Konflik Panjang Masyarakat Adat Pubabu-Besipae dan Pemerintah NTT

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Rabu, 26 Agustus 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Masyarakat adat Pubabu-Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, butuh pengakuan dari pemerintah. Ini berkaitan dengan konflik lahan yang terjadi antara masyarakat adat Pubabu dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak program pemerintah masuk ke wilayah adat Pubabu, masyarakat di sana mulai kehilangan haknya atas wilayah tersebut.

Saat ini sebanyak 29 kepala keluarga (KK) masyarakat adat Pubabu-Besipae, jadi korban penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTT. Mereka kini terpaksa membangun tenda-tenda darurat sebagai tempat tinggal sementara di lokasi.

Deputi Bidang Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT, Yuvensius Stefanus Nonga menuturkan, hingga Senin (24/8/2020) sore kemarin, masyarakat adat Besipae yang rumahnya tergusur masih bertahan di lokasi tempat tinggalnya. Terdapat 29 KK yang memilih mendirikan tenda di lokasi itu.

"Di lokasi hanya masyarakat yang 37 KK. 29 KK yang ditenda dan 8 KK lainnya belum digusur. Polisi Brimob dan Pol PP sudah ditarik dari lokasi," kata Yuvensius, Senin (24/8/2020) sore kemarin.

Sekitar 29 KK masyarakat adat Pubabu di Besipae, NTT, menjadi korban penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTT yang terjadi pada 18 Agustus 2020 kemarin./Foto: Walhi NTT

Yuvensius menjelaskan, 29 KK masyarakat adat Besipae itu memilih mendirikan tenda untuk tempat tinggal sementara, karena rumah-rumah yang dibangun pemerintah di lokasi tersebut dibangun di atas tanah milik warga Besipae lainnya.

"Ini yang sementara masyarakat menginap di tenda ini, tenda yang dibangun masyarakat sendiri. Sedangkan rumah-rumah yang dibangun oleh pemerintah itu tidak ditempati karena memang dibangun di kawasan belukarnya orang itu. Jadi masyarakat memilih membangun tenda, masih dalam lokasi tapi dibangun oleh masyarakat sendiri."

Salah satu rumah yang dibangun Pemerintah Provinsi NTT untuk masyarakat adat Pubabu-Besipae yang rumahnya telah digusur beberapa waktu lalu./Foto: Walhi NTT

Untuk kebutuhan makan, tenda dan lain-lain untuk 29 KK yang kini tinggal  sejauh ini masih terpenuhi melalui donasi atau bantuan dari aliansi organisasi masyarakat maupun perorangan. Sedangkan dari pemerintah, menurutnya, sejauh ini belum ada.

"Sedangkan untuk dialog ke depan dalam waktu dekat, belum ada informasi. Sampai sekarang belum ada informasi."

Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengaku prihatin sekaligus mengecam tindakan represif dan perusakan serta penggusuran rumah masyarakat adat Pubabu yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT dengan mengerahkan aparat Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian dan TNI, yang terjadi beberapa kali dan puncaknya pada 18 Agustus 2020 kemarin.

"Kami prihatin dan mengecam, pengerahan aparat untuk melakukan pemaksaan terhadap masyarakat," kata Umbu, Rabu (19/8/2020) kemarin.

Umbu menuturkan, konflik lahan masyarakat adat Pubabu dan Pemerintah Provinsi NTT ini merupakan warisan dari kepala-kepala daerah sebelumnya. Yang mana pemerintah telah mengabaikan bagaimana proses persoalan terjadi.

"Inikan bukti bahwa Pemprov menyelesaikan masalah dengan persoalan baru. Tapi tidak bisa begitu."

Menurutnya, masyarakat adat Pubabu sebenarnya tidak menolak rumah yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi NTT. Namun yang menjadi persoalan adalah mengenai pengakuan pemerintah terhadap hak masyarakat adat terhadap lahan yang kini dijadikan lokasi pengembangan peternakan, perkebunan dan pariwisata.

