Makassar New Port Rugikan Nelayan? Ini 9 Faktanya

Penulis : Betahita.id

Lingkungan

Selasa, 04 Agustus 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Makassar New Port (MNP) yang merupakan salah satu proyek strategis nasional di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi kini menuai protes. Musababnya, pengerukan pasir laut dalam proyek ini diduga telah menyebabkan kerugian bagi nelayan sekitar, salah satunya di Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan.

"Nelayan merasa resah, karena setiap nelayan keluar cari ikan selalu tidak dapat, karena airnya keruh," kata Zakia, salah seorang istri nelayan Pulau Kodingareng dalam konferensi pers Koalisi Selamatkan Laut Indonesia, Jumat, 24 Juli 2020.

Tempo mengumpulkan sejumlah keterangan, suara publik, dan rekam kejadian di tengah kasus ini, berikut di antaranya:

1. Proyek Strategis Nasional

Makassar New Port (inaport4.co.id)

MNP adalah satu dari sekian banya proyek strategis di bawah pemerintahan Jokowi. Pembangunan proyek ini diresmikan Jokowi pada 22 Mei 2015. Berdasarkan keterangan di laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), pelabuhan ini direncanakan akan memiliki kapasitas sebesar 500.000 CBUs.

2. Tahap I Soft Launching

Pada 2 November 2018, Pelindo IV melakukan soft launching MNP Tahap I Paket A. Perusahaan menyatakan bahwa proyek ini adalah salah satu upaya mereka untuk memperlancar jalur distribusi serta membantu memangkas biaya dan waktu.

“Pada hari ini yang kami resmikan pengoperasiannya adalah pembangunan MNP Tahap I A yang dibangun pada 2015 hingga 2018, yaitu dermaga dan menelan total investasi untuk infrastruktur dan suprastruktur sebesar Rp2,51 triliun,” kata Direktur Pelindo IV saat itu, Farid Padang.

MNP ini dikerjakan dalam tiga tahapan. Setiap tahapan dibagi menjadi Paket A, B, C, dan D. Setelah rampung, MNP pun digadang-gadang sebagai proyek prestisius bagi perusahaan dan akan menjadi wajah baru Pelindo IV pada tahun-tahun mendatang.

3. Diduga Merusak Ekosistem Pesisir

Di tengah proses pembangunan ini, Pelindo IV pun didesak segera menghentikan seluruh aktivitas konstruksi MNP. Sebab, proyek ini disebut sudah menimbulkan dampak destruktif terhadap eksosistem pesisir di Sulawesi Selatan.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel Muhammad Al Amin menyatakan proyek MNP juga memicu eskalasi sosial ekonomi masyarakat pesisir sebagai dampak turunan dari proyek tersebut.

"Paling terasa dialami nelayan kita, baik sosial ekonominya dan lebih utama dampak kerusakan lingkungan pesisir atas adanya penambangan pasir laut untuk kebutuhan kontruksi reklamasi MNP," kata Amin seperti dikutip dari Bisnis.com pada Selasa, 14 Juli 2020.

4. Nelayan Protes

Al Amin menuturkan, segala dampak tersebut membuat masyarakat pesisir Sulsel nekat menghadang dan menghentikan aktivitas penambangan pasir laut oleh Boskalis selaku kontraktor rekanan Pelindo IV.

Kemarahan nelayan itu berlanjut dengan gelaran protes fisik dengan mendatangi lokasi MNP lantaran mereka menilai permintaan agar Pelindo IV memperhatikan dampak proyek diabaikan.

Pelindo IV menyampaikan klarifikasi. Tapi menurut Amin, semua klarifikasi mereka tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Bahkan, kata dia, Pelindo IV dan Boskalis tidak menerapkan kewajiban terkait perlindungan sosial dan lingkungan.

5. Boskalis asal Belanda

Salah satu pangkal masalah dalam kejadian ini adalah kegiatan penambangan pasir laut oleh Kapal Quuen of The Netherlands, milik Royal Boskalis Wastminster N.V. Penambangan ini adalah bagian dari proyek MNP.

