Aksi Tolak Tambang akan Kembali Digelar, jika…

Penulis : Redaksi Betahita

Tambang

Senin, 09 Maret 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Aksi penolakan tambang emas Tumpang Pitu dan sekitarnya, yang dilakukan oleh warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, di depan Kantor Gubernur Jawa Timur telah usai. Namun aksi serupa akan kembali dilakukan bila dalam waktu satu bulan Gubernur Jatim tidak memberi respon atas tuntutan yang disampaikan warga.

Muhammad Afandi, Koordinator Advokasi Walhi Jatim dan pendamping warga Desa Sumberagung melakukan perlawanan ekspansi pertambangan di Tumpang Pitu mengatakan, aksi penolakan tambang emas Tumpang Pitu di depan Kantor Gubernur Jatim sudah selesai dilakukan. Saat ini warga Desa Sumberagung yang sebelumnya ikut aksi kayuh sepeda Banyuwangi-Surabaya hingga Mogok Makan itu telah berada di rumah masing-masing di kampung halamannya.

Baca juga: Izin Tambang Emas Tumpang Pitu Tak Bakal Dicabut, Warga Kecewa

Berbeda dengan saat mereka datang ke Surabaya menggunakan sepeda, para warga Desa Sumberagung kembali ke kampung halaman sejak Sabtu (29/2/2020) lalu dengan menggunakan mobil bak terbuka.

Perwakilan warga Desa Sumberagung penolak tambang emas Tumpang Pitu berfoto bersama dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa usai melakukan pertemuan yang digelar di Surabaya, Jumat 28 Februari 2020. Dalam pertemuan tersebut warga menyampaikan aspriasi dan permohonan tuntutan pencabutan izin tambang PT DSI dan PT BSI./Foto: Istimewa (Khofifah Indar Parawansa).

“Selesai (aksi). Kalau (warga) yang di Surabaya sudah balik ke kampung 29 Februari kemarin. Naik pick up,” kata Muhammad Afandi, Kamis (5/3/2020).

Affandi menuturkan, kepulangan warga penolak tambang ke kampungnya masing-masing di Desa Sumberagung ini ada kaitannya terpenuhinya harapan warga untuk bertemu dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Pertemuan tersebut akhirnya bisa terlaksana pada Jumat (28/2/2020) lalu.

Pada pertemuan itu, kata Affandi, masyarakat menyampaikan aspirasi dan tuntutannya agar Gubernur Jatim bersedia mencabut izin-izin pertambangan yang sudah dikeluarkan untuk PT Bumi Sukses Indonesia (BSI) dan PT Damai Sukses Indonesia (DSI) yang beraktivitas di Tumpang Pitu.

“Sesuai undang-undang, Gubernur harus menjawab, menerima atau menolak permohonan warga. Dalam waktu 1 bulan. Maka kita akan tunggu itu. Dalam pertemuan itu dikatakan Pemerintah Provinsi Jatim akan melakukan evaluasi tambang di Banyuwangi.”

Affandi menegaskan, respon Gubernur Khofifah Indar Parawansa terhadap permohonan yang disampaikan warga akan menjadi penentu sikap warga penolak tambang selanjutnya. Apabila dalam waktu satu bulan sang Gubernur Jatim tidak memberikan respon, maka warga Desa Sumberagung akan kembali menggelar aksi serupa seperti yang beberapa waktu dilakukan di depan Kantor Gubernur Jatim.

Affandi mengungkapkan, meski aksi penolakan tambang di depan Kantor Gubernur Jatim sudah selesai dilakukan, namun penolakan warga terhadap kehadiran tambang, yang kini akan dilakukan di Gunung Salakan, tetap berlangsung. Sejak awal pertengahan Januari 2020 lalu warga melakukan perlawanan ekspansi tambang emas di Gunung Salakan dalam bentuk pendirian Tenda Perjuangan di sekitar lokasi tambang di Desa Sumberagung.

“Masih (dirikan tenda perlawanan). Karena terindikasi tidak ada pernyataan akan menyetop kegiatan pertambangan, maka tenda di kampung terus berdiri. Ada seratusan orang yang ikut aksi dirikan tenda perlawanan.”

Sebelumnya Kepala Dinas ESDM Provinsi Jatim, Setiajit menuturkan, aspirasi dan tuntutan warga penolak tambang Banyuwangi telah diterima langsung oleh Gubernur Jatim, dalam pertemuan yang digelar pada Jumat (28/2/2020) lalu. Tidak ada kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan itu. Meski demikian, dalam pertemuan itu pihaknya juga menyampaikan akan melakukan evaluasi aktivitas tambang emas yang ada di Banyuwangi.

