Antiklimaks Vonis Hukum Perusak Hutan (2)

Penulis : Refki Saputra

Kolom

Senin, 13 April 2020

Editor : Redaksi Betahita

BETAHITA.ID -   Sebagai pemilik 81 kontainer yang berisi kayu ilegal, Henock Budi Setyawan Ming Ho dihukum jauh lebih rendah dari tuntutan. Tidak satupun korporasi yang didudukkan menjadi pesakitan. Jangankan mengharap lingkungan yang dirusak akan terpulihkan, efek jera yang hendak diwujudkanpun masih “jauh dari panggangan”.

Memang, hal ini sepenuhnya tidak bisa ditumpukkan pada aspek penegakan hukum semata. Rasa-rasanya, norma yang ada perlu juga untuk dirunut kembali kualitasnya.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) mengenal 2 (dua) jenis sanksi, yakni sanksi pidana dan administrasi. Sanksi pidana berupa penjara, denda dan uang pengganti. Sementara sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah, uang paksa dan pencabutan izin. Sanksi penjara dan denda ditemukan di semua pasal yang memuat ancaman pidana.

Dengan kualifikasi sebagai pidana pokok, sanksi penjara dan denda selalu dapat dipasangkan secara komulatif dalam sekali vonis. Namun, kelemehan sanksi denda yang dijatuhkan kepada individu adalah dapat secara langsung disubstitusikan menjadi pidana kurungan. Artinya, terpidana bisa memilih apakah akan membayar sejumlah denda atau menjalankan hukum kurungan.

Salah satu lokasi penyergapan kayu ilegal jenis merbau asal Kepulauan Aru, Maluku, pada 22 Februari 2019. Sumber. Istimewa.

Hal yang tidak disadari adalah terkait sanksi ‘uang pengganti’. Di mana, menurut Pasal 108 UU P3H, uang pengganti dapat digantikan menjadi sanksi pidana penjara apabila terpidana tidak mau/mampu membayar. Konsep ‘uang pengganti’ ala UU P3H berbeda dengan sanksi serupa yang ada dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Pasal 18 Ayat (2) undang-undang tersebut, uang pengganti tidak serta-merta bisa digantikan dengan pidana penjara. Terpidana dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, apabila tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa (sita eksekusi) dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika secara nyata terpidana memang betul-betul tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, baru pidana penjara dapat diberikan untuk menggantikannya.

Sanksi administrasi berupa pakasaan pemerintah dalam UU P3H memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan hukum kepada perusahaan agar melakukan pemulihan hutan yang dirusak. Dalam hal ini, paksaan pemerintah bisa digantikan dengan sanksi pengenaan seumlah uang paksa. Selanjutnya, salah satu jenis sanksi tersebut dapat dijatuhkan bersamaan dengan sanksi pencabutan izin (Pasal 18).

Namun ketentuan tersebut tindak ditujukan kepada semua korporasi yang merusak hutan. Melainkan hanya untuk korporasi yang melanggar ketentuan Pasal 12 huruf a, b dan c; Pasal 17 Ayat (1) huruf b,c dan e serta Pasal 17 Ayat (2) huruf b, c dan e.

Beralih ke kasus Ming Ho, vonis penjara 5 tahun dan denda Rp 2,5 miliar yang dijatuhkan kepadanya sebagai individu jelas-jelas belum mencerminkan efek jera. Jika nanti putusan sudah berkekuatan hukum tetap, ia tidak akan benar-benar menghuni bilik penjara hingga 5 tahaun lamanya.

Selain sudah dipotong dengan masa penahanan selama menjalani proses peradilan, ia juga akan mendapatkan remisi. Begitupula sanksi denda. Ketimbang harus membayar Rp 2,5 miliar, boleh jadi ia akan “membayarnya” dengan menjalani kurungan selama 3 bulan saja.

Dari sini terlihat, problem penegakan hukum terhadap pelaku perusak hutan belum mampu menjawab rasa keadilan terhadap situasi perusakan hutan. Baik dari sisi normatif yang tidak menjamin penegakan hukum yang maksimal, penegak hukum masih terjebak pada teks namun sulit mengembangkannya agar lebih sesuai dengan konteks lapangan.

Seharusnya sedari awal, penyidik mengkonstruksikan, baik Ming Ho sebagai individual dan korporasinya sebagai tersangka yang mengorganisasikan pembalakan liar. Hal ini memang menyebabkan beban pembuktian akan jauh lebih sulit. Yakni, harus membuktikan bahwa pembalak liar di lapangan sesungguhnya bekerja untuk dan atas kepentingan korporasi (perusahaan). Selain melacak jejak-jejak kejahatan melalui kesaksian orang-peroang, penyidik juga harus melacak jejak-jejak transaksi antara operator dengan perusahaan, dan perusahaan dengan pembeli kayu akhir.

Artinya, seluruh korporasi yang diduga memiliki peran dalam terjadinya rangkaian kejahatan, mulai dari kayu ditebang, ditransportasikan hingga sampai di tangan pembelinya mesti diusut tuntas untuk memastikan adanya efek jera secara keseluruhan. Dalam hal ini, bukan hanya disisi permintaan (demand) akan tetapi juga dari sisi penawaran/pasokan (supply) juga harus “dimejahijaukan”.

Terlepas banyaknya persoalan substantif dalam UU P3H, namun penegak hukum penting untuk dapat memaksimalkan penggunaannya dalam hal penanganan kejahatan perusakan hutan yang masih dan akan lebih masif terjadi kedepannya. Setidaknya perlu untuk mengkomulasikan pengenaan pasal-pasal dengan sanksi pidana penjara dan denda dengan sanksi administratif. Hal mana, kombinasi tersebut berpeluang memberikan kekuatan politik bagi pemerintah untuk mendorong kepatuhan pelaku usaha dalam melaksanakan kewajiban yang terkait dengan perlindungan lingkungan hidup (Nagara, 2017).

REFKI SAPUTRA, Staf Direktorat Hukum Yayasan Auriga Nusantara.