FSC Investigasi Dugaan Deforestasi Djarum Grup

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Jumat, 10 Juli 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Forest Stewardship Council (FSC) akan melakukan investigasi terhadap PT Bukit Muria Jaya (BMJ), perusahaan kertas kemasan milik Djarum Grup. Lantaran PT BMJ diketahui terhubung dengan dua perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang tercatat telah melakukan deforestasi puluhan ribu hektare hutan alam di Kalimantan Timur dalam beberapa tahun terakhir.

Direktur Komunikasi dan Media Yayasan Auriga Nusantara, Syahrul Fitra, mengungkapkan, rencana investigasi FSC ini dilakukan sebagai tindak lanjut pengaduan resmi yang disampaikan Auriga Nusantara pada Desember 2019. FSC juga mengindikasikan telah memulai pembicaraan dengan Djarum Grup mengenai kemungkinan pembentukan komitmen zero-deforestation secara terbuka di seluruh operasinya.

Syahrul menjelaskan, PT BMJ sebagai pemegang sertifikat lacak balak FSC diketahui terhubung dengan aktivitas penghancuran hutan alam yang dilakukan oleh dua perusahaan yang dioperasikan oleh Djarum Grup. Dua perusahaan dimaksud yakni PT Fajar Surya Swadaya (FSS) dan PT Silva Rimba Lestari (SRL). Dua perusahaan ini diduga melakukan penghancuran hutan alam seluas sekitar 32 ribu hektare dan mengkonversinya menjadi HTI antara 2013 hingga 2017 di Kaltim. Dengan rincian PT FSS seluas 19.221,45 hektare dan PT SRL seluas 12.780,81 hektare.

Citra satelit resolusi tinggi (1,5 M) areal konsesi PT FSS yang diambil pada Januari 2016 lalu./Gambar: Laporan Beli Kayu Deforestasi Djarum Group di Kalimantan Timur, APP dan APRIL Langgar Komitmen Zero Deforestation.

Deforestasi pada rentang 2001-2007 dan tutupan hutan alam tersisa dalam konsesi HTI PT FSS di Kalimantan Timur./Sumber: Laporan Beli Kayu Deforestasi Djarum Group di Kalimantan Timur, APP dan APRIL Langgar Komitmen Zero Deforestation.

Deforestasi dan tutupan hutan tersisa dalam konsesi HTI PT SRL di Kalimantan Timur./Sumber: Laporan Beli Kayu Deforestasi Djarum Group di Kalimantan Timur, APP dan APRIL Langgar Komitmen Zero Deforestation.

Ini mencakup lebih dari 17.500 hektare deforestasi antara tahun 2015 dan 2017, melebihi ambang batas FSC 10.000 deforestasi yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Kedua perusahaan ini sebagian dimiliki oleh pemegang saham mayoritas PT BMJ, yang disertifikasi oleh FSC.

"Kedua perusahaan hutan tanaman industri (PT FSS dan PT SRL) dan PT Bukit Muria Jaya, pemegang sertifikat FSC sama-sama dikendalikan oleh Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, serta keluarga Hartono lainnya. Keduanya tercatat sebagai orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes," kata Syahrul, Selasa (7/7/2020).

Dijelaskannya, dari informasi dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) perusahaan-perusahaan tersebut diketahui Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono sebagai pemilik tidak langsung PT FSS dan PT SRL. Dua perusahaan tersebut dimiliki melalui sejumlah perusahaan lainnya.

Hubungan kepemilikan PT BMJ, PT FSS dan PT SRL yang sama-sama dimiliki oleh para pemilik Djarum Grup./Sumber: Kemenkumham, 30 Oktober 2019; Auriga Nusantara, 2019.

Dua konsesi tersebut juga diketahui merupakan pemasok kayu bagi Asia Pulp Paper (APP) Grup dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) Grup. Dengan demikian dua produsen pulp dan kertas terbesar di Indonesia itu juga patut diduga melanggar komitmen zero-deforestation mereka.

Karena berdasarkan laporan rencana pemenuhan bahan baku industri (RPBBI) yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, pabrik kertas dan pulp terbesar milik APP di Indonesia yang terletak di Perawang, Riau, tercatat menampung kayu sebanyak 18.538 meter kubik dari PT FSS pada 2018. Pada tahun yang sama, PT Sarana Bina Semesta Alam (SBSA), pabrik serpih kayu yang terafiliasi dengan APP, juga menampung kayu sebanyak 25.099 meter kubik dari PT FSS.

