PBB: Dunia Berada di Ambang Krisis Pangan Terburuk dalam 50 Tahun

Penulis : Kennial Laia

Agraria

Jumat, 12 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan, saat ini dunia berada di ambang krisis pangan terburuk dalam 50 tahun terakhir. Krisis pangan ini dapat berdampak jangka panjang pada ratusan juta jiwa penduduk dunia jika pemerintah tidak serius menanganinya. 

Perlindungan sosial yang lebih baik terhadap kelompok miskin sangat dibutuhkan, seiring dengan menurunnya jangkauan mereka terhadap nutrisi dasar akibat pandemi virus corona, kata Sektretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. 

"Jika kita tidak bertindak segera, tidak ada keraguan bahwa kita akan langsung menuju krisis pangan global yang bisa berdampak jangka panjang pada kehidupan ratusan juta aak-anak dan orang dewasa," ujar Gutteres dalam pidato yang diunggah di situs PBB, Selasa, 9 Juni 2020. 

"Kita harus bertindak sekarang jika kita tidak ingin upaya kita mengendalikan pandemi memiliki konsekuensi yang menghancurkan," katanya.

Ilustrasi krisis pangan. Foto: Genetic Literacy Project

Gutteres mengingatkan bahwa negara dengan makanan berlimpah pun mengalami risiko gangguan dalam rantai pasokan makanan.

Tahun ini, sekitar 49 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrim akibat krisis Covid-19. Namun, dampak jangka panjang akan lebih buruk, karena kurangnya nutrisi pada anak kecil dapat berdampak pada kesehatannya hingga dewasa.

Menurut data PBB, 144 juta anak di bawah umur lima tahun mengalami stunting. Artinya, terdapat satu dari lima anak di dunia mengalami hambatan pertumbuhan pada usia lima tahun. Jutaan lainnya dapat menderita hal yang sama bila angka kemiskinan terus naik dan krisis pangan terjadi.

Guterres memaparkan tiga poin rencana untuk memperbaiki sistem pangan yang disebutnya "gagal" demi menghindari kerugian lebih besar:

  • Fokus pada penanganan wilayah paling terdampak untuk mencegah bencana pangan, dan pemerintah harus memprioriaskan rantai pasok makanan;
  • Mengutamakan perlindungan sosial agar anak-anak, wanita hamil dan menyusui, serta kelompok rentan lainnya -- termasuk anak yang tidak bersekolah selama pandemi -- mendapat nurtrisi memadai; dan
  • Berinvestasi pada masa depan, dengan membangun pemulihan global dari pandemi yang memprioritaskan sistem pangan yang sehat dan berkelanujutan.

Direktur Ekonomi Organisasi Pangan dan Pertanian PBB Maximo Torero mengatakan, sistem pangan dunia saat ini terancam karena pandemi dan adanya kebijakan lockdown. Kondisi itu menghalangi aktivitas manusia untuk memanen dan menjual serta membeli makanan.

"Kita harus berhati-hati. Krisis pangan ini sangat berbeda dan bisa lebih buruk dari yang pernah kita saksikan," katanya. 

Laporan PBB mengenai dampak Covid-19 terhadap ketahanan pangan dan nutrisi yang diterbitkan Selasa lalu menyebutkan, hasil panen cenderung sehat dan pasokan bahan pokok seperti biji-bijian tinggi. Namun, banyak orang yang mendapat makanan dari pasar lokal, yang rentan pada disrupsi dari karantina wilayah.

Lockdown juga memperlambat masa panen, dan menghalangi buruh tani musiman bekerja. Sampah makanan pun semakin meningkat, di mana petani terpaksa membuang produk pertanian karena adanya gangguan rantai pasok. Di beberapa negara, industri daging juga tepaksa harus menutup pabriknya.

Menurut PBB, sistem pangan global telah gagal di banyak bidang bahkan sebelum pandemi. Laporan UN menggarisbawahi konflik, bencana alam, krisis iklim, dan gangguan hama dan penyakit tumbuhan dan hewan sebagai masalah utamanya. Afrika Timur, misalnya, menghadapi serangan belalang terburuk selama beberapa dekade terakhir. Kondisi itu dipersulit oleh hujan sehingga penanganan terhambat. 

"Krisis Covid-19 menyerang kita dari segala arah," ujar Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Food Systems Summit 2021 Agnes Kalibata.

"Pandemi ini mengekspos defisiensi berbahaya bagi sistem pangan kita dan secara aktif mengancam kehidupan dan penghidupan seluruh orang di dunia, terutama pada lebih dari 1 miliar orang yang bekerja di sistem rantai makanan," katanya.

Kalibata mencontohkan Amerika Latin dan Kepulauan Karibia, tempat dimana sepertiga dari populasinya hidup dalam kondisi genting rawan pangan, serta Brasil yang secara cepat menjadi hotspot untuk kasus virus corona.

"Di seluruh wilayah, pandemi telah melemahkan ekonomi dan mengganggu rantai pasok pangan, yang menyebabkan kenaikan harga pangan," tambahnya. 

PBB menemukan, pandemi Covid-19 dapat berisiko menggagalkan kemajuan yang telah dicapai beberapa dekade ini dalam mengangkat orang dari garis kemiskinan dan meningkatkan akses ke makanan sehat.

Namun, Kalibata mengatakan bahwa ada kesempatan bagi negara-negara di dunia untuk memperbaiki sistem makanan serta mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan global dari gangguan pangan. 

"Makanan selalu mempersatukan kita dan hal ini dapat terjadi kembali jika kita kembali membangun lebih baik. Ini penting karena berhubungan dengan sistem pangan kita," katanya.