Pakar Lingkungan: Garap Tanah Ulayat, Bongku Tak Bisa Dihukum

Penulis : Gilang Helindro

Hukum

Kamis, 28 Mei 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Bongku, masyarakat adat Sakai seharusnya tidak perlu dihukum karena menggarap tanah ulayat yang sekarang berada di dalam konsesi hutan tanaman industri pihak swasta. "Rasio legis kewenangan masyarakat adat dalam menguasai hak atas tanah ulayat itu dijamin undang undang loh, jadi hati hati dalam proses hukum atau memutus sengketa," kata pakar lingkungan DR Elviriadi saat dihubungi Rabu, 27 Mei 2020.

Bongku divonis Pengadilan Negeri Bengkalis, Senin, 18 Mei 2020 satu tahun penjara dan denda RP 200 juta karena menggarap tanah ulayat seluas setengah hektare di dalam konsesi PT Arara Abadi untuk bertanam ubi.

Baca juga: Divonis Bersalah karena Garap Tanah Ulayat, Bongku Ajukan Banding

yang saat ini menjadi Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI dan Anggota Tetap Society of Ethnobiology Ohio State University, mengatakan bahwa tanah ulayat di Indonesia dijamin peraturan berlapis.

Bongku, warga masyarakat adat Saka di Bengkalis, divonis 1 tahun karena menggarap tanah ulayat yang kini masuk area PT Arara Abadi. (LBH Pekanbaru)

Setidaknya ada 4 peraturan perundangan yang menjamin dan melindungi hak masyarakat adat. Pertama, Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraris dan Pengelolaan SDA. Dalam Pasal 4 ditegaskan : pengelolaan SDA harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat.

Kedua, Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 3 dan 5. Ketiga, Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Dan yang keempat, Perda Tanah Ulayat Nomor 15 tahun 2010 Propinsi Riau.

Selama ini perundangan yang melindungi masyarakat adat sering abai diperhatikan ketika mengeluarkan izin. Padahal pengakuan tanah ulayat melekat dalam undang undang. Ditambah lagi katanya, Bongku dituduh melanggar Pasar 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Menurutnya, UU P3H dibentuk untuk menyasar mafia-mafia perusak hutan yang terstruktur dan terorganisir untuk tujuan komersial. Bukan petani kecil seperti Bongku yang hanya bercocok tanam untuk makan sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat adat bukanlah subjek hukum dari UUP3H.

"Akibat izin-izin  yang tidak teliti terhadap rasio legis hak masyarakat adat, maka Riau (Sumatera) dan Kalimantan jadi negeri konflik agraria yang memangsa kaum lemah seperti Pak Cik Bongku," katanya.

Selain itu, tambah dia, terjadi penurunan kualitas lingkungan, bencana asap Karhutla, dan hegemoni hukum terhadap kaum lemah.