Aktivis: Sawah Baru di Gambut Bukan Solusi Krisis Pangan

Penulis : Kennial Laia

Gambut

Selasa, 12 Mei 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Rencana pemerintah untuk mencetak sawah baru di lahan gambut dikhawatirkan tidak menyelesaikan ancaman defisit pangan di tengah pandemi Covid-19. Sebaliknya, program itu dapat menimbulkan masalah baru.

Sekretaris Jenderal Konsorium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengatakan, kebijakan pemerintah itu parsial karena hanya mengandalkan satu solusi. Menurutnya, pemerintah harus fokus pada jenis pangan yang dapat dipanen dalam jangka waktu 1-3 bulan.

“Dari sisi waktu, langkah pemerintah masih jawaban jangka menengah alias butuh waktu lama, apalagi dijalankan secara massal. Sementara itu, kita butuh solusi untuk kondisi saat ini,” ungkap Dewi dalam diskusi virtual, Jumat, 8 Mei 2020.

“Seharusnya, pemerintah melakukan diversifikasi pangan, seperti sayuran, umbi-umbian, dan rempah. Ini penting karena defisit pangan kita beragam. Gerakan pangan di desa dan kota yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat juga harus didorong” tambahnya.

Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan di lahan gambut. Foto: Greenpeace Indonesia

Awal Mei, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Pertanian membuka lahan gambut untuk persawahan di Kalimantan Tengah. Difasilitasi dan didanai Badan Usaha Milik Negara, langkah itu diambil sebagai antisipasi jika terjadi kekeringan dan ancaman kelangkaan pangan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto juga mengatakan pemerintah telah memperkirakan adanya lahan seluas 900 ribu hektare di Kalimantan Tengah yang dapat dimanfaatkan menjadi lahan sawah. Menurut Airlangga, saat ini lahan seluas 300 ribu hektare di provinsi itu telah siap untuk digarap. 

Namun, alih-alih kecukupan pangan, Greenpeace Indonesia mengatakan kebijakan itu justru melemahkan fungsi gambut. Padahal, saat ini Kalimantan Tengah merupakan salah satu dari tujuh provinsi prioritas restorasi gambut Badan Restorasi Gambut (BRG) seluas 713.076 hektare.

Menurut Kepala Tim Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia Rusmadya Maharudin, alih fungsi gambut di Kalimantan Tengah dapat memperburuk potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah.

“Alih fungsi gambut untuk pertanian sebagai solusi krisis pangan hanya akan menyebabkan gambut kering dan merusak ekosistem gambut secara luas, sehingga potensi kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah akan lebih parah,” kata Rusmadya dalam keterangan tertulis di Jakarta, 5 Mei 2020.

Setiap tahun, Kalimantan Tengah mengalami karhutla dan merupakan salah satu kasus terparah selain Riau dan Jambi. Pada 2019, luas area gambut terbakar di provinsi itu mencapai 266,484 hektare.

Karhutla didorong oleh berbagai faktor seperti ulah manusia, cuaca, dan rusaknya ekosistem gambut. Menurut Rusmadya, kebakaran di lahan gambut di Kalimantan Tengah saat ini juga banyak terjadi bekas areal Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare yang gagal pada 1990-an.

“Inilah yang membawa petaka kabut asap yang mengganggu kesehatan masyarakat setiap tahunnya,” kata Rusmadya.

Jejak rekam buruk

Pembukaan lahan untuk sawah baru bukan pertama kalinya di Indonesia. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua. Megaproyek kerja sama pemerintah Indonesia dan korporasi itu merampas sekitar 1.9 juta hektare hutan alam dan lahan gambut di wilayah ulayat Malind-Anim.

Dari angka itu, hanya 5.38 persen atau 103.219 hektare diperuntukkan bagi sawah padi. Jauh ketimbang lahan untuk industri perkebunan kayu 973.057 hektare (50.48%), 433.187 hektare (22.47%). Megaproyek ini akhirnya memutus sumber pangan masyarakat adat di Merauke, yang selama ini memperoleh sagu, hewan buruan, buah-buahan, dan obat tradisional dari hutan.

Dewi mengatakan, proyek itu gagal memenuhi sumber pangan nasional dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Menurutnya, MIFEE justru mengorbankan masyarakat adat.

“Dari pengalaman MIFEE, yang mendapat proyek itu salah satunya adalah tentara yang dipekerjakan untuk membuka lahan dan korporasi besar. Hal ini tidak boleh terulang. Jangan sampai memanen problem baru, yaitu konflik agraria,” tuturnya.

“Harus dipastikan program cetak sawah baru ini untuk petani dan buruh ladang tradisional. Jadi, aktor utamanya adalah petani. Bukan membangun food estate atau rice estate oleh BUMN,” tegas Dewi.

Hal senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware. Menurutnya, pemerintah seharusnya belajar dari masa lalu. Dia mencontohkan, kegagalan proyek pangan bernama pengembangan lahan gambut seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah.

“Rencana pencetakan sawah di lahan gambut merupakan pilihan yang beresiko. Pengalaman di masa lalu harusnya jadi momen pembelajaran, jangan sampai terulang kembali,” kata Inda.

Inda menambahkan, pemerintah harus mempertimbangkan pendekatan lanskap Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dalam upaya pengembangan, revitalisasi, dan perlindungan lahan pangan di lahan gambut.

“Perlu dilakukan kerja-kerja restorasi lahan gambut dan tata ruang hingga tingkat tapak dalam sebuah KHG,” pungkasnya.


Tanggapan BRG

Kepala BRG Nazir Foead mengatakan, lahan gambut untuk sawah itu adalah lahan gambut yang tidak produktif yang sudah terbuka dan dikeringkan.

“Ada banyak lahan gambut yang cocok untuk sawah dan tanaman lain tapi tidak tergarap dan terbakar setiap tahun. Ini kalau dibiarkan malah jadi bencana ekologi,” katanya, Jumat, 8 Mei 2020.

Menurut Nazir, saat ini terdapat 100 ribu hektare lebih sawah di lahan gambut yang tersebar di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dan Kalimantan. Khusus untuk Kalimantan Tengah ditanami oleh petani lokal maupun transmigran.

“Saya setuju bahwa kita harus hati-hati. Terutama untuk faktor keekonomian. Jadi tata air harus diperbaiki, cukup air saat kemarau sehingga dapat ditanami sepanjang tahun.

Nazir mengatakan, lahan seluas 300 ribu hektare yang siap digarap itu masih dalam proses. Lahan tersebut diusulkan oleh pemerintah daerah dan hingga hari ini belum ditindaklanjuti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Usulan ini mungkin belum bisa terealisasi karena agak kontradiktif karena sebagian masih berupa kubah gambut dan kawasan hutan,” kata Nazir.

“Karena itu kami mendorong untuk memanfaatkan lahan nonhutan, area penggunaan lain yang memiliki gambut tipis dan hanya ditumbuhi semak belukar seluas 60 ribu hektare,” kata Nazir.

Namun, Rusmadya mengatakan seharusnya BRG fokus merestorasi gambut secara menyeluruh, bukan mendukung alih fungsi gambut. Dia mendorong pemerintah untuk memanfaatkan lahan lain selain gambut.

“Seharusnya pemerintah memanfaatkan lahan mineral bukan di lahan gambut, serta mengembangkan pangan berbasis lokal seperti sagu dan jagung sehingga kebutuhan pangan setiap daerah bisa dipenuhi,” pungkasnya.