"Masyarakat sebenarnya tidak menolak. Tapi sertifikat tahun 2013 itu dicabut dulu. Rumah yang diberikan pemprov tidak layak, karena yang diinginkan adalah pengakuan. Proses persoalan diabaikan."

Selain itu, menurut Umbu, masyarakat adat Pubabu sebenarnya juga tengah menunggu janji Gubernur NTT untuk melakukan pertemuan dialogis. Akan tetapi dialog tersebut tak kunjung terjadi dan beberapa kali menemui kegagalan.

Untuk saat ini Walhi akan berupaya agar masyarakat adat Pubabu bisa mendapat pengakuan. Selain itu pihanya juga berupaya agar dialog antara masyarakat adat Pubabu dan Gubernur NTT tersebut bisa terlaksana.

"Kita akan lihat, dari masyarakat siap atau tidak untuk lanjutkan upaya hukum. Kita upayakan pengakuan dan dialog itu. Tapi pertanyaan besarnya, siapa yang bertanggung jawab atas traumatik yang terjadi?"

Kronologi Konflik

Bila dirunut konflik lahan ini memiliki sejarah yang panjang. Berdasarkan kronologi konflik lahan yang disusun oleh Walhi NTT, konflik ini dimulai sejak 1982. Yakni ketika Pemerintah Provinsi NTT masuk ke wilayah Besipae dengan melakukan kesepakatan kerjasama dengan masyarakat adat Pubabu-Besipae dalam pelaksanaan Proyek percontohan Intensifikasi Peternakan.

Proyek tersebut juga melibatkan Desa Oe Ekam, Desa Mio, Desa Poli dan Desa Linamnutu. Lahan dan hutan masyarakat yang digunakan luasnya mencapai kurang lebih 6 ribu hektare. Proyek kerjasama Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Australia, dalam program Percontohan Pembibitan Ternak Sapi ini dilaksanakan dalam rentang 1982-1987. Akan tetapi proyek tersebut rupanya tidak berjalan dengan baik.

Pada 1987, setelah Program Intensifikasi Peternakan ini berakhir, Dinas Kehutanan melaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (Gerhan) di wilayah Desa Polo, Desa Milo, Desa Oe Ekam dan Desa Eno Neten, Kecamatan Amanuban Selatan, di atas lahan seluas sekitar 6 ribu hektare.

Melalui program ini wilayah tersebut dijadikan sebagai kawasan budidaya untuk tanaman komoditas, seperti jati dan mahoni, dengan skema hak guna usaha (HGU) mulai 1988 hingga 2008. Program ini dilaksanakan tanpa ada persetujuan dari masyarakat.

Sejak program inilah masyarakat adat Pubabu-Besipae mulai terenggut haknya atas lahan tersebut. Sebab, pada 1995 Dinas Kehutanan mengeluarkan register tanah kehutanan dengan nomor 29 yang ditandatangani oleh Gubernur NTT dan termuat dalam berita tata batas Negara yang memasukkan kawasan hutan Pubabu-Besipae pada kawasan hutan negara dengan fungsi hutan lindung seluas sekitar 2.900 hektare.

Selama program ini berjalan, Dinas Kehutanan Timor Tengah Selatan dilaporkan melakukan pembabatan dan pembakaran hutan adat Pubabu-Besipae seluas kurang lebih 1.050 hektare yang mengakibatkan hutan tersebut menjadi gundul. Itu terjadi pada 2003 hingga 2008.

Pada 2008 silam, masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU program Gerhan. Sebab aktivitas pembabatan hutan alam telah mengakibatkan keringnya sumur-sumur di sekitar kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber air masyarakat.

Penolakan masyarakat adat tersebut tak membuahkan hasil. Karena terjadi pembabatan hutan Besipae di Desa pollo dan Desa Linamnutu oleh sekelompok orang yang dibentuk Dinas Kehutanan Timor Tengah Selatan dengan alasan untuk merehabilitasi hutan melalui Gerhan. Pembabatan hutan tersebut dilaporkan oleh masyarakat adat Pubabu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) pada 2009 lalu.