"Kemudian berdasarkan laporan RPBBI PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP), pabrik kertas dan pulp utama APRIL di Indonesia yang terletak di Pangkalan Kerinci, Riau, menampung kayu sebanyak 305.617 meter kubik dari PT FSS pada 2018."

Syahrul melanjutkan, FSC memilih untuk tidak menunjuk panel pengaduan resmi untuk melakukan investigasi, sesuai yang disyaratkan oleh kebijakan untuk pengaduan asosiasi nomor FSC-PRO-01-009. Sebaliknya FSC menyatakan, demi efisiensi pihaknya akan mengontrak konsultan eksternal untuk melakukan analisis deforestasi secara independen menggunakan foto penginderaan jauh.

Meskipun prosedur normal FSC untuk menangani keluhan mencakup tenggat waktu yang terperinci, proses pengambilan keputusan, dan proses banding, pendekatan alternatif yang ditempuh oleh FSC, dalam hal ini, tidak tunduk pada pedoman tersebut untuk memastikan keadilan, transparansi, dan kesimpulan tepat waktu untuk investigasi.

"Pernyataan resmi FSC pada 8 Juni 2020, menyebut 'will defer proceeding with an independent complaint evaluation until further notice'. FSC tidak dapat melanjutkan proses pemeriksaan sekalipun menggunakan prosedur alternatif karena keterbatasan sumber daya dan pembatasan perjalanan selama krisis COVID-19."

Lebih lanjut Syahrul mengatakan, Auriga Nusantara sangat bersimpati atas dampak COVID dan masalah keamanan selama pembatasan sosial. Namun, Auriga mempertanyakan perlunya penundaan yang lama untuk melakukan invesatigasi tersebut. Karena secara teknis, analisis deforestasi yang diusulkan FSC dapat dilakukan tanpa kunjungan lapangan. Kemudian biaya untuk sewa konsultan guna menganalisis deforestasi selama lima tahun terakhir, untuk area kurang dari 100.000 hektare, sangat kecil dibanding anggaran operasional FSC, yang sebesar USD30 juta.

"Bagaimana mungkin FSC tidak mampu mengalokasikan beberapa ribu dolar untuk keperluan investigasi deforestasi secara kredibel? Untuk memastikan pemangku kepentingan dapat menegakkan standarnya, FSC harus segera melakukan analisis ini dan membuka hasilnya ke publik."

Dalam pemberitahuan publik, FSC menyebut akan melanjutkan diskusi informal dengan Djarum Grup mengenai adanya komitmen mereka untuk menghentikan deforestasi. Meskipun diskusi ini bukan pengganti investigasi formal FSC, Auriga Nusatanra mendukung dialog ini dan mendorong Djarum Grup untuk membentuk kebijakan zero-deforestation.

"Tentunya sebagai salah satu kelompok bisnis terbesar di Indonesia, Djarum harus memberi contoh baik dalam melindungi lingkungan hidup."

Selain diumumkan di laman websitenya, informasi tentang rencana investigasi FSC terhadap Djarum Grup ini juga disampaikan melalui surat resminya, yang dikirimkan kepada PT BMJ dan Auriga Nusantara, tertanggal 24 Juni 2020. Dalam suratnya tersebut, FSC menyebutkan, dikarenakan Covid-19 dan langkah-langkah operasional selanjutnya yang harus diambil FSC International, dengan kapasitas yang berkurang dan kemampuan perjalanan yang lebih rendah, proses investigasi keluhan PfA (Policy for the Association) telah ditunda, termasuk investigasi terhadap PT FSS dan PT SRL.

Lebih lanjut disebutkan, Dewan Internasional FSC akan meninjau penyelidikan dan prioritas kasus dalam pertemuan November 2020 nanti dan akan memberikan pembaruan untuk setiap perubahan dalam linimasa. Selama masa tunggu ini, FSC juga akan meminta kepada PT FSS dan PT SRL untuk melakukan moratorium pembukaan hutan lebih lanjut dan konversi, sampai penyelidikan konversi signifikan selesai, yang diperkirakan sekitar musim panas 2021 nanti.

