Jumlah E-Waste Meningkat, Ancam Lingkungan dan Kesehatan Manusia

Penulis : Kennial Laia

Sampah

Minggu, 05 Juli 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap, sampah elektronik dan barang elektrik mengalami tren peningkatan selama lima tahun terakhir. Bila didaur ulang, sampah tersebut dapat menghasilkan emas, platinum, dan logam berharga lainnya senilai $10 miliar atau Rp144 triliun. Namun, itu semua terbuang dalam bentuk gunungan sampah yang mencemari Bumi. 

Sampah elektronik atau "e-waste" mencapai angka tertinggi pada 2019 yakni sebanyak 54 juta metrik ton, naik 21% selama lima tahun terakhir, menurut laporan PBB berjudul The Global E-Waste Monitor 2020. Angka tersebut ekuivalen dengan 7,3 kilogram per kapita, mayoritas disumbang oleh negara kaya seperti Eropa dan Australia. Pada 2019, hanya 17% e-waste yang didaur ulang. 

Rata-rata total konsumsi global e-waste meningkat 2,5 juta metrik ton setiap tahunnya. Dengan laju kenaikan tiga kali lipat lebih cepat dari populasi dunia, e-waste diproyeksikan naik menjadi 74,7 juta metrik ton pada 2030, hampir dua kali lipat dalam 16 tahun. 

Barang eletronik dan elektrik, seperti telepon genggam, komputer, dan kulkas menjadi kebutuhan utama manusia modern karena memudahkan kehidupan sehari-hari. Namun, bila rusak atau tidak digunakan lagi, barang ini dibuang begitu saja. Padahal, e-waste mengandung bahan kimia beracun, dan tingginya produksi sampah dapat merusak lingkungan, mengganggu kesehatan manusia, dan turut memicu krisis iklim. 

Ilustrasi sampah elektronik dan elektris atau e-waste. Laporan terbaru PBB mengungkap, sampah jenis ini terus meningkat dan dapat mencapai 74.7 juta metrik ton pada 2030. Foto: PBB

Laporan itu menyebut, kurangnya kebijakan dan usia produk yang pendek menjadi salah satu penyebab gunungan e-waste di Planet Bumi. Hal ini diperparah dengan banyaknya sampah elektronik dan elektris yang mustahil diperbaiki, sehingga pengguna membuangnya. Para ahli menyebut situasi ini sebagai “skandal global yang dapat dihindari”.

Masyarakat di Eropa bagian utara menghasilkan paling banyak e-waste, sebanyak 22,4 kilogram per orang pada 2019. Australia dan Selandia Baru menduduki nomor dua, dengan e-waste 21,3 kilogram per orang. Sementara itu Amerika Serikat dan Kanada di peringkat ketiga terbesar dengan angka 20,9 kilogram per orang. Di Asia dan Afrika, rata-rata e-waste masing-masing sebanyak 5,6 kilogram dan 2,5 kilogram per individu.

E-waste mengandung bahan seperti tembaga, besi, perak dan platinum, yang diperkirakan seharga $57 miliar dolar, menurut laporan tersebut. Logam berharga di dalam e-waste diperkirakan mencapai $14 miliar, namun hanya $4 miliar yang dapat dipulihkan saat ini.

Eropa memiliki laju daur ulang tertinggi pada 2019 (42%) dan Asia (12%). Kontinen lainnya memiliki angka lebih rendah, seperti Amerika Utara dan Amerika Selatan dan Oseania di angka 9% dan Afrika 0.9%.

Di negara berpendapatan rendah dan menengah, penanganan sampah eletronik dan elektrisk berjalan namun dengan metode yang tidak aman, seperti membakar papan sirkuit untuk mengambil tembaga. Praktik ini dapat melepaskan logam beracum yang sangat tinggi seperti merkuri, timbal, dan kadmium. “Ini menyebabkan dampak kesehatan yang parah bagi pekerja serta anak-anak yang sering tinggal dan bermain di dekat kegiatan e-waste.”

Diperkirakan sebanyak 50 ton merkuri dibuang setiap tahun, berasal dari layar monitor, lampu hemat enegi, dan e-waste lainnya. Gas yang dilepaskan dari kulkas dan unit pendingin ruangan setara dengan 98 juta ton karbon dioksida pada 2019. Angka ini mendekati emisi nasional Belgia.