Pada 2011 masyarakat adat Pubabu-Besipae yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan Provinsi NTT di instalsi Besipae dengan nomor surat: 03/ITAPKK/II/2011.

Di tahun yang sama KomnasHAM mengeluarkan surat nomor 873/K/PMT/IV/2011 perihal permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu-Besipae. Dengan isi surat yang di antaranya, menjaga agar situasi aman dan kondusif di dalam masyarakat dan menghindari adanya intimidasi sampai adanya solusi penyelesaian masalah tersebut.

Kemudian Komnas HAM juga menekankan, menjaga agar kawasan hutan tetap lestari, menghentikan utuk sementara kegiatan Dinas Peternakan Provinsi NTT dan Dinas Kehutanan Kabupaten Timur Tengah Selatan di lahan bermasalah sampai ada pernyelesaian. Terakhirm KomnasHAM akan menindak lanjuti pengaduan masyarakat adat Pubabu dengan melakukan pemantauan ke lokasi dan atau upaya mediasi.

Meski begitu, pada Oktober 2012 terjadi kriminalisasi terhadap 17 masyarakat adat. 4 orang di antaranya adalah perempuan namun kemudian dilepas karena tidak cukup bukti. Selain perempuan terdapat pula 2 anak laki-laki di bawah umur yang juga di ikut dikriminalisasi. 1 warga ditahan selama 2 bulan dan 10 warga lainnya ditahan selama 4 bulan.

Pada November 2012, Komnas HAM kembali mengeluarkan surat, dengan nomor 2.720/K/PMT/XI/2012 perihal permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu-Besipae. Isi suratnya, mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang berakhir pada 2012 kepada warga dan mengevaluasi UPTD Provinsi NTT dan Program Dinas Peternakan yang melibatkan warga, dimana pada kenyatannya program tersebut tidak mengembangkan warga justru membebani warga.

Pada 19 Maret 2013, pemerintah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas 3.780 hektare. Sertifikat tersebut sebagai dasar atas kepemilikan hutan adat Pubabu. Hal inilah yang kemudian memicu konflik. Karena pada 2011 silam masyarakat adat melalui Ikatan Tokoh Adat Penegak kebenaran dan Keadilan telah mengirimkan surat pembatalan perpanjangan kontrak dengan Dinas Peternakan Provinsi NTT.

Oktober 2017, konflik semakin memanas karena Pemerintah Provinsi NTT melakukan intimidasi terhadap masyarakat adat Pubabu. Kala itu Dinas Peternakan Provinsi NTT bersama Polisi Pamong Praja mendatangi masyarakat dan meminta agar masyarakat adat Pubabu segera mengosongkan tanah. Dengan alasan tanah tersebut merupakan milik Pemerintah Provinsi NTT atas dasar Sertifikat Hak Pakai yang terbit pada 2013 lalu.

Pada 2020 ini terjadi beberapa kali peristiwa. Di antaranya, penggusuran terhadap 3 kepala keluarga masyarakat adat Pubabu oleh tim gabungan kepolisian, satuan polisi pamong praja dan TNI pada 17 Februari 2020. Penggusuran ini mengakibatkan trauma dan ketakutan bagi masyarakat adat Pubabu.

Selain itu pada 10 Maret 2020, terjadi pembongkaran pondok dan pagar milik warga di sekitar lokasi. Kemudian pihak Pemprov membangun satu buah pondok ukuran 4x4 meter untuk tinggali oleh 2 KK. Namun masyarakat tidak menerima dan membongkar ulang dan membangun lagi di dekat lokasi yang sama.

Selanjutnya, pada 12 Mei 2020, Gubernur NTT beserta rombongan datang ke lokasi lahan berkonflik di Besipae dan meminta masyarakat membongkar pagar yang dibangun masyarakat. Namun terjadi penolakan dari masyarakat adat dengan alasan lahan masih berperkara dan sempat terjadi keributan serta aksi buka baju beberapa ibu-ibu di Pubabu.