Sementara itu, dalam Laporan Verifikasi atas Kayu dari PT FSS yang dirilis APP Sinarmas Grup, disebutkan pada 29 November 2017 APP telah menyelesaikan laporan penilaian Supplier Evaluation and Risk Assessment (SERA). Laporan akhir mengkategorikan PT FSS sebagai risiko signifikan yang tidak selaras dengan komitmen APP, dan karenanya APP memutuskan untuk mengkarantina kayu dan tidak menggunakannya dalam produksi.

Kemudian pada 16 April 2018, APP mengundang The Forest Trust (TFT) untuk melakukan verifikasi lapangan, mengkonfirmasi bahwa log (kayu) dari PT FSS di halaman log PT Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP), di pabrik Perawang, belum digunakan untuk produksi. Disimpulkan pengiriman tetap dikarantina di log yard PT IKPP dan tidak ada serat dari pengiriman ini yang memasuki pasokan produksi APP.

Dalam laporan tersebut, pihak APP Sinarmas menyimpulkan, setelah penilaian SERA lengkap dilakukan dan menemukan ada masalah di sekitar PT FSS, pengiriman kayu segera ditandai dan dikarantina. Tidak ada serat dari kiriman PT FSS yang masuk ke pasokan produksi. Penggunaan log ini untuk palet dan boiler antara Mei-Agustus 2018 adalah semua dicatat dalam laporan penggunaan kayu sesuai dengan prosedur penggunaan kayu.

Disebutkan dalam laporan tersebut, seluruh kayu dari PT FSS, sebanyak 43.400 meter kubik atau setara kurang lebih 27.300 ton belum digunakan oleh IKPP. Selain itu, dalam laporan APP disebutkan, di tiap blok penyimpanan kayu dari PT FSS ditandai dengan tulisan 'Kayu PT Fajar Tidak Boleh Digunakan'.

Dikutip dari berita CNN, Direktur Hubungan Korporasi APRIL Group Agung Laksamana mengatakan, PT FSS merupakan pemasok pasar terbuka kayu perkebunan perusahaan sejak Juni 2017, tetapi telah mengikuti proses uji tuntas internal.

Dalam uji tuntas tersebut, PT FSS diketahui telah menunjuk Tropenbos International untuk melakukan penilaian High Conservation Value (HCV) di daerah konsesi mereka pada April 2015. Sesuai penilaian, pengembangan perkebunan dilakukan PT FSS di wilayah non-HCV.

Agung juga menegaskan, seluruh pasokan kayu ke pabrik APRIL mengacu pada kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management Policy) 2.0. Kebijakan ini diterapkan melalui sosialisasi, proses uji tuntas internal, pemantauan kepatuhan termasuk pengawasan perubahan tutupan lahan secara internal.

Lebih lanjut Agung mengatakan, hasil audit terbaru KPMG telah memastikan komitmen APRIL untuk tidak melakukan deforestasi. Selain itu, pihaknya juga terus memastikan komitmen untuk tak menggunakan kayu campuran (mix hardwood). Menurut Agung, pihaknya telah menyampaikan kepada PT FSS untuk klarifikasi lebih lanjut terkait laporan Koalisi Antimafia Hutan.

Sejauh ini belum ada komentar ataupun tanggapan resmi dari pihak Djarum Grup perihal dugaan keterlibatannya dalam kegiatan deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan kepemilikan dengan keluarga Hartono, yang tak lain adalah pemilik Djarum Grup dan rencana investigasi yang akan dilakukan FSC terhadap PT BMJ.

Kala dimintai komentar tanggapannya, Corporate Communication Manager PT Djarum, Budi Darmawan hanya bisa menyampaikan permintaan maafnya, karena belum bisa mendapatkan narasumber yang tepat untuk menjawab beberapa pertanyaan yang Betahita.id sampaikan berkenaan dengan isu keterlibatan Djarum Grup dalam kegiatan deforestasi dan rencana investigasi FSC tersebut.

"Karena memang sudah terlalu lama (waktu yang diberikan untuk memberikan tanggapan). Juga sudah dead line, mohon maaf saya belum bisa dapatkan nara sumber yang tepat," kata Budi Darmawan, Selasa (7/7/2020).