setiajit dan Kofifah Indar Parawansa ini bertolak belakang dengan pernyataan pihak-pihak yang hingga Rabu (26/2/2020) ini tetap menggelar berbagai aksi di depan Kantor Gubernur Jatim.

Dayat, salah seorang warga Desa Sumberagung yang turut dalam aksi kayuh sepeda Banyuwangi-Surabaya dan aksi di depan Kantor Gubernur Jatim menyebut pertemuan antara Fitri Cs dan Dinas ESDM Provinsi Jatim itu terjadi tanpa sepengetahuan dirinya, maupun warga lain yang hingga kini masih terus menggelar berbagai aksi penolakan tambang Tumpang Pitu di depan Kantor Gubernur Jatim.

Namun demikian, Dayat tidak mau ambil pusing dengan hal itu, karena tujuan perlawanan dan penolakan tambang yang dilakukan warga Sumberagung, mulai dari mendirikan tenda perlawanan di sekitar lokasi tambang, kayuh sepeda Banyuwangi-Surabaya, dan aksi di depan Kantor Gubernur Jatim, termasuk aksi mogok makan, hanya memiliki satu tujuan. Yaitu penyabutan izin usaha pertambangan PT BSI dan PT DSI. Tujuan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi.

"Tentang pertemuan itu, kami tidak mengetahuinya. Dari tujuan kita sejak awal cabut IUP PT BSI dan PT DSI. Jika memang benar ada pertemuan yang  tidak pada tujuan tersebut, siapapun dia, bisa dikatakan oknum," kata Dayat, Rabu (26/2/2020).

Senada dengan yang disampaikan Dayat. Muhammad Afandi, Koordinator Advokasi Walhi Jatim yang selama ini mendampingi dan mendukung warga melawan ekspansi pertambangan di Tumpang Pitu mengaku kaget dan sama sekali tidak tahu menahu tentang adanya pertemuan antara Dinas ESDM Provinsi Jatim dengan pihak yang mengatasnamakan warga penolak tambang Tumpang Pitu, pada Selasa (18/2/2020) pekan lalu itu.

Fandi menegaskan, warga Desa Sumberagung yang melakukan aksi kayuh sepeda Banyuwangi-Surabaya, dan yang melakukan berbagai aksi di depan Kantor Gubernur Jatim, termasuk aksi mogok makan 2 hari lalu (24-25 Februari 2020), sampai saat terakhir belum sekalipun bertemu dengan pihak Dinas ESDM maupun Gubernur. Apalagi membuat kesepakatan apapun dengan pihak Dinas ESDM.

"Massa aksi ini belum pernah bertemu dengan Dinas ESDM, ataupun Gubernur. Tidak pernah buat kesepakatan apapun. Saya dan kawan-kawan mengawal dari waktu (aksi) naik sepeda dari Banyuwangi sampai sekarang. Kami aksi hari pertama hari Kamis (20/2/2020). Kami baru tiba di Surabaya Rabu (19/2/2020) malam," kata Fandi.

"Fitri ini kepala dusun. Tidak ikut (aksi). Sempat gabung (penolakan) terus pisah karena tidak satu jalan. Yang merumuskan untuk kayuh sepeda adalah warga yang bersama kami. Fitri Cs ini nimbrung belakangan. Tapi akhirnya pisah karena berbeda strategi dengan warga yang aksi tadi," kata Fandi.

Aktivitas Pertambangan Langgar Aturan Perundangan

Terlepas dari adanya pertemuan sekelompok warga Sumberagung dengan pihak Dinas ESDM tersebut, Fandi menduga kehadiran dan aktivitas pertambangan PT BSI dan PT DSI telah melanggar aturan perudangan yang berlaku. Pelangaran dimaksud di antaranya

