Syarat Kayu Legal Dicabut, Pembalakan Liar Dikhawatirkan Marak

Penulis : Kennial Laia

Deforestasi

Rabu, 01 April 2020

Editor : Redaksi Betahita

BETAHITA.ID - Sejumlah organisasi yang bergerak di bidang pemantauan hutan mengkritik peraturan baru pemerintah yang mencabut dokumen V-Legal sebagai syarat ekspor produk kehutanan. Pencabutan dokumen itu dikhawatirkan mengembalikan maraknya pembalakan liar di Indonesia.

Peraturan itu dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada 27 Februari 2020, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Aturan yang berlaku efektif 27 Mei 2020 ini mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2016 yang mengatur kewajiban melampirkan dokumen V-Legal dalam seluruh rantai ekspor kayu.

Menurut Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhammad Kosar, aturan itu membebaskan perusahaan kayu dari kewajiban melampirkan lisensi V-Legal. Akibatnya, kayu ilegal berpotensi besar masuk ke dalam pasar.

“Peraturan ini membuka peluang maraknya pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal,” kata Kosar kepada Betahita, Selasa, 31 Maret 2020.

Tanda legalitas kayu di logpond PT Tanjung Redeb Hutani/Foto: Istimewa

V-Legal menyatakan bahwa produk ekspor harus memenuhi ketentuan verifikasi legalitas kayu, yang dikeluarkan oleh lembaga verifikasi legalitas kayu (LVLK) melalui Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dokumen V-Legal juga memastikan keterlacakan sumber kayu dan telah menjadi bagian dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang dirintis sejak 2003.

Pada 2016, SVLK diakui Uni Eropa sebagai dasar impor kayu Indonesia ke Uni Eropa melalui lisensi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT). Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang memiliki sistem legalitas kayu yang diakui Uni Eropa.

"Hilangnya V-Legal dari persyaratan itu meruntuhkan kredibilitas Indonesia sebagai negara pelopor dalam perbaikan tata kelola hutan," kata Kosar. 

Peneliti Environmental Investigation Agency Mardi Minangsari mengatakan, aturan itu merupakan langkah mundur dalam tata kelola hutan Indonesia.

"Ini blunder. Karena perjuangan Indonesia (dalam tata kelola hutan) sudah hampir 20 tahun. Dan hingga saat ini pencapaian itu diakui di seluruh dunia. Apakah hal ini tidak dihitung oleh pemerintah ketika menerbitkan aturan ini?" kata Mardi. 

Menurut Mardi, aturan itu menjadi upaya melemahkan SVLK. "Kalau dibilang SVLK atau dokumen V-Legal sebagai hambatan ekspor, pasar akan bereaksi. Akan ada ketidakpastian," katanya. 

Direktur Media dan Komunikasi Auriga Syahrul Fitra mengatakan, aturan baru itu bertentangan dengan perjanjian kemitraan sukarela (VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa. Pasal 10 VPA itu menyebut, Indonesia harus memberlakukan SVLK untuk kayu yang diekspor ke negara non-Uni Eropa dan dijual di pasar domestik.

“Dampak dihilangkannya dokumen V-Legal sebagai persyaratan ekspor dalam Permendag 15/2020 akan menyebabkan Indonesia melanggar perjanjian VPA tersebut,” ujar Syahrul.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengatakan kekhawatiran tersebut karena salah persepsi. Menurutnya, penghapusan V-Legal hanya akan berlaku di industri hilir, seperti furnitur dan kayu olahan. 

"Untuk produk hulu (bahan baku kayu) sebanyak 42 HS (harmonized system) tetap diwajibkan sehingga produk hilir secara otomatis harus menggunakan bahan baku yang (sudah memiliki) V-Legal,” kata Nurwan kepada Betahita, Selasa, 31 Maret 2020.

Nurwan menambahkan, selama ini industri skala mikro, kecil, dan menengah dipersulit oleh sertifikasi SVLK. Menurutnya, aturan itu akan memudahkan industri skala kecil dan menengah dalam berusaha. Yang harus diawasi adalah pembalakan liar dan penjual produk hulu, katanya. 

"Adanya pencampuran kayu legal dan tidak, artinya ada pihak yang nakal. Karena itu pengawasannya harus diperketat,” ujarnya.