Penanggung jawab proyek ini memang Pelindo IV. Tapi, Mereka menggandeng BUMN lain yaitu PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk atau yang biasa dikenal PT PP. Boskalis pun menjadi mitra dari PT PP.

"Pengerukan pasir yang dilakukan Boskalis sekarang ini membuat nelayan merasa resah, karena setiap nelayan keluar cari ikan selalu tidak dapat karena airnya keruh," kata Zakia, salah seorang istri nelayan Pulau Kodingareng dalam konferensi pers Koalisi Selamatkan Laut Indonesia, Jumat, 24 Juli 2020.

Akibatnya, kata Zakia, pendapatan nelayan di Pulau Kodingareng menurun drastis. Sebelum Boskalis mengeruk pasir, nelayan bisa mendapatkan 5 hingga 10 ekor jenis tenggiri. Kini, mereka hanya bisa dapat 1 ekor. "Kadang ga ada kami dapat," kata Zakia.

Tak hanya tangkapan ikan yang berkurang, harga di pasaran juga jatuh. Sebelum pandemi Covid-19, Zakia menyebut harga ikan tangkapan nelayan dihargai Rp 45 sampai Rp 60 ribu per kilo. Kini, hanya Rp 25 ribu per kilo.

6. Jatam Menilai Terjadi Penjajahan Ruang Hidup

Sejumlah organisasi masyarakat sipil terlibat dalam koalisi ini mendampingi Zakia dan nelayan lain. Mulai dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). "Yang terjadi menurut saya saat ini adalah penjajahan terhadap ruang hidup nelayan di Sulawesi," kata Koordinator Nasional Jatam Merah Johansyah.

Menurut Merah, ada tiga perusahaan yang terlibat langsung dalam kasus ini. Selain Boskalis, ada juga PT Alefu Karya Makmur dan PT Banteng Laut Indonesia sebagai pemasok untuk MNP. Akibat operasi ini, nelayan pun harus mencari ikan.

Menurut dia, kapal Queen of The Netherlands pun hanya berjarak 200 meter dari pesisir pantai Pulau Kodingareng. Tak ayal, aktivitas penambangan pasir oleh Boskalis merusak terumbu karang dan mengancam pulau yang dihuni nelayan.

7. Bantahan Pelindo IV

Tempo lalu mengkonfirmasi hal ini kepada Pelindo IV dan mereka membantah semua tuduhan tersebut. "Penambangan pasir itu sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Sekretaris Perusahaan Pelindo IV Dwi Rahmad Toto ketika dihubungi di Jakarta, Jumat, 24 Juli 2020.

Toto mengatakan lokasi penambangan pasir ini telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) Provinsi Sulawesi Selatan. "Serta dalam pelaksanaan sangat memperhatikan aspek lingkungan dan kontrol yang ketat."

Selain itu, Pelindo IV menyatakan proyek ini juga sudah memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hingga Rencana Induk Pelabuhan (RJP), dan Izin Reklamasi. Lalu, sejumlah mitigasi dilakukan agar laut tidak tercemar.

8. PT Alefu dan PT Banteng

Pelindo IV menyampaikan bahan soal proyek MNP ini kepada Tempo. Di dalamnya disebutkan juga dua perusahaan yang disinggung Merah Johansyah.

Namun menurut Pelindo IV, semua aspek legalitas sudah terpenuhi. Kedua perusahaan sudah mendapatkan izin lingkungan, izin tambang, dan izin kerja keruk.

9. Pemerintah Pusat Bakal Cek Lapangan

Tempo mengkonfirmasi kejadian ini pada Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Komite ini dibentuk sebagai unit koordinasi dalam pengambilan keputusan untuk mendorong penyelesaian masalah yang muncul dalam proyek strategis nasional.

Akan tetapi, Ketua Pelaksana KPPIP Wahyu Utomo mengaku belum mengetahui adanya keluhan nelayan di Pulau Kodingareng tersebut. "Saya belum terinformasi, nanti kami cek," kata Wahyu juga pejabat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ini, saat dihubungi.

TEMPO.CO |  TERAS.ID