Langka dan Terancam, Perlindungan 10 Jenis Tumbuhan Ini Dicabut

Penulis : Redaksi Betahita

Biodiversitas

Sabtu, 07 Maret 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Awal Januari 2019, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya mencabut status perlindungan terhadap 10 tumbuhan lewat penerbitan Permen LHK No. P.106 / 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Sejak itu, nasib 10 tumbuhan ini dipertaruhkan, padahal keberadaan spesies-spesies tersebut kini terhitung langka dan terancam.

Baca juga: LIPI: Permen Siti Soal Ulin dan 9 Kayu Langka Perlu Ditinjau

Sepuluh tumbuhan langka itu adalah Agathis borneensis atau damar pilau, Dipterocarpus cinereus atau palahlar mursala, Dipterocarpus littolaris atau palahlar nusakambangan, Upuna borneensis atau upan. Kemudian Vatica bantamensis atau kokoleceran, Beilschmiedia madang atau medang lahu, Eusideroxylon zwageri atau ulin, Intsia palembanica atau kayu besi maluku, Koompassia excelsa atau kempas kayu raja dan Koompassia malaccensis atau kempas malaka.

Pegiat dan peneliti bidang pengelolaan sumber daya alam, Ragil Satriyo menyebut penerbitan PermenLHK No. P.106 tersebut terkesan ganjil. Dirinya menguraikan, keganjilan tersebut salah satunya dilihat dari adanya 8 jenis tanaman yang memiliki keterancaman tinggi, yang dikeluarkan dari daftar jenis tumbuhan dilindungi.

Salah satu pohon ulin yang masih berdiri tegak di hutan pedalaman kalimantan. Ulin saat ini statusnya tidak lagi dilindungi akibat penerbitan PermenLHK P.106 Tahun 2018./Foto: Betahita.id

Delapan tumbuhan ini adalah Agathis borneensis atau damar pilau, Dipterocarpus cinereus atau palahlar mursala, Dipterocarpus littolaris atau palahlar nusakambangan, Upuna borneensis atau upan, Vatica bantamensis atau kokoleceran, Beilschmiedia madang atau medang lahu, Eusideroxylon zwageri atau ulin dan Intsia palembanica atau kayu besi maluku.

“Dari 10 jenis tumbuhan yang dikeluarkan dari daftar tumbuhan dilindungi tersebut 8 jenis di antaranya memiliki tingkat keterancaman tinggi. Yaitu 3 jenis berstatus sangat terancam punah atau Critically Endangered, 2 jenis terancam atau Endangered, 3 jenis rentan atau Vulnerable, berdasarkan IUCN Redlist,” kata Ragil, Kamis (5/3/2020).

Ragil mengatakan, dari 8 jenis tumbuhan dengan keterancaman tinggi tersebut, salah satu di antaranya bahkan pernah dinyatakan punah, namun ditemukan kembali, dan statusnya dikembalikan menjadi sangat terancam punah atau Critically Endangered (CR).

Tumbuhan ini tak lain adalah Dipterocarpus cinereus atau palahlar mursala yang merupakan tumbuhan endemik Sibolga. Data IUCN Redlist, hingga 16 Januari 2017, mencatatkan tumbuhan satu ini tersisa hanya 3 tumbuhan dewasa saja.

“Kemudian, 3 dari 5 jenis endemik, artinya sebaran sangat terbatas, berstatus sangat terancam punah (CR). 3 jenis yang berstatus sangat terancam punah (CR) itu tidak berada di konsesi kawasan hutan alam (IUPHHK-HA), sehingga sangat dipertanyakan dasar dikeluarkannya dari daftar tumbuhan dilindungi.”

Lebih lanjut Ragil menguraikan, 4 jenis tumbuhan yang dikeluarkan dari daftar tumbuhan dilindungi juga sudah disepakati LIPI, para ahli dan beberapa pihak terkait sebagai jenis langka dan terancam punah dalam proses penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK). Sehingga dalam hal ini pelibatan dan pertimbangan dari otoritas keilmuan dalam penerbitan PermenLHK No. P.106 tersebut, menurut Ragil patut dipertanyakan.

“Dasar data yang digunakan dalam penjelasan tidak relevan karena tidak spesifik untuk 10 jenis tumbuhan, tapi berdasar nama kayu perdagangan. Sebagian besar data kelimpahan potensi menunjukkan tren atau kecenderungan jumlah menurun, khususnya Ulin, namun saya heran kenapa justifikasinya malah mencoret Ulin dari daftar dilindungi.”

Selanjutnya, kriteria populasi telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999, tidak diterapkan dengan jelas. Ragil memperkirakan penerbitan Permen LHK Nomor P.106 Tahun 2018 ini akan memperparah eksploitasi jenis kayu bernilai ekonomi dan keterancaman tinggi, salah satunya Ulin, di hutan alam. Karena statusnya sudah tidak lagi dilindungi.

Ragil beberapa waktu lalu telah membuat petisi dan menggalang dukungan penolakan terhadap penerbitan PermenLHK No. P.106 Tahun 2018 tersebut melalui Change.org. Dalam petisinya, Ragil mengecam dan menolak PemenLHK No. P.106 Tahun 2018 yang mencabut Lampiran PermenLHK No. P. 92 Tahun 2018 dan PermenLHK No. P.20 Tahun 2018, khususnya karena tidak lagi mencantumkan beberapa jenis tumbuhan langka yang terancam punah.

Yang dilakukan tanpa keterbukaan informasi serta kajian yang komprehensif, ilmiah, dan tidak memperhatikan aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang masuk dalam kriteria dilindungi sesuai Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 PP. No. 7 Tahun 1999.

Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup yang kini juga menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Bambang Hendroyono, kepada wartawan pada pertengahan 2019, membantah kabar bahwa lembaganya mengeluarkan kayu ulin dari daftar dilindungi tanpa rekomendasi.

Menurut dia, sudah ada kajian dari Kementerian Lingkungan Hidup sebelum mengeluarkan kayu tersebut sehingga bisa dieksploitasi. "Jadi kami tidak mengeluarkan tanpa dasar," ujarnya ketika ditemui wartawan di Kantor Staf Presiden seperti dimuat majalah Tempo, 3 Maret 2020 lalu.