Proyek PLTU Jawa 9 dan 10 Korsel Dinilai Penuh Risiko

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Kamis, 25 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 di Cilegon, Banten, yang ikut didanai Korea Selatan dinilai penuh risiko. Korsel diharapkan menarik diri dan membatalkan investasinya dalam proyek tersebut.

Periset dan Pengkampanye Trend Asia, Andri Prasetyo mengungkapkan, terdapat sedikitnya 3 risiko yang harus dipertimbangkan dalam proyek PLTU Jawa 9 dan 10. Risiko pertama adalah kelebihan kapasitas di jaringan listrik Jawa-Bali akibat permintaan terhadap konsumsi listrik tidak sesuai dengan perkiraan awal. Yakni hanya di angka 6,9 persen, bukan 8,3 persen seperti yang diperkirakan.

Risiko kedua yakni risiko korupsi yang marak di kalangan pejabat daerah maupun negara. Andri menyontohkan seperti yang terjadi dalam pembangunan PLTU Cirebon Power, Jawa Barat, yang dilakukan PT Hyundai. KPK menangani kasus dugaan korupsi ini.

"Risiko ketiga terkait dengan aspek sustainability," kata Andri, dalam diskusi peluncuran laporan berjudul "Racun Debu di Kampung Jawara" yang digelar secara virtual, Selasa (23/6/2020).

PLTU Banjarsari salah satu PLTU diperbatasan Lahat dan Muara Enim, Sumatera Selatan/Foto: Dokumentasi Auriga Nusantara

Andri menguraikan, komitmen Green New Deal Pemerintah Korsel berisikan pengurangan pendanaan untuk proyek-proyek terkait batu bara di luar Korsel. Satu hal yang membuat Korea menjatuhkan pilihan untuk berinvestasi di Indonesia dalam proyek PLTU Jawa 9 dan 10 adalah standar emisi yang berbeda antara Indonesia dan Korea. Yang mana, standar emisi Indonesia jauh lebih rendah dari Korsel. Risiko kesehatan sangat terkait dengan standar emisi ini.

Tabel Ketimpangan standar baku mutu emisi PLTU batu bara Indonesia dan Korea Selatan./Sumber: Laporan Racun Debu di Kampung Jawara

Lebih lanjut Andri mengatakan, pembangunan PLTU 9 dan 10 juga berpotensi membawa dampak kesehatan bagi masyarakat sekitar. Ia menyebut, tak hanya dampak kesehatan dari terjadinya pencemaran lingkungan masyarakat saja, PLTU 9 dan 10 berpotensi mengakibatkan 4.700 kematian dini. Selain itu, catatan kesehatan menunjukkan bahwa Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang banyak diderita oleh warga Cilegon, yang jumlahnya hampir mencapai 40 ribu kasus.

Sumber: Laporan Racun Debu di Kampung Jawara 

"Saat ini, PLTU Jawa 9 dan 10 menjadi megaproyek investasi yang tidak stategis dan tidak relevan. Proyek ini akan membawa dampak lingkungan, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang teramat besar ke depan."

Jika proyek ini tetap dipaksakan, imbuh Andri, maka kerugian ekonomi besar kemungkinan bakal terjadi untuk pendana Korsel ataupun bagi pihak Indonesia, yang mana PLN saat ini sedang dalam keadaan sulit. Kemudian, dalam situasi multi-krisis seperti saat ini, termasuk situasi krisis pandemi Corona, proyek PLTU Jawa 9 dan 10 hanya akan menambah rentan ketahanan kesehatan warga.

"Proyek investasi yang didanai oleh Korsel ini juga bertentangan secara prinsipil dengan komitmen Korsel dalam upaya penghapusan sumber energi batu bara. Langkah paling menguntungkan saat ini justru adalah segera meninjau ulang dan mengambil keputusan akhir untuk membatalkannya."

