Kanopi: Izin Operasi PLTU Teluk Sepang Tidak Layak Diterbitkan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Rabu, 19 Agustus 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Operasi produksi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di Teluk Sepang, Pulau Baai, Bengkulu, dikhawatirkan bakal membawa dampak buruk pada  lingkungan dan kesehatan masyarakat. Kanopi Hijau Indonesia menilai izin operasi untuk PLTU berkapasitas produksi 2x100 MW ini sebaiknya tidak diterbitkan.

Baca juga: PLTU Teluk Sepang Dianggap Hancurkan Biodiversitas Indonesia

Penilaian Kanopi Hijau Indonesia ini muncul sebagai respon atas pernyataan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, yang menyebut tidak akan mengeluarkan izin operasi untuk PLTU Teluk Sepang, apabila pembangkit tersebut tidak memiliki Sertifikat Laik Operasi (SLO).

Juru Kampanye Kanopi Hijau Indonesia, Olan Sahayu menuturkan, terlepas ada atau tidaknya SLO, izin operasi untuk PLTU Teluk Sepang sebaiknya tetap tidak diterbitkan. Karena aktivitas operasi produksi PLTU itu bakal menimbulkan dampak negatif, baik bagi lingkungan maupun kesehatan warga sekitar.

Sebuah spanduk raksasa bertuliskan "Jokowi, PLTU Membunuh Laut Kami", dibentangkan di atas perairan di dekat PLTU Teluk Sepang Bengkulu./Foto: Dokumentasi Koalisi Langit Biru

Berdasarkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) PLTU Teluk Sepang, kata Olan, diketahui bahwa PLTU batu bara ini menggunakan tipe boiler high pressure CFB (circulating fluidized bed). Tipe boiler seperti ini digunakan untuk menghasilkan daya sebesar 2X100 MW, dengan membakar batu bara sebanyak 2.732,4 ton/hari.

Abu yang akan dihasilkan sebanyak 14,48 ton/jam. Dengan asumsi penangkap abu bekerja sangat efektif yaitu sebesar 99,8 persen. Abu yang akan dilepaskan ke udara diperkirakan berjumlah 695 kilogram setiap harinya.

"Abu yang terbang ke udara ini mengandung senyawa beracun seperti NO2, SO2 dan dan logam berat lainnya seperti arsenik, timbal dan mercuri. Senyawa dan unsur tersebut berdampak buruk bagi lingkungan dan Kesehatan," kata Olan, Rabu (19/8/2020).

Olan mengatakan, berdasarkan data yang dikutip dari quitcoal, PLTU batu bara Teluk Sepang didirikan dengan menggunakan teknologi subcritical. Teknologi ini terbilang lama dan sudah ditinggalkan oleh negara pemiliknya.

"Untuk diketahui Cina telah mengganti jenis teknologi ke teknologi yang lebih maju seperti super ultra critical dan lebih hebatnya lagi negeri tirai bambu ini menjadi juara dalam mengembangkan energi terbarukan."

Olan berpendapat, berdasarkan analisis yang sudah diuraikan tersebut, tidaklah berlebihan apabila Gubernur Bengkulu tidak memberikan izin operasi kepada PLTU batu bara Teluk Sepang. Teknologi usang, ketidakjelasan substansi penyusunan dokumen AMDAL, serta petikan pelajaran dari wilayah lain yang memilki PLTU berteknologi kuno, seharusnya menjadi dasar yang kuat bagi gubernur untuk tidak menerbitkan izin operasi.

Sebelumnya, dalam rapat bersama Irjen Kementerian ESDM, terkait Kontrol Pelaksanaan Investasi Bidang ESDM dan Tindak Lanjut Pengaduan Masyarakat Terhadap PLTU Bengkulu, di Gedung Daerah Balai Raya Semarak Bengkulu, Kamis (13/8/2020) lalu, Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah memastikan tidak akan mengeluarkan izin operasi PLTU Teluk Sepang, sebelum PLTU tersebut memiliki SLO.

Dalam kesempatan itu, Rohidin juga meminta agar PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) sebagai pelaksana pengelola PLTU Teluk Sepang memberikan kepastian terkait aktivitas PLTU berjalan produktif secara ekonomi, ramah terhadap kelestarian fungsi lingkungan serta menjamin kondusifnya kegiatan sosial masyarakat sekitar.

"Biasanya kalau akan beroperasi terlebih dahulu diuji coba dan ada SLO-nya. Jadi kalau biaya produksi ternyata menyebabkan harga lebih mahal itu tidak efisien. Kemudian jika memang ada potensi mencemarkan lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat sekitar kita tidak akan berikan izin operasi," kata Rohidin Mersyah, seperti dikutip dari laman resmi Pemerintah Provinsi Bengkulu, Kamis (13/8/2020).

Rohidin juga menegaskan, untuk menentukan beroperasinya PLTU ini, dinas teknis juga terlebih dahulu harus melakukan pengkajian lainnya. Yakni mulai dari efesiensi secara ekonomi, perhitungan transportasi bahan baku dan terkait teknologi yang digunakan. Menurutnya teknologi yang digunakan berpengaruh pada kelestarian lingkungan dan ekonomi.

"Kerena teknologi baru PLTU bisa serap kembali uapnya itu. Sehingga jangan sampai ketika ini beroperasi ternyata menimbulkan permasalahan. Dan inilah kritikal poinnya di sini."