  1. PT BSI dan PT DSI diduga melanggar Perda No.1 Tahun 2018. Sebab dalam aturan tersebut, alokasi ruang untuk pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi, terutama Kecamatan Pesanggaran, tidak dialokasikan untuk zona pertambangan, tetapi untuk zona pelabuhan perikanan, zona pariwisata dan zona migrasi biota.
  2. Keberadaan PT BSI dan PT DSI di wilayah tersebut diduga melanggar Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang berbunyi, setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.
    Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan.
    Sedangkan aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT BSI dan PT DSI, meskipun telah melalui proses studi AMDAL, tidak memiliki analisis risiko bencana. Patut ditegaskan bahwa Pesisir Selatan Banyuwangi adalah kawasan rawan bencana (KRB).
  3. Sejak masuknya PT BSI dan PT DSI di Desa Sumberagung, berbagai masalah sosial-ekologis dan keselamatan ruang hidup masyarakat meningkat. Salah satunya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam.
    Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah (Desa Sumberagung) dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir Desa Sumberagung dan sekitarnya.
    Sejumlah binatang seperti monyet dan kijang juga mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Dan beberapa sumur milik warga mulai mengalami kekeringan, diduga karena penurunan kualitas lingkungan. Hal ini belum ditambahkan dengan sejumlah peningkatan pencemaran dan polusi tanah, udara, suara yang juga cukup signifikan.
    Sementara itu, pada 10 Februari 2020, ditemukan dua bangkai penyu yang terdampar di pesisir Pantai Pulau Merah dan diduga disebabkan oleh aktivitas pertambangan di Gunung Tumpang Pitu. Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, PT BSI diduga melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, pasal 69 ayat 1 huruf (a) yang melarang setiap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
  4. PT BSI dan PT DSI juga diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 35 huruf (k) Undang-Undang itu melarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

Selain persoalan tersebut, lanjut Fandi, kehadiran industri pertambangan di Gunung Tumpang Pitu juga memicu sejumlah persoalan lainnya yang tak kalah penting. Yakni meningkatnya tindak represi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya oleh aparat keamanan negara, dalam kurun waktu 8 tahun (2012-2020) belakangan ini.

"Sejauh ini sedikitnya tercatat telah terjadi 5 bentuk kasus kriminalisasi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya karena berusaha berjuang mempertahankan dan menyelamatkan lingkungannya dengan cara menolak hadirnya kegiatan industri tambang. Dari 5 bentuk kriminalisasi tersebut, sedikitnya 13 warga telah dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan."

Hal tersebut menurut Fandi, bertentangan dengan ketentuan pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang berbunyi, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

PT BSI mengantongi izin IUP Operasi Produksi di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya, di Desa Sumberagung, berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No.188/547/KEP/429.011/2012 tanggal 9 Juli 2012. Izin tersebut seluas 4.998,45 hektare, dan berlaku hingga 25 Januari 2030.

IUP Eksplorasi untuk PT DSI diterbitkan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur No. P2T/83/ 15.01/V/2018 tanggal 17 Mei 2018. Atas putusan tersebut PT DSI telah memperoleh penambahan jangka waktu atas IUP Eksplorasi untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan studi kelayakan dalam IUP yang berlokasi di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur seluas 6.558,46 hektare. IUP Eksplorasi PT DSI berlaku sampai dengan tanggal 25 Januari 2022.

Dari hasil penelusuran diketahui pula PT BSI dan PT DSI merupakan anak usaha PT Merdeka Copper Gold Tbk,. Perusahaan ini  dimiliki oleh Grup Saratoga, Provident, Garibaldi Thohir  dan Pemkab Banyuwangi. Selain itu juga terdapat nama Sakti Wahyu Trenggono (Wamenhan) yang diketahui sebagai pemilik saham.

Di kursi Komisaris, terdapat Edwin Soeryadjaya, Garibaldi Thohir, Dhohir Farizi (suami Yenni Wahid), Heri Sunaryadi, dan Budi Bowoleksono.

Sementara jajaran direksinya  diduduki oleh Tri Boewono, Richard Bruce Ness (Eks Petinggi Freeport Indonesia dan Newmont), Gavin Arnold, Hardi Wijaya Liong, Michael WP Soeryadjaya, Colin Francis M, David Thomas Fowler, dan Chrisanthus Supriyo.