Pengamat Energi dari Institute for Energy Economivs and Financial Analysis (IEEFA), Elrika Hamdi mengemukakan, kondisi keuangan PLN sangat bergantung pada subsidi negara. Hal ini telah menyebabkan kerentanan keuangan PLN. Pada 2019 PLN sangat menyadari bahwa pertumbuhan permintaan listrik yang aktual hanya 4,5 persen jauh dari target yang sebesar 6,3 persen.

Pada fase awal pandemi Covid-19, jaringan Jawa Bali kehilangan hampir 9 persen dari permintaan listriknya, membuat margin cadangan listrik yang berlebih. Reaksi yang diambil PLN dan Pembangkit Jawa Bali menghadapi persoalan ini adalah dengan memilih pembakaran batu bara berkualitas rendah atau nilai kalori yang lebih rendah. Hal ini berarti lebih banyak dampak lingkungan yang dihasilkan dari emisi batu bara.

"Apa yang akan terjadi jika PLN terkunci dengan kewajiban untuk memenuhi pembayaran kapasitas beban dasar dari IPP tanpa memiliki permintaan yang disyaratkan? Sementara PLN tidak memiliki kemampuan untuk menaikkan tarif. Apa yang akan terjadi jika pemerintah tidak dapat lagi mendukung kebutuhan arus kas PLN? Mengingat defisit fiskal kita telah melebar lebih dari dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya," kata Elrika Hamdi.

Di kesempatan sama, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi menegaskan, saat ini PLTU yang telah berdiri di Banten sudah memperlihatkan berbagai dampak bagi lingkungan hidup dan mempengaruhi sumber kehidupan manusia. Menurutnya, menambah PLTU dengan proyek PLTU Jawa 9 dan 10, sama dengan memperparah keadaan lingkungan hidup.

"Pilihan ini juga mengesampingkan desakan publik agar negara segera beralih ke energi terbarukan yang adil dan berkelanjutan, melalui transisi yang berkeadilan. Mendanai proyek PLTU sama saja dengan mensponsori perusakan lingkungan, kata Bagus.

Bagus mengatakan, wilayah Banten yang menjadi lokasi proyek PLTU 9 dan 10, khususnya wilayah pesisir, memiliki kerentanan potensi bencana yang besar. Yakni bencana gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Namun begitu, pemerintah malam memusatkan segala pembantunan termasuk pembangkit listrik di wilayah pesisir.

Sementara itu, menurut Director of Overseas Coal Program Solutions for Our Climate, asal Korsel, Sejong Youn, proyek PLTU Jawa 9 dan 10 sedang dalam proses pengambilan keputusan oleh KEPCO Board of Directors. Selain KEPCO yang berisikan K-Exim, KSURE dan KDB, investasi Korsel untuk proyek PLTU Jawa 9 dan 10 ini akan menggunakan uang publik Korsel.

Berdasarkan penilaian Korean Development Institute (KDI), PLTU Jawa 9 dan 10 tidak layak untuk dibiayai. Apabila investasi itu dilanjutkan Korsel akan kehilangan USD43.580 juta sampai dengan USD145.549 juta, dengan beberapa skenario. Menurut Sejong, PLN perlu menimbang kembali keseluruhan proyek ini dari sisi keuangan, mengingat mekanisme take or pay yang akan dijalankan.

"Hasil assessment KDI, kemungkinan PLN tidak akan mampu membeli listrik dari PLTU Jawa 9 dan 10 sesuai yang dijanjikan."

Sejong mengatakan, asumsi Pemerintah Korsel mengenai investasi PLTU Jawa 9 dan 10 belum tentu benar dan bisa jadi malah membawa konsekuensi serius bagi keuangan stakeholder yang terlibat.

Selain itu, komitmen global Green New Deal Korsel juga belum menyentuh komitmen solid untuk menghentikan pendanaan batu bara. Namun terdapat advokasi yang meminta agar Parlemen Korsel memperdalam manifesto hijaunya. Termasuk mempertimbangkan konsekuensi proyek seperti PLTU Jawa 9 dan 10 terhadap emisi global.

