Perjuangkan Lahan, Warga Penyang Malah Dituding Curi Sawit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Jumat, 13 Maret 2020

Editor : Redaksi Betahita

BETAHITA.ID -  Sengketa lahan berkepanjangan antara warga Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan perusahaan perkebunan sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) berujung pada penangkapan oleh polisi.

Beberapa waktu lalu, 2 warga Desa Penyang, dan seorang warga Desa Bangkal Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, ditangkap, dengan tuduhan pencurian buah sawit.

Baca juga: Petani Sawit Mandiri di Sintang Butuh Dukungan

Beberapa aktivis lingkungan menganggap penangkapan terhadap Dilik dan Hermanus warga Desa Penyang, serta James Watt warga Desa Bangkal ini tidak seharusnya dilakukan. Karena ada riwayat konflik lahan yang harus diperhatikan. Pemanenan buah sawit itu dilakukan warga di atas tanah warga Desa Penyang yang diserobot oleh perusahaan.

Pada 22 Januari 2020 lalu warga Desa Penyang melakukan panen massal buah sawit di lahan milik warga yang diduga diserobot oleh PT HMBP II./Foto: Dokumentasi Save Our Borneo.

Direktur Save Our Borneo (SOB), Syafrudi Mahendra mengatakan, tindakan yang dilakukan Polda Kalteng sangat disayangkan. Karena menurut Syafrudin, pokok persoalan yang memicu warga melakukan pemanenan adalah sengketa lahan antara masyarakat dan korporasi perkebunan besar swasta Sawit, PT HMBP (Best Group).

"Jadi sangat terlihat jelas keberpihakan aparat negara ini kemana. Dan ini terus terjadi berulang di mana-mana di setiap wilayah di Kalteng yang terdapat perkebunan besar swasta sawit. Sampai sekarang kami masih meyakini ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap warga yang sedang memperjuangkan haknya," kata Syafrudin, Kamis (12/3/2020).

Raden Ariyo Wicaksono

Spanduk kain yang dipasang warga Desa Penyang yang berisi tuntutan agar PT HMBP membebaskan Dilik dan Hermanus yang dilaporkan perusahaan dan ditangkap oleh Polda Kateng dengan tuduhan melakukan pencurian buah sawit./Foto: Dokumentasi Save Our Borneo

Syafrudin mengatakan, ada riwayat panjang yang melatarbelakangi aktivitas pemanenan buah sawit yang dilakukan warga. Pemanenan buah sawit yang berujung pada kriminalisasi warga ini bukan dilakukan di atas lahan milik PT HMBP. Melainkan di atas lahan milik warga Desa Penyang yang sudah sejak lama diserobot oleh perusahaan.

Diuraikannya, kurang lebih sejak 2006 masyarakat Desa Penyang dan Desa Tanah Putih, telah melakukan berbagai upaya untuk menuntut tanah mereka kembali kepada PT HMBP. Hal itu dikuatkan atas hasil peninjauan lapangan oleh Panitia Khusus (Pansus) Perkebunan Besar Swasta (PBS) Kelapa Sawit dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotim yang menemukan, bahwa PT HMBP melakukan penanaman di luar batas HGU seluas kurang lebih 1.865,8 hektare.

"Kemudian, Bupati Kotim membuat surat Nomor 525/498/Ek.SDA/X/2010 tanggal 12 Oktober 2010 dan surat Nomor 525/423.a/Ek.SDA/VIII/2011 tanggal 15 Agustus 2011 yang ditujukan ke pada Direktur PT HMBP. Pada intinya Bupati Kotim menyatakan, bahwa PT HMBP telah bekerja di luar HGU. Kemudian meminta PT HMBP untuk mengembalikan lahan warga di luar HGU tersebut serta memperingatkan PT HMBP agar bekerja di dalam izin yang diberikan."

Selanjutnya, masih kata Syafrudin, pada 9 Maret 2011, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) juga menyampaikan surat kepada Direktur PT HMBP untuk menidaklanjuti surat dari Bupati Kotim atas pengaduan masyarakat Desa Penyang yang berpotensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

 Raden Ariyo Wicaksono

Ratusan warga Desa Penyang turun ke lokasi lahan sengketa dan meminta Dilik dan Hermanus yang ditahan Polda Kalteng untuk dilepaskan./Foto: Dokumentasi Save Our Borneo.