“Tentu yang disampaikan (warga) ke Ibu (Khofifah) ya sama dengan yang disampaikan ke saya. Kalau minta dievaluasi dan diawasi itu merupakan tugas Dinas ESDM maupun Kementerian ESDM dan KLHK yang selalu mengawasi. Sejak mereka saya terima tanggal 18 Februari, lalu tanggal 19 Februari saya sudah tugaskan Inspektur Tambang untuk mengevaluasi dan mengawasi PT BSI dan PT DSI,” kata Setiajit, Kamis (5/3/2020).

Setiajit juga menjelaskan, pihaknya tidak bisa begitu saja mengamini tuntutan warga untuk mencabut perizinan tambang yang dikeluarkan untuk PT BSI dan PT DSI. Karena sejauh ini tidak ada pelanggaran apapun yang dilakukan oleh dua perusahaan tersebut terkait aktivitas pertambangan yang dilakukan di Tumpang Pitu, maupun rencana eksporasi di Gunung Salakan.

“Kalau minta tambang PT BSI ditutup tentu tidak ada indikator pelanggaran UU No. 4 tahun 2009 maupun UU No. 32 Tahun 2009. Saya juga sudah meminta laporan dari Inspektur Tambang yang saya tugaskan ke lapangan, dan kata mereka sampai sekarang tidak ada pelanggaran yang terjadi.”

Terkait persoalan keberadaan PT BSI dan PT DSI di Tumpang Pitu yang tidak sesuai dengan alokasi ruang untuk pemanfaatan wilayah. Termasuk soal status wilayah yang ditambang oleh dua perusahaan tersebut masuk dalam daerah rawan gempa. Hal itu, lanjut Setiajit, bukanlah kesalahan pihak perusahaan.

“Kalau soal status kawasan atau wilayah, itu bukan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan pihak perusahaan. Sehingga hal itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menyebut pihak perusahaan bersalah.”

Setiajit mengaku sedikit serba salah mengambil keputusan terkait isu penolakan tambang Tumpang Pitu ini. Karena, aspirasi warga yang dirinya tampung bukan hanya berasal dari warga penolak tambang saja, namun ada juga aspirasi yang dirinya terima dari warga yang mendukung keberadaan tambang PT BSI dan PT DSI.

“Saya sebenarnya bingung dengan persoalan ini. Warga yang menolak tambang ini banyak, tapi warga yang pro tambang yang datang menemui saya juga banyak. Beberapa waktu lalu saya juga menerima sekitar 350 warga yang pro tambang. Warga pro tambang ini menganggap kehadiran perusahaan di sana itu membantu warga. Banyak warga yang bekerja di perusahaan itu.”

Aksi Penolakan Tambang di Surabaya Sempat Dihadang Ormas

Sebelumnya, aksi penolakan tambang oleh warga Desa Sumberagung di depan Kantor Gubernur Jatim yang digelar sejak 20 Februari hingga 28 Ferbuari itu tidak berjalan mulus begitu saja. Karena, pada Kamis (27/2/2020) lalu, warga penolak tambang yang tengah berkumpul di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dan akan menuju Kantor Gubernur Jatim, sempat mendapat penghadangan dan larangan dari sekelompok warga.

Kedatangan orang yang tidak dikenal yang mengaku berasal dari gabungan ormas itu mengancam warga dari Tumpang Pitu dan Salakan dan kawan-kawan aktivis LBH Surabaya, agar warga dan pendamping tidak lagi melakukan aksi menolak tambang emas di depan kantor Gubernur Jawa Timur. Penghadangan dan ancaman oleh ormas itu membuat aksi yang direncanakan akan dilakukan hari itu terpaksa diurungkan.

Ancaman yang disampaikan oleh ormas tersebut tentu saja memicu kecaman dari lembaga masyarakat sipil yang mendampingi warga. Walhi Jatim mengecam keras tindakan yang sarat dengan kekerasan dan ancaman terhadap warga Banyuwangi dan aktivis LBH Surabaya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Rere Christanto menganggap tindakan yang dilakukan oleh gabungan ormas ini merupakan upaya untuk membungkam suara kritis warga yang menolak tambang emas. Dirinya menilai tindakan berbau premanisme ini menunjukkan semakin menyempitnya ruang demokrasi bagi rakyat yang memperjuangkan hak-haknya.

Menurut Rere, aksi pendudukan di depan kantor Gubernur Jawa Timur yang dilakukan oleh warga Tumpang Pitu dan Salakan sama sekali tidak melanggar hukum. Penolakan warga melalui bentuk aksi pendudukan di depan kantor Gubernur Jawa Timur merupakan bagian dari penyampaian pendapat dan aspirasi warga yang dilindungi oleh Konstitusi.

“Penolakan warga terhadap tambang emas yang akan mengancam lingkungan hidup dan ruang hidup warga, sesungguhnya menjadi bagian dari peran masyarakat di dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” kata Rere, Kamis (27/2/2020).