"KEPCO mencari persetujuan Dewan untuk proyek Jawa 9 dan 10, meskipun KDI telah berulang kali memperingatkan bahwa proyek ini memiliki profitabilitas negatif dalam studi pra-kelayakan. Jika KEPCO bersikeras untuk mengejar proyek ini, maka akan menghasilkan kerugian yang signifikan, tidak hanya untuk KEPCO, tetapi juga mitranya di Indonesia serta investor keuangan dari proyek tersebut," tutup Sejong dalam diskusi peluncuran laporan berjudul "Racun Debu di Kampung Jawara" yang digelar secara virtual, Selasa (23/6/2020) kemarin.

Sedikit gambaran, proyek PLTU Jawa 9 dan 10 ini menggunakan teknologi ulra-supercritical (USC) dengan kapasitas produksi listrik sebesar 2 ribu MW. Pada 10 September 2018, produsen listrik independen atau Independent Power Producer (IPP) PT Indo Raya Tenaga mencapai kesepakatan dengan Doosan Heavy Industries and Construction (Korsel) dan PT Hutama Karya untuk membangun dua unit baru PLTU.

Proyek dengan nilai investasi sebesar kurang lebih USD3,2 miliar ini didanai oleh Korea Development Bank (KDB) dan Korea Export-Import Bank (K-Exim). Namun investasi ini dinilai bertentangan dengan komitmen global Korsel untuk mengatasi masalah terkait perubahan iklim.

Kontroversi bisnis ini berlanjut di Parlemen Korea yang mempertanyakan proyek tinggi emisi tersebut. Anggota parlemen memanggil sejumlah pejabat tinggi perusahaan keuangan publik tersebut bahkan pejabat level tinggi di kementerian.

Mereka mengingatkan Menteri Luar Negeri untuk menjaga komitmen Korea dalam melawan krisis iklim global. Anggota parlemen juga mempertanyakan komitmen serupa kepada Menteri Perdagangan, Industri dan Energi dengan merujuk pada implementasi agenda Korea 2030 dengan mengurangi secara drastis PLTU batubara.

Studi pre-feasibility dari KDI (Korean Development Institute) yang dilakukan terhadap keterlibatan KEPCO di proyek PLTU Jawa 9 dan 10 juga telah menyimpulkan proyek ini tidak menguntungkan bagi mereka, dengan nilai NPV negatif. Meskipun demikian, pada Juni 2020 dikabarkan investasi tersebut akhirnya diloloskan juga di Indonesia dan PLTU lainnya di Vietnam.

Anggota parlemen Korea yang tidak setuju akan tindakan merugi ini mewaspadai bahwa bukan saja laporan pre-feasibility telah menunjukkan risiko kerugian, namun juga tren energi terbarukan akan membuat pendapatan masa depan proyek ini semakin terancam turun melampaui yang sudah diantisipasi saat ini.

Bantahan PLTU 9 dan 10

Yudianto Permono, Direktur Operasi PT Indoraya Tenaga, perusahaan patungan yang membangun PLTU Suralaya Unit 9 dan 10, mengatakan, pembangkit tersebut menggunakan kalori batu bara lebih rendah atau sekitar 4.400 GAR. PLTU Suralaya unit terbaru diklaim akan lebih ramah lingkungan lantaran menggunakan teknologi terbaru ultra super critical.

Menurut dia, dengan menggunakan pinjaman luar negeri, ada concern khusus terkait lingkungan. Selain itu teknologi tersebut membuat penggunaan batu bara bisa jauh lebih efisien sekitar 40% dari pembangkit listrik lama. PT Indonesia Power yang juga anak usaha PT PLN (Persero) akan memasang alat FGD atau Flue Gas Desulfurization sehingga sulfurnya lebih rendah.

“Kami standar Bank Dunia, emisinya tidak boleh tinggi, maksimal 1/4 baku mutu Indonesia, kemarin dilakukan simulasi independen. Kami tidak boleh lebih dari 1/4. Desain kami (unit 9 dan 10), 70 mikro gram/m3,” kata Yudianto.