Kemudian pada 18 Agustus lalu 2020 tim gabungan aparat Satuan Polisi Pamong Praja, TNI dan kepolisian melakukan penggusuran dan perusakan rumah milik 29 KK di Besipae. Aksi tim gabungan tersebut juga dilakukan dengan melepaskan beberapa kali tembakan senjata api. Yang mana tindakan represif itu dilaporkan telah meninggalkan trauma bagi perempuan dan anak-anak adat Besipae.

Sejumlah barang milik masyarakat adat Pubabu berserakan setelah rumah tempat tinggal warga digusur oleh Pemprov NTT pada 18 Agustus 2020 kemarin./Foto: Walhi NTT

Komnas HAM Kirim Surat ke Gubernur NTT

Dalam konferensi pers konflik masyarakat adat Pubabu Besipae, 13 Agustus 2020 lalu, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM/Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara mengatakan, Komnas HAM sudah menerima pengaduan dari Solidaritas Perempuan dan Walhi NTT terkait konflik lahan yang dialami masyarakat adat Pubabu.

"Saya mengecam kekerasan oleh aparat penegakan hukum dan penggusuran oleh Pemprov. Karena kekerasan dan penggusuran itu menciderai prinsip-prinsip HAM yang sudah ada dalam konstitusi negara. Yang kedua, meminta kepada Pemprov NTT untuk menghentikan sementara aktivitas pembangunan yang ada yang kemudian berdampak pada masyarakat adat Pubabu," kata Beka dalam konferensi pers virtual, Kamis (13/8/2020).

Kemudian, Beka melanjutkan, KomnasHAM sejak 11 Agustus lalu sudah berkirim surat kepada Gubernur NTT dan Kapolda NTT. Inti dari surat itu menjelaskan, KomnasHAM pada 7 Agustus 2020 sudah menerima pengaduan dari masyarakat adat Pubahu, Solidaritas Perempuan dan Walhi.

Dalam surat tersebut KomnasHAM juga menjelaskan kepada Gubernur, bahwa konflik masyarakat adat Pubabu ini bukan terjadi pada tahun ini saja, tetapi sudah terjadi sejak 1982 sampai 1987. Yang mana kala itu terdapat proyek kerja sama antara Pemprov NTT dengan Pemerintah Australia.

"Kami menjelaskan kronologi tentang kasus yang menimpa masyarakat adat Pubabu tersebut. Ada beberapa poin di situ."

Dalam surat tersebut pihaknya juga mengingatkan Pemprov NTT, bahwa pada 9 November 2012 KomnasHAM sudah mengirim surat disertai rekomendasi kepada Gubernur NTT. Pada pokoknya kami meminta Gubernur NTT untuk mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT kepada warga dan evaluasi UPTD Provinsi NTT dan program Dinas Peternakan.

"Artinya pada 2012 kita sudah menyatakan sikap. Itu hal-hal yang kami sebutkan dalam surat kami. Setelah poin-poin tersebut kami menutup surat kami dengan menyatakan bahwa KomnasHAM memberikan perhatian serius kepada kasus yang menimpa masyarakat adat Pupapu ini dan kemudian meminta keterangan Gubernur NTT dan jajarannya, atas dugaan penggunaan kekerasan intimidasi dalam konflik lahan pada masyarakat adat Pubabu."

Balita tidur beralasakan kain dan tikar seadanya setelah rumah-rumah warga Pubabu digusur Pemprov NTT 18 Agustus 2020 kemarin./Foto: Walhi NTT

Di samping itu KomnasHAM juga sudah meminta kepada Gubernur NTT. Yang pertama untuk menunda atau menangguhkan aktivitas sementara, penggusuran dan pembongkaran hak milik yang dilakukan Pemprov kepada masyarakat adat Pubabu. Yang kedua, menjaga situasi dan kondisi di lapangan, dengan mengedepankan persuasif dan berbasis konstitusi.

"Terakhir, kami menegaskan lagi bahwa Negara harus bertanggung jawab atas perlindungan kemajuan penegakan dan pemenuhan HAM."

