Peneliti: Siasat Curang, Ini 5 Titik Lemah Regulasi Tambang

Penulis : Gilang Helindro

Tambang

Kamis, 02 April 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Lubang beracun bekas galian tambang batu bara tidak berhenti membunuh. Menurut Jaringan Tambang (JATAM) sampai 2019 terdapat 3.033 lubang bekas tambang tersebar di Kalimantan dan Sumatera.

Lima tahun terakhir 140 korban jiwa meninggal di bekas lubang tambang tersebut. 

Iqbal Damanik, peneliti Auriga Nusantra mengatakan, ribuan lubang bekas tambang tanpa reklamasi adalah ulah perusahaan batu bara dengan mengakali kelemahan pada regulasi.

"Sementara rencana pengesahan Omnibus Law dan revisi Undang-undang Minerba hanya akan memperparah daya rusak terhadap masyarakat dan lingkungan," kata Iqbal, Rabu, 1 April 2020, setelah media briefing daring dalam peluncuran laporan dengan judul Curang di Lubang Tambang.

Salah satu bekas lubang tambang di Kalimantan Selatan/foto:Auriga Nusantara

Laporan terbaru Auriga Nusantara, "Curang di Lubang Tambang" ini diluncurkan bersama sejumlah anggota gerakan #BersihkanIndonesia mengungkapkan lima kelemahan pada regulasi jaminan reklamasi dan pascatambang. Analisa berbagai peraturan yang mengatur sektor izin tambang menemukan unsur kriminogenik, atau kebijakan yang menciptakan situasi terjadinya kejahatan. Dalam hal ini, peraturan yang diterbitkan pemerintah sangat longgar dan rentan dikorupsi.

Iqbal mengatakan, ada lima titik lemah regulasi tambang. Pertama, tidak ada uji kepatuhan penempatan dana dan pascatambang dalam mekanisme perizinannya. Kedua, tidak memadainya instrumen pengawasan dan pengendalian terhadap kewajiban reklamasi dan pascatambang serta penempatan dana jaminannya.

Ketiga, pengaturan mengenai kewajiban reklamasi dan pascatambang tidak diarahkan untuk menjadi bagian dari aktivitas usaha. Keempat, defenisi kegiatan reklamasi dalam undang-undang diperluas sehingga memberikan ruang bagi pengusaha menghindari kewajiban untuk mengembalikan pada kondisi lingkungan awal.

Terakhir, Pengaturan dana jaminan tidak didesain sebagai instrumen untuk jaminan perlindungan lingkungan.

Padahal rehabilitasi atau pemulihan eks galian tambang merupakan kewajiban perusahaan melalui mekanisme penyetoran dana jaminan reklamasi (jamrek) dan pascatambang yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.

Menurut Iqbal, dalam aturannya, deposito atau penempatan dana jamrek dan pascatambang menjadi salah satu persyaratan wajib bagi pengusaha untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP).

Deposito ini ternyata tidak dijadikan sebagai syarat utama penerbitan izin bagi perusahaan tambang sebelum mendapat IUP OP. Akibatnya, perusahaan bisa saja menerbitkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sebelum menyetor jaminan reklamasi.

"Ada aturan yang memberi celah untuk menghindari kewajiban tersebut, seperti Kepmen ESDM Nomor 1827 Nomor 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik. Peraturan ini membolehkan lubang bekas tambang menjadi area peruntukkan lain," katanya.

Akibatnya, banyak perusahaan mengabaikan upaya reklamasi dengan dalih lubang tambang bisa diubah menjadi sumber air atau kolam ikan bagi masyarakat. Masalah perizinan lainnya juga terletak pada penerbitan sertifikasi clear and clean (CnC) yang sembrono.

Hingga Juni 2018, Direktorat Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, dari total 10.099 IUP di Indonesia, sebanyak 2.569 telah menerima sertifikat CnC. Namun, ternyata 60% (1,569 izin) penerima CnC belum memenuhi penempatan dana jaminan reklamasi, yaitu sebanyak 1.122 IUP mineral dan 447 IUP Batubara.

