LIPI: Bencana Akibat Perubahan Iklim Makin Sering Terjadi

Penulis : Betahita.id

Perubahan Iklim

Rabu, 05 Agustus 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Hasil penelitian LIPI dari catatan rekaman iklim di karang teluk Kupang Timor sejak 1914 menunjukkan bahwa variabilitas suhu dan salinitas pada skala antar tahun di wilayah tersebut berkorelasi kuat dengan Indian Ocean Dipole (IOD), sedangkan El Nino Southern Oscillation ENSO hanya berkorelasi dengan suhu. 

Indian Ocean Dipole (IOD) adalah kondisi interaksi laut-atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia tropis. Selama fenomena IOD positif, suhu permukaan laut secara anomali menghangat di Samudera Hindia barat, sedangkan di bagian timur lebih dingin dari normalnya.

Baca juga: Tim LIPI Rekrut Subjek Terakhir Uji Klinis Obat Herbal Covid-19

Studi ini menunjukkan pengaruh mode iklim Indo-Pasifik terhadap variabilitas suhu dan salinitas di jalur arus lintas indonesia (Arlindo) sangat kompleks. Penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature tahun 2020, hasil kerjasama tim LIPI dengan peneliti dari Australia, Amerika Serikat, Taiwan, dan Cina menghasilkan rekonstruksi variabilitas IOD menggunakan arsip iklim karang dari wilayah bagian timur Samudra Hindia (yaitu di pesisir barat Sumatra dan selat Sunda).

“Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa fenomena seperti IOD positif seperti yang terjadi pada tahun 2019 lalu dulunya jarang terjadi, namun sekarang peristiwa semacam ini menjadi lebih sering terjadi,” kata peneliti iklim dan lingkungan masa lampau Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Sri Yudawati Cahyarini di Bandung, Selasa, 4 Agustus 2020.

Dapat dikatakan bahwa pada abad 20 ini, frekuensi dan intensitas IOD/ENSO terjadi peningkatan, dan diperkirakan akan memburuk jika emisi gas rumah kaca terus meningkat. Penelitian ini juga menekankan bahwa Samudra Hindia dapat ‘menampung’ peristiwa yang bahkan lebih kuat daripada peristiwa iklim ekstrem yang terjadi pada tahun 2019 lalu.

Secara historis, peristiwa kuat seperti tahun 2019 lalu sangat jarang terjadi. “Pada periode di tahun 1675, pernah terjadi iklim ekstrem yang 42 persen lebih kuat daripada peristiwa terkuat yang pernah teramati sejauh ini dalam catatan data pengukuran, yaitu peristiwa El Nino 1997.”

Tanpa campur tangan manusia saja, iklim ekstrem seperti peristiwa di periode tahun 1675 pernah terjadi; apalagi pada masa sekarang di mana kerusakan lingkungan makin parah akibat ulah manusia, maka kemungkinan bahwa peristiwa ekstrem seperti itu dapat terjadi lagi dengan lebih kuat dan lebih sering. “Hasil rekonstruksi iklim dari tahun 1240 sampai sekarang, hanya merekam 10 peristiwa iklim ekstrem, dan empat di antaranya terjadi pada kurun waktu 60 tahun terakhir ini,” katanya.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa walaupun peristiwa IOD positif dan El Niño dapat terjadi secara independen, namun peristiwa ekstrem IOD yang terjadi dapat juga meningkatkan variabilitas ENSO di Samudra Pasifik. “Kerjasama yang terintegrasi erat antara peneliti yang bekerja dengan data iklim masa sekarang dengan peneliti yang bekerja dengan data iklim masa lampau sangat diperlukan untuk lebih memahami mekanisme iklim di wilayah Indonesia yang sangat kompleks ini, sehingga membantu kita menjadi lebih siap dalam menghadapi risiko bencana iklim masa depan.” 

Pemahaman mengenai mekanisme iklim, khususnya di wilayah Indonesia, menjadi penting dalam usaha melakukan mitigasi atau adaptasi terjadinya bencana iklim. “Untuk memahami mekanisme iklim diperlukan pemahaman historis iklim itu sendiri, sehingga diperlukan data parameter iklim seperti suhu permukaan laut, curah hujan, salinitas dan lain-lain dalam skala waktu yang panjang yang melebihi cakupan data pengukuran,” ungkap Yuda.

Menurut Yuda, studi iklim masa lampau (paleoclimate) menjadi sangat penting. “Pemahaman iklim masa lampau akan membantu dalam memahami iklim masa sekarang untuk meningkatkan keakuratan model prediksi iklim,” katanya.

Data iklim masa lampau dapat disediakan oleh arsip iklim seperti karang, sedimen laut, sedimen danau, speleoterm, lingkaran pohon dan lain-lain. “Indonesia memiliki lengkap semua jenis arsip iklim, bahkan termasuk arsip iklim inti bor es atau ice core yang dapat dijumpai di Puncak Jaya, Papua.”

Ia menjelaskan, setiap arsip iklim memiliki resolusi yang berbeda-beda dalam penyediaan data iklim dan saling melengkapi satu sama lainnya. “Sebagai contoh, arsip iklim sedimen laut, mampu menyediakan informasi iklim sampai jutaan tahun lampau dengan resolusi data puluhan-ratusan tahun, sedangkan arsip iklim karang mampu menyediakan data dengan resolusi lebih tinggi yaitu bulanan, namun hanya mampu menyediakan informasi iklim paling tidak sampai ratusan-ribuan tahun lampau. "

Yuda mengungkapkan, dalam arsip iklim terkandung unsur-unsur kimia yang dapat digunakan untuk merekontruksi suhu permukaan laut, salinitas, curah hujan, dan lain-lain yang dikenal dengan istilah data proxy geokimia. “Karang, terutama dari jenis Porites, mampu merekam jejak iklim masa lampau dengan baik,” katanya. Dirinya menjelaskan,  kandungan unsur jejak perbandingan Sr/Ca dalam karang mampu merekam informasi suhu permukaan laut dan kandungan oxygen isotope dalam karang mampu menyediakan informasi presipitasi ataupun salinitas.

Kombinasi karang yang hidup dan mati dapat menghasilkan data iklim dalam resolusi bulanan dari masa sekarang sampai masa lampau secara kontinyu. Perlapisan pertumbuhan tahunan karang yang ditunjukkan warna gelap/terang di bawah sinar X (ronsen) menyimpan informasi urut-urutan waktu.


Ilustrasi perubahan iklim. (flickr.com)