Pemprov dan Tokoh Adat Pubabu Sepakat Akhiri Konflik

Sementara, kepada Antara, Bupati Timur Tengah Selatan Egusem Piether Tahun mengatakan tidak ada niat untuk mengorbankan warga Pubabu dalam pembangunan di kawasan Besipae.

"Pemerintah tentu menginginkan yang terbaik untuk rakyat. Tidak ingin menyusahkan rakyat," kata Bupati Egusem, Minggu (23/8/2020) seperti dikutip dari Antara.

Bupati Egusem melanjutkan, Pemprov NTT sejak awal sudah menyatakan membantu warga membangun kembali rumah mereka, memberikan lahan untuk pertanian, sekaligus melibatkan mereka dalam pembangunan di Besipae. Namun dalam proses persiapan lahan di Besipae mendapat penolakan dari masyarakat yang mengklaim sebagai tanah ulayat.

Sebelumnya, pada Jumat 21 Agustus 2020 lalu, Pemprov NTT bersama tokoh adat di Besipae, membuat kesepakatan untuk mengakhiri persoalan konflik lahan di Pubabu-Besipae.

Kepada Antara, Kepala Badan Pendapatan dan Aset Provinsi NTT, Zeth Sony Libing mengatakan, kesepakatan untuk mengakhiri konflik lahan ini ditandai dengan penandatanganan kesepakatan antara pihaknya yang mewakili Pemprov NTT dan tiga tokoh adat. Yaitu Usif Frans Nabausa, Usif Nope Nabausa dan Usif P.R Nabausa. Penandatanganan kesepakatan ini dilaksakan di Kantor Camat Amanuban Selatan.

Terdapat beberapa poin yang telah disepakati. Yakni, masing-masing pihak bersepakat tanah Besipae seluas 3.780 hektare tetap menjadi milik Pemprov NTT, 37 KK memperoleh tanah kaveling seluas 800 meter persegi.

Kemudian pihak Pemprov akan mengidentifikasi tanah di wilayah Enoneten, Oeekam, Mio, Linamnutu, yang masuk dalam kawasan 3.780 hetare tersebut untuk dikeluarkan dari sertifikat untuk diserahkan kepada masyarakat. Selanjutnya, Pemprov diminta untuk melibatkan masyarakat dalam semua program pemerintah.

Akan tetapi kesepakatan Pemprov dengan tiga tokoh adat tersebut mendapat reaksi negatif dari sejumlah warga Pubabu. Sebagian warga yang masih bertahan di lokasi penggusuran di Besipae menolak kesepakatan penyelesaian masalah lahan Besipae.

Seperti disampaikan Ester Selan. Perempuan adat Pubabu ini menginginkan agar masalah lahan Besipae diselesaikan di jalur hukum. Menurutnya, keluarga Nabausa yang memberikan rekomendasi untuk perjuangan lahan hutan adat Pubabu, namun justru keluarga tersebut bersama-sama dengan Pemprov membuat kesepakatan sendiri tanpa melibatkan warga.

"Kami merasa ditikam dari belakang sehingga kami akan terus berjuang dan minta agar masalah ini diselesaikan lewat jalur hukum," kata Ester, Minggu (22/8/2020) seperti dikutip dari Pos Kupang.

Hal senada disampaikan Daud Selan. Dirinya juga menolak kesepakatan yang dibuat Pemprov dan tiga tokoh adat itu. Alasannya, karena kesepakatan itu dibuat tanpa melibatkan masyarakat Pubabu yang berjuang mempertahankan tanah adat hutan Pubabu.

Niko Manao, warga Pubabu lainnya yang mengikuti sosialsiasi kesepakatan Pemprov dan tiga tokoh adat itu meminta agar dilakukan identifikasi ulang terhadap batas-batas tanah dengan melibatkan masyarakat Pubabu. Agar memastikan tanah milik masyarakat tidak dicaplok pemerintah. Selain itu dirinya juga meminta kedepannya perlu dilakukan pertemuan lanjutan melibatkan para amaf dan masyarakat Pubabu.