Antiklimaks Vonis Hukum Perusak Hutan (1)

Penulis : Refki Saputra

Kolom

Kamis, 09 April 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Henock Budi Setyawan alias Ming Ho Anak Parman divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Sorong (23/10/19) terkait kepemilikan 81 kontainer kayu merbau ilegal yang dikirim dari Sorong ke Surabaya. Kasus yang menderanya merupakan hasil tangkapan Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap pengiriman 384 kontainer dari Papua dan Papua Barat ke Surabaya dan Makasar sepanjang Desember 2018-Januari 2019 (Mongabay.id, 18/1/19).

Sebanyak 81 kontainer yang berisi 1.680 meter kubik kayu ilegal tersimpan di gudang Depo Teluk Bayur dan Depo Japfa milik PT Salam Pasific Indonesia Lines (PT SPIL) di kawasan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Sebanyak 46 kontainer yang berada di gudang Depo Teluk Bayur berisikan kayu olahan (moulding) milik CV Sorong Timber Irian. Sementara 35 kontainer sisanya yang berada di Depo Japfa berisi kayu jenis merbau milik CV Alco Timber Iriana. Kedua perusahaan tersebut berada di bawah Alco Timber Group yang dimiliki Ming Ho.  

Setelah menjalani persidangan, Ming Ho divonis dengan penjara selama 5 tahun dan denda Rp 2,5 miliar. Hukuman lebih rendah dari tuntutan jaksa yang semula penjara 9 tahun dan denda Rp 20 miliar. Pengadilan Negeri Sorong menyatakan Ming Ho bersalah telah melakukan tindak pidana dengan sengaja menerima hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar dan sengaja mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui perairan (Putusan No. 134/Pid.Sus/LH/2019/PN Son).

Ia dianggap bersalah melanggar Pasal Pasal 95 Ayat (1) huruf a dan Pasal 86 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Belakangan, Pengadilan Tinggi Jayapura memperkuat putusan tersebut.

Dirjen Penegakan Hukum bersama tim gabungan mengamankan kayu ilegal dari Papua di Pelabuhan Lamong, Surabaya, Senin, 7 Januari 2019. Dok. ppid.menlhk.go.id

 Konstruksi pemilik kayu ilegal

Semenjak proses penyidikan hingga diputus pengadilan, perkara Ming Ho dikonstruksikan bukan sebagai pemilik kayu ilegal. Ming Ho hanya didakwa sebagai pihak yang menerima (memanfaatkan) kayu hasil pembalakan liar. Sebagaimana bunyi Pasal 95 Ayat (1) huruf a yakni: “…… memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf g.” Selain itu, Ming Ho juga didakwa dengan Pasal 86 Ayat (1) huruf a sebagai pihak yang: “….. sengaja: mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf i; dan/atau.”

Meskipun dapat dibuktian, peran sebagai pihak yang memanfaatkan kayu ilegal kurang menyentuh akar persoalan. Dimensi kejahatan terorganisir yang diselubungi oleh akitivitas bisnis dengan dampak kerusakan yang masif hampir tidak terlihat dalam proses penegakan hukum kasus tersebut. Praktik peredaran kayu ilegal di Papua menunjukkan fakta bahwa perusahaanlah yang aktif menggerakan operator penebang kayu. Perusahaan membayar pemburu atau penilai kayu (skiller), tukang gergaji, kuli angkut, sewa truk dan masyarakat pemilik tanah ulayat senilai Rp 3-3,5 juta per meter kubik (1/5 dari harga referensi ekspor kayu sejenis).

Berdasarkan laporan investigasi Majalah Tempo (21/12/18) yang bertajuk “Mesin Cuci Kayu Ilegal”, CV Alco Timber Irian mengantongi Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) alias jasa land clearing yang beroperasi di lahan perkebunan PT Inti Kebun Sawit dan PT Inti Kebun Sejahtera. Namun lahan konsesi perusahaan yang dimasukkan sebagai sumber bahan baku yang dilaporkan grup itu ke instrumen pendukung Sitem Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK) berada di selatan Sorong, jauh dari lokasi para penebang kayu yang mengaku memasok merbau untuk Alco. Merekapun mengaku dibayar lebih mahal oleh pihak Alco untuk kayu-kayu tersebut, yakni Rp 4-5 juta per meter kubik. Kayu merbau yang ditebang tanpa izin tersebut dikirimkan setelah terkumpul minimal dua rit truk, dibekali faktur kayu olahan dari perusahaan agar truk tiba tempat tujuan tanpa diusik polisi.

Ming Ho selaku pemilik Alco Timber Group memiliki peran sangat besar untuk dapat terjadinya tindak pidana, bukan semata sebagai pihak yang menerima dan memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar. Ming Ho seharusnya dikonstruksikan sebagai pihak yang mengorganisasi atau menggerakkan pembalakan liar sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 94 Ayat (1) huruf a. Dari perbuatannya itu, Ming Ho seharusnya bisa terancam hukuman penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda minimal Rp 10 miliar dan maksimal Rp 100 miliar.

Absennya dakwaan korporasi

Kasus pengiriman sejumlah kontainer kayu ilegal yang dilakukan oleh Ming Ho menggambarkan suatu jaringan bisnis yang saling terhubung untuk mewujudkan rangkaian tindak pidana tersebut. Ming Ho merupakan pengendali korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi CV Alco Timber Irian dan CV Sorong Timber Irian. Maka, sudah seharusnya kedua korporasi tersebut dihadapkan ke “meja hijau” sebagai pihak yang menggerakkan pembalakan liar, dengan ancaman hukuman pidana denda hingga Rp 1 triliun (Pasal 94 Ayat (4) huruf a).

Di luar itu, ada PT SPIL sebagai perusahaan pelayaran yang mengangkut kayu dari Sorong ke Surabaya, juga perlu didalami perannya sebagai pihak yang mengangkut hasil penebangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal  86 Ayat (1) huruf a). Kemudian, perusahaan pembeli kayu asal Pasuruan dan di Gresik yang diberitakan sudah mengambil masing-masing 3 kontainer pesanannya (Kompas.com, 7/12/19) juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Yakni, sebagai pihak yang membeli hasil hutan yang diketahui dari hasil pembalakan liar (Pasal 87 Ayat (4) huruf a).

Menyeret sejumlah korporasi yang terlibat dalam rangkaian tindak pidana menurut Mardjono Reksodiputro (2004) dalam tulisannya yang berjudul “Kejahatan Korporasi Suatu Fenomena Lama dalam Bentuk Baru”, sejatinya bukan hanya untuk memastikan adanya proses penegakan hukum yang adil. Akan tetapi juga untuk meningkatkan efek jera dari setiap korporasi yang seringkali mengabaikan kejujuran dalam berbisnis.

REFKI SAPUTRA, Staf Direktorat Hukum Yayasan Auriga Nusantara.