UU Minerba Dinilai Bermasalah dan Tak Menjawab Permasalahan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Selasa, 23 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang beberapa waktu lalu telah ditandatangani Presiden Joko Widodo, dianggap bermasalah. Lantaran, UU yang menggantikan UU Nomor 4 Tahun 2009 tersebut dianggap cacat hukum dan tidak menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di sektor pertambangan.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim) Pradama Rupang mengatakan, ada dua persoalan besar yang bisa disimpulkan dari UU Minerba baru ini. Pertama, menghapus hak kehidupan rakyat di lingkar tambang. Karena produk hukum ini tidak memberikan jaminan adanya keselamatan rakyat.

Baca juga: Laode M Syarif: Sahkan UU Minerba, Jokowi dan DPR Tak Pro-Rakyat

"Kedua, peran negara semakin diperlemah. Sejumlah pasal yang memperkuat pengawasan serta menutup celah praktek-praktek korupsi telah dihapus. UU ini melucuti kontrol negara," kata Pradama Rupang, Jumat (19/6/2020).

Salah satu bekas lubang tambang di Kalimantan Selatan/foto:Auriga Nusantara

Pradama Rupang juga menganggap UU Minerba baru ini secara prosedur cacat hukum, karena tidak melibatkan partisipasi aktif rakyat. Dengan demikian UU Minerba baru ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.

Dilihat dari urgensinya, menurut Pradama Rupang, UU Minerba baru ini bukanlah produk yang saat ini diperlukan. Apalagi di saat rakyat Indonesia tengah berjuang melawan penyebaran wabah virus Covid-19.

"Harusnya perhatian para politisi dan pemerintah dicurahkan ke persoalan Covid-19, bukan justru menunggangi situasi pandemi Covid-19 untuk mengesahkan UU yang berkaitan hajat hidup rakyat. UU Minerba ini ilegal, tidak legitimate dan sangat dipaksakan. Situasi negara saat ini bukan dalam situasi darurat krisis energi melainkan darurat kesehatan."

Pradama Rupang mengatakan, ada logika sesat yang disampaikan kepada publik. Yang mana seolah-olah masalah terbesar ada di regulasi lama (UU Minerba lama). Padahal persoalan carut marutnya sektor pertambangan ada pada penyelenggara negara yang lepas tangan dan tidak menjalankan fungsi pengawasannya sesuai mandat UU tersebut.

"UU yang telah disahkan ini adalah bentuk cuci tangan Istana Negara serta kroni-kroninya di Senayan yang tidak bisa menyelesaikan sejumlah krisis akibat kebijakan masa lalu yang mereka ciptakan untuk kepentingan majikan mereka yaitu Oligarki Tambang," tegasnya.

UU Minerba baru ini juga menutup hak veto rakyat. Karena tidak ada satu pun pasal yang memberikan ruang bagi partisipasi rakyat. Tak hanya itu dalam UU Minerba ini juga terdapat sejumlah pasal yang membuka peluang terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak kehadiran tambang.

Pradama Rupang mencatat, terdapat sejumlah permasalahan sektor pertambangan sebelum UU Minerba baru diterbitkan. Yakni, renegosiasi 37 Kontrak Karya (KK) dan 74 Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) yang belum terlaksana. Kemudian peningkatan nilai tambah mineral dan batu bara belum terlaksana dengan baik.

Perusahaan-perusahaan tambang batu bara yang dianggap akan mendapat manfaat besar dari disahkannya UU Minerba baru./Sumber: Jatam Kaltim

Kemudian, pengembangan sistem data informasi minerba masih bersifat parsial. Semua aturan pelaksana UU Minerba lama, sampai sekarang juga belum diterbitkan. Selanjutnya penataan kuasa pertambangan dan atau IUP belum selesai dilakukan.

"Tidak ada upaya sistematis untuk meningkatkan DMO. Lalu, kewajiban pelaporan regular belum dilakukan oleh pelaku usaha dan pemerintah daerah. Selanjutnya, kewajiban reklamasi dan pascatambang yang belum sepenuhnya dilakukan. Sedangkan pengawasan pertambangan juga belum optimal."

Terakhir terdapat kerugian keuangan negara karena tidak dibayarkannya iuran tetap oleh perusahaan. Berdasarkan hasil kajian Komisi Pemberberantasan Korupsi menyebut, hingga april 2016, terdapat 4.353 IUP yang belum membayarkan iuran tetap dan royalti kepada negara.

Disebutkan piutang negara dari belum dibayarkannya iuran tetap oleh pengusaha pertambangan berjumlah sekitar Rp961 miliar. Sedangkan royalti yang belum dibayarkan kepada negara sebesar kurang lebih Rp594 miliar.

Sumber: KPK

Menurut Pradama Rupang, selain persoalan-persoalan yang belum terselesaikan seperti diuraikan di atas. UU Minerba baru ini juga tidak menjawab berbagai permasalahan lain yang terjadi ada saat ini. Yakni permasalahan keselamatan rakyat, permasalahan lingkungan, keadilan pusat dan daerah. Selanjutnya kepatuhan pembayaran royalti, pajak atau PNBP.

"Selanjutnya, permasalahan korupsi, kelanjutan ekonomi daerah tambang setelah pertambangan tutup dan permasalahan izin yang tidak clear and clean. UU Minerba baru tidak menyelesaikan permasalahan-permasalahan itu," kata Pradama Rupang.

Sebelumnya dalam Penutupan Sidang Rakyat beberapa waktu lalu, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Nasional), Nur Hidayati mengatakan, penolakan pengesahan UU Minerba ini akan terus disuarakan. Karena UU Minerba akan memberikan dampak kerusakan lingkungan dari hulu hingga hilir.

Pencemaran dan kerusakan lingkungan akan terus berlangsung secara menyeluruh di darat, udara dan hingga sungai pun tercemar. Pencemaran dan kerusakan ini menjadi ancaman kesehatan masyarakat ke depannya.

"Industri pertambangan mineral dan batu bara adalah industri yang tidak memiliki kehidupan. Industri ini memberikan dampak kerusakan dari hulu sampai hilir," Katanya, dalam Penutupan Sidang Rakyat, Senin (1/6/2020).

Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi #Bersihkan Indonesia menggelar Sidang Rakyat untuk membatalkan UU Minerba baru. Sidang Rakyat Tandingan ini berlangsung dari 29 Mei 2020 hingga 1 Juni 2020.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, disahkannya Undang-undang Minerba ini menandakan bentuk otoriter dari rezim Pemeritahan Jokowi dan Ma'ruf Amin. Menurut dia, UU Minerba yang baru disahkan dengan tergesa-gesa dan tak transparan itu adalah kongkalikong para elit oligarki yang terafiliasi dengan pemerintah. Sebab, RUU Omnimbuslaw Cipta Kerja yang mengutamakan kepentingan investasi belum kunjung disahkan.

"Jadi UU Minerba ini adalah simbol pemerintahan otoriter. Produk UU ini barter antara pengusaha, antara RUU Omnimbuslaw Cipta Kerja dengan UU Minerba," katanya dalam pandangan umum Sidang Rakyat Tandingan yang digelar koalisi #BersihkanIndonesia, Jumat (29/5/2020) lalu.