Padahal deposito dana jamrek dan pascatambang merupakan prekondisi untuk mendapatkan sertifikasi CnC.

Menurut Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 tahun 2019, hanya 282 dari 4,726 perusahaan pemegang izin yang mendepositokan dana jaminan reklamasi dan pascatambang. Sementara itu, terdapat 983 perusahaan yang hanya mendepositokan dana jaminan reklamasi. Artinya, terdapat sekitar 72% pemegang izin yang belum mendepositokan dana jaminan apapun, baik untuk reklamasi maupun pascatambang.

Menurut Iqbal, deposito dana jamrek dan pascatambang sebetulnya telah diatur berbagai instrumen regulasi. Peraturan Menteri ESDM 43/2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan, misalnya, mengatur tingkat kepatuhan pemegang izin. Namun, peraturan ini juga terlalu longgar dan diabaikan perusahaan. Akibatnya, peraturan kurang memadai dan rentan korupsi.

Selain itu, Muhammad Jamil, Divisi Advokasi dan Hukum JATAM, menambahkan, transparansi informasi tentang jumlah deposito jaminan reklamasi dan pascatambang dari perusahaan juga buruk. Hingga hari ini tidak ada kejelasan berapa dana yang terpakai untuk mengukur seberapa efektif aturan tersebut. Dan tingkat degradasi lingkungan dari aktivitas tambang pun sulit diketahui.

Dari analisis spasial pada konsesi Perjanjian Karya Kerja Sama Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), terdapat area setotal 87,307 hektare yang belum direklamasi.

Padahal, izin konsesi mereka akan berakhir dalam dua tahun sejak analisis ini dibuat. Walau sudah mengeluarkan berbagai aturan, implementasinya terkesan longgar. Tidak ada upaya paksa dari negara yang mengharuskan perusahaan menutup lubang tambang. Mekanisme penghindaran oleh perusahaan karena merasa sudah menempatkan jaminan reklamasi padahal belum tentu dana yang disetor cukup.

Pemerintah juga terkesan abai dalam menghukum perusahaan yang tidak menyetor dana reklamasi. "Tidak terdapat sanksi pidana hanya ada sanksi administrasi," katanya.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 mengatur pelanggaran kewajiban reklamasi dan pascatambang dikenai sanksi administratif bagi pemegang IUP Eksplorasi dan Operasi. Namun, implementasinya sangat terbatas pada surat peringatan, penghentian operasi, dan pencabutan izin.

Jika tidak ada penguatan pada regulasi ini, ditambah lagi dengan rencana omnibus law dan revisi Undang-undang Minerba maka perlindungan masyarakat dan lingkungan tidak akan pernah terwujud.

Sedangkan perusahaan akan semakin mendapat keuntungan dan negara mengalami kerugian. "Kebijakan energi seharusnya tidak merusak lingkungan dan memperparah krisis iklim. Namun, seharusnya negara hadir untuk menyelamatkan masyarakatnya bukan perusahaan saja," ungkap Jamil.

Aturan tentang jamrek dan pascatambang harusnya menjawab risiko kerusakan lingkungan akibat aktivitas perusahaan serta menjamin kepatuhan perusahaan itu sendiri.

Karena itu pemerintah harus memaksimalkan instrumen perizinan untuk memperkuat kepatuhan jamrek dan pascatambang. Diperlukan juga aturan prosedur yang menjamin perusahaan menyetor dana jamrek. Selain itu, pemerintah juga harus mengatur sanksi administratif yang lebih kuat, termasuk dengan denda dan uang paksa apabila jaminan dan kegiatan reklamasi tidak dipenuhi.

"Peraturan yang dibuat, justru membuat kekacauan menjadi seolah-olah tidak ada yang mengatur," katanya