Di samping itu, pada 15 Oktober 2019 pihak PT HMBP melalui Manager Legal, M. Wahyu Bima Dhakta dan Supervisor Legal M. Arif Hidayat NST, bertindak untuk dan atas nama PT HMBP membuat pernyataan bersedia menyerahkan/memitrakan lahan seluas 117 hektare di luar HGU tersebut kepada masyarakat Desa Penyang.

"Maka berangkat dari sinilah warga Desa Penyang menganggap lahan seluas 117 hektare di luar HGU PT HMBP itu menjadi milik mereka dan memanen buah sawit di atas lahan tersebut," ungkap Syafrudin.

Lebih lanjut Syafrudin mengatakan, dikarenakan pihak PT HMBP sejak tahun 2010-an tidak mau melaksanakan semua rekomendasi Pemda dan pansus DPRD, maka pihaknya akan terus mendorong agar warga Penyang mendapatkan legitimasi soal lahan tersebut dan berharap ada putusan pengadilan yang menyatakan lahan 117 itu dikembalikan ke warga.

"Oleh karena itu kami akan terus mendorong warga untuk melakukan gugatan perdata. Dan kami dari koalisi telah menyiapkan penasehat hukum handal untuk mendampingi warga Penyang ini. Di antaranya penasehat hukum dari Kairos Law & Firm, LBH Palangka Raya, dan beberapa pengacara dari Jakarta yang telah menyatakan siap mendampingi kasus ini."

Syafrudin mengatakan, SOB bersama sejumlah lembaga masyarakat sipil lainnya, yakni  Walhi, Walhi Kalteng, Greenpeace, Sawit Watch, Kontras, LBH Palangka Raya, AMAN Kalteng dan sejumlah lembaga lainnya menyampaikan tuntutan, antara lain meminta Polda Kalteng segera membebaskan Dilik, Hermanus dan James Watt dan menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat dan pendamping masyarakat yang sedang berjuang untuk mendapatkan kembali tanahnya.

Mereka juga mendesak Polda Kalteng untuk menarik seluruh anggota polisi dari lahan konflik, minta Bupati Kotim untuk segera menyerahkan lahan seluas 117 hektare di luar HGU PT. HMBP kepada masyarakat Penyang, dan mendesak PT HMBP untuk mencabut laporan polisi terhadap Dilik, Hermanus dan James Watt, karena lahan tersebut di luar HGU.

Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Raden Arif Nur Fikri mengatakan, penangkapan dua warga Penyang dan seorang warga Bangkal ini tidak bisa dilepaskan dari upaya PT HMBP menguasai lahan masyarakat sejak 2006.

Raden Ariyo Wicaksono

Beberapa hari sebelum melakukan panen massal, tepatnya pada 17 Januari 2020, warga Desa Penyang melakukan ritual hinting pali dan menutup akses jalan dengan bambu dan rotan./Foto: Dokumentasi Save Our Borneo.

"Kalau tuduhannya adalah pencurian buah sawit, itu aneh. Karena masyarakat ini sudah 4 kali melakukan pemanenan. Dan setiap kali melakukan proses pemanenan, selalu diinfokan kepada Polres Kotim. Kenapa baru pemanenan yang keempat mereka ditangkap. Kemudian proses penyidikan ini kan juga bisa dilakukan oleh Polres Kotim. Kenapa harus jauh-jauh dilakukan oleh Polda?” kata Arif, Rabu (11/3/2020).

Lebih lanjut Arif menguraikan, dalam kasus ini diketahui ada pihak yang mengatasnamakan diri sebagai pendamping hukum yang kemudian diberi kuasa oleh warga untuk mendampingi warga memperjuangkan tanah yang dirampas perusahaan. Namun, belakangan diketahui pendamping hukum ini diduga malah menguasai 117 hektare lahan milik warga Penyang. Dugaan itu berdasarkan adanya pembentukan koperasi di atas lahan warga tanpa sepengetahuan warga.

"Pertanyaannya, kenapa pendamping ini bisa mengajukan pembentukan koperasi kelompok tani di atas lahan 117 hektare, dengan menginformasikan ke perusahaan? Kalau lahan itu sudah milik si pendamping, seharusnya yang melaporkan itu si pendamping. Ini kenapa pihak perusahaan yang melaporkan? Ini aneh.”

