Jatam: Ada Kepentingan Pengusaha Minerba di Balik Omnibus Law

Penulis : Betahita.id

Tambang

Senin, 04 Mei 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah Ismail menuding ada kepentingan pengusaha mineral dan batu bara menunggangi penyusunan omnibus law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. Merah mengatakan ada tujuh perusahaan raksasa minerba yang menguasai 60-70 persen produksi batu bara nasional.

Kata dia, tiga di antara perusahaan-perusahaan tersebut akan habis masa izinnya pada akhir tahun ini. "Kami melihat merekalah yang berusaha menunggangi omnibus law ini," kata Merah dalam konferensi pers virtual, Ahad, 3 Mei 2020.

Merah mengatakan, perusahaan-perusahaan minerba itu mempunyai kepentingan terkait dengan klaster pertambangan di omnibus law RUU Cipta Kerja. Salah satunya ialah pasal 169A terkait perpanjangan izin otomatis tanpa harus mengembalikan ke negara dan melalui lelang lagi.

Padahal, Undang-undang Minerba mengatur bahwa perusahaan harus mengembalikan kepada negara jika izin mereka telah habis. Perusahaan juga harus menciutkan lahan mereka menjadi batasan maksimal yang diatur UU Minerba, yakni 15 ribu hektare.

Ilustrasi lubang tambang. Foto: Dok. Jatam.org

Adapun tujuh perusahaan yang dimaksud Merah memiliki luasan lahan eksploitasi di kisaran 40-110 ribu hektare. Ia mengatakan sebagian perusahaan-perusahaan itu dimiliki oleh pengusaha yang memegang kendali ke partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat atau yang menjadi bagian tim sukses Presiden Joko Widodo saat kampanye di pilpres 2019.

"Terbuka politik kompensasi di sini, kami sebutnya ijon politik omnibus," kata Merah.

Merah menilai, hal ini sama saja dengan menempatkan negara bukannya di atas entitas bisnis, melainkan di bawah. Dia juga menyebut hal ini melanggar konstitusi. Itu sebabnya, Merah turut menggugat Surat Presiden Jokowi terkait RUU Cipta Kerja ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Menurut Merah, omnibus law RUU Cipta Kerja akan semakin menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Ia mengkritik pemerintah yang malah ingin memudahkan usaha pertambangan, padahal imbas kerusakan lingkungan yang ada saat ini pun tak dievaluasi.

Jatam mencatat, 34 persen luas daratan Indonesia saat ini sudah dikapling izin pertambangan. Namun, omnibus law RUU Cipta Kerja malah ingin mengubah ketentuan luasan konsesi pertambangan hingga tak terbatas. "Kerusakan tidak hanya akan terjadi di pulau besar, tapi juga pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil," kata Merah.

Bukan cuma itu, lanjut dia, omnibus law RUU Cipta Kerja juga tak memperhatikan tumpang tindih kawasan pertambangan dengan kawasan rawan bencana. Merah menyebut, saat ini pun sudah banyak operasi pertambangan dan panas bumi yang berada di kawasan gempa, tsunami, dan banjir.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan urgensi omnibus law karena Indonesia sudah mengalami obesitas regulasi sehingga perlu dilakukan penyederhanaan. Omnibus law dinilainya sebagai salah satu solusi untuk penyederhanaan aturan agar bangsa Indonesia bisa bergerak lebih cepat, efektif, dan dinamis.

TEMPO.CO | TERAS.ID