Sidang Rakyat: Kami Tidak Butuh UU Minerba 2020

Penulis : Gilang Helindro

Lingkungan

Senin, 01 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Masyarakat Pulau Jawa sepakat menolak pelaksanaan Undang-undang Pengelolaan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Hal ini karena dampak kerusakan lingkungan dan kegiatan ekonomi warga sekitar pertambangan dipercaya akan bertambah buruk. "Kami tidak butuh UU Minerba," kata perwakilan warga dalam Sidang Rakyat yang digelar Minggu, 31 Mei 2020.

Baca juga: (Sidang Rakyat Tandingan untuk Batalkan UU Minerba)

Karpet merah yang digelar pemerintah untuk korporasi batu bara seolah didukung oknum aparat. Padahal, Pulau Jawa tak lagi membutuhkan pembangkit bersumber energi fosil karena kelebihan pasokan listrik.

Saat ini, kondisi Pulau Jawa mengalami kelebihan suplai listrik sekitar 40%. Dengan demikian, pembangunan PLTU baru yang mendapat karpet merah dari UU Minerba tahun 2020 sebenarnya tidak diperlukan lagi.

PLTU Indramayu (Wikipedia)

Dua mega proyek PLTU yang akan dan sedang dibangun di Pulau Jawa adalah PLTU Indramayu 2 di Jawa Barat dan PLTU Batang, Jawa Tengah, yang masing-masing memiliki total kapasitas sebesar 2x1.000 MW. Nilai investasi tiap proyek tersebut mencapai US$4 miliar

Domo, Anggota Jaringan Tanpa Asap Indramayu (JATAYU) menolak pembangunan PLTU 2 yang akan dibangun bersebelahan dengan PLTU Indramayu 1 yang berkapasitas 3×330 MW. Ia khawatir polusi dan pencemaran yang ditimbulkan akibat PLTU Indramayu 1 akan bertambah parah. “Terlebih, UU Minerba 2020 berpotensi kian memuluskan pembangunan PLTU Indramayu 2 yang sempat tertunda pada 2018,” katanya.

Tindakan pengusaha tambang yang tidak bertanggung jawab atas dampak eksploitasi hasil perut bumi menjadi salah satu alasan kuat warga menolak UU yang disahkan secara diam-diam dan tergesa-gesa tersebut. Seperti diketahui, pada Pasal 1 ayat 28a UU Minerba disebutkan bahwa wilayah hukum pertambangan adalah ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai kesatuan wilayah yakni Kepulauan Indonesia, tanah, perairan, dan landas kontinen.

Artinya, kewenangan diberikan seluas-luasnya bagi pengusaha atas semua komoditas tambang yang terkandung di kawasan pegunungan hingga pesisir. Hal ini membuat warga di kawasan penambangan karst Gunung Guha, Sukabumi, Jawa Barat, ketar-ketir.

Anggota Forum Warga Terdampak Bangkit Sukabumi, Uus Kusnadi, mengatakan selama ini masyarakat dirugikan atas kerusakan lahan akibat aktivitas tambang. Lahan bercocok tanam terganggu dan hewan ternak mati karena sumber air bersih tercemar.

Padahal, kata dia, sumber air bersih tersebut biasa digunakan untuk mengairi sawah dan minum hewan ternak. “Dulu kami bisa mengairi sawah dua hingga tiga kali setahun, sekarang sekali saja susah,” kata.

“Belum lagi, dentuman bahan peledak yang digunakan untuk menambang karst telah membuat beberapa rumah warga retak,” katanya.

Tindakan represif yang dilakukan para pengusaha tambang ini juga menjadi sorotan. Banyak perusahaan-perusahaan tambang menyewa centeng, bahkan berkongsi dengan oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melanggengkan bisnis sumber energi kotor tersebut.

Situasi tersebut misalnya terjadi di wilayah tambang pasir besi Urut Sewu, Jawa Tengah. PT Mitra Niagatama Cemerlang yang beroperasi di kawasan tersebut ditengarai mendapat beking dari oknum TNI Angkatan Darat (AD) untuk tetap melanjutkan penambangan.

Padahal eksploitasi perut bumi yang dilakukan perusahaan tersebut telah berhasil dihentikan warga pada 2012. Rakyat selalu menjadi pihak yang dirugikan, padahal merekalah yang mengalami dampak buruk akibat kesewenang-wenangan korporasi tambang ini.