Masyarakat Sipil Tolak Food Estate Jokowi di Papua, Alasannya?

Penulis : Kennial Laia

Deforestasi

Kamis, 01 Oktober 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Food Estate di Papua menolak rencana Presiden Joko Widodo menjalankan program pengembangan lumbung pangan di provinsi tersebut. Proyek tersebut dikhawatirkan menimbulkan masalah, termasuk deforestasi

Penolakan tersebut muncul tak lama setelah Presiden Jokowi berencana menjalankan program food estate untuk mengatasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. "Penyediaan pangan nasional (adalah) agenda strategis yang harus kita lakukan untuk mengantisipasi krisis pangan akibat Covid-19. Hal ini juga untuk antisipasi perubahan iklim," kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas melalui video yang diunggah di akun Sekretariat Presiden, 23 September 2020.  

Menurut Jokowi, saat ini dua provinsi menjadi prioritas pengembangan food estate, yakni Kalimantan Tengah (Kabupaten Pulau Pisang dan Kapuas) dan Sumatera Utara (Kabupaten Humbang Hasundutan). Namun, pemerintah juga berencana memperluas program tersebut ke provinsi lain termasuk Papua. 

"Proyek food estate untuk alasan ketahanan pangan di masa pandemi adalah suatu perencanaan yang diduga akan menimbulkan masalah baru. Dari pengalaman, Orang Asli Papua sudah terdampak dari rangkaian pembangunan berbasis industri dengan beragam judul," kata juru bicara koalisi Sabatha Rumadas dari JERAT Papua, melalui keterangan tertulis, Senin, 28 September 2020.

Proyek food estate di Papua dimulai pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010. Proyek tersebut dinamakan Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke. Pemerintahan Jokowi berencana melanjutkan program ini.

Rencana food estate itu akan dibangun di atas lahan seluas 2.052.551 hektare yang terdiri atas hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi tetap dan hutan konversi seluas 1.304.574 hekare, serta Areal Penggunaan Lain seluas 734.377 hektare.

Menurut Koalisi, proyek MIFEE hanya mengakomodasi kepentingan korporasi dan komoditi komersial. Banyak dari izin usaha budidaya pertanian tanaman pangan, perkebunan tebu dan kelapa sawit, serta hutan tanaman industri diberikan kepada 45 perusahaan dengan mengonversi kawasan hutan dan lahan seluas lebih dari 1,3 juta hektare. 

Proyek itu pun disebut tidak berjalan sebagaimana mestinya karena menyebabkan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hingga saat ini pun program food estate di Papua disebut masih mendapatkan perlawanan dari masyarakat adat. 

Selain di MIFEE, program food estate lain yang pernah dicanangkan pemerintah adalah Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare di Kalimantan Tengah. Proyek yang dibangun pada era Presiden Soeharto