Terpisah, Kepala Kebun PT HMBP Rio Sandra M, pelapor kasus pencurian yang mengakibatkan Dilik, Hermanus dan James Watt ditahan,  mengatakan, kebun sawit seluas 117 hektare yang disengketakan dan dipanen oleh warga Penyang merupakan milik perusahaan.

Dirinya tidak bersedia menjelaskan soal konflik lahan antara PT HMBP dengan warga Penyang. Rio mengaku tidak mengetahui secara mendalam soal konflik lahan dimaksud.

“Itu memang lahan perusahaan. Dari awal saya di sini yang saya tahu itu milik perusahaan. Karena selama ini yang merawat (lahan) adalah perusahaan. Tapi yang lebih paham soal konflik itu adalah pihak Legal,” kata Rio, Kamis (12/3/2020).

Di salah satu postingan LBH Palangka Raya di media sosial Facebook, Kepala Bidang  Humas Polda Kalteng, Kombes  Hendra Rochmawan  mengatakan, tindakan Kepolisian terhadap James Watt dan Dedi tidak ada kaitan dengan konflik sengketa lahan antara masyarakat dengan PT HMBP II, tetapi karena murni kriminalitas terkait dengan kasus pencurian buah sawit .

Hendra Rochmawan   juga menerangkan, penyidik sudah menerbitkan 2 kali panggilan kepada James dan Dedi. Yaitu, panggilan I pada tanggal 24 Februari untuk jadwal periksa tanggal 26 Februari 2020. Namun yang bersangkutan minta pemeriksaan diundur tanggal 27 Februari 2020. Akan tetapi pada tanggal tersebut yang bersangkutan tidak hadir.

"Panggilan II tanggal 28 Februari 2020 untuk jadwal riksa tanggal 2 Maret 2020 yang diterima oleh Ketua RT.05 Desa Penyang yang dititipkan langsung ke Untung Jinu karena James Watt & Dedi S tidak ada di tempat," kata Hendra Rochmawan mengomentari salah satu postingan LBH Palangka Raya di media sosial Facebook, Minggu (8/3/2020).

Lebih lanjut Kombes Pol Hendra Rochmawan menuturkan, ditangkapnya James Watt dan Dedi S di Jakarta pada 7 Maret 2020 adalah bukti bahwa keduanya selama ini tidak kooperatif memenuhi panggilan dan memilih meninggalkan Sampit, Kotim, menuju Jakarta. Hasil pemeriksaan terhadap Dedi S untuk sementara cukup sebagai saksi dan untuk James Watt sudah terpenuhi alat bukti untuk ditetapkan sebagai tersangka.

"Bagi saudara-saudara yang mau menyampaikan komplain silahkan melaporkan ke Div Kum Polda Kalteng. Terimakasih."

Sebelumnya diketahui, dua anggota masyarakat adat Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotim, Dilik dan Hermanus, serta satu orang masyarakat adat Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, James Watt ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polda Kalteng. Ketiganya dikenakan Pasal 363 KHUPidana dan Pasal 55 KUHPidana tentang pencurian  dan turut serta melakukan pencurian.

Dilik dan Hermanus  ditangkap oleh Polda Kalteng pada 17 Februari 2020 setelah melakukan pemanenan buah sawit di atas lahan seluas 117 hektare, yang warga anggap sudah diserahkan perusahaan berdasarkan pernyataan tertulis pihak Manager Legal PT HMBP tertanggal 15 Oktober 2019.

Berselang 10 hari kemudian, pada 27 Februari, 11 warga Penyang yang tergabung dalam kelompok tani Sahai Hapakat diketahui ditangkap oleh pasukan Brimob dan digelandang ke Polres Kotim. Beberapa di antaranya diduga mengalami penganiayaan. Namun 11 warga tersebut kemudian dilepaskan kembali.

James Watt yang sejak awal mendampingi dan membantu perjuangan warga Desa Penyang itu ditangkap bersama Dedi S di mess Walhi Jakarta. Penangkapan James Watt dan Dedi ini dilakukan oleh sedikitnya 15 petugas polisi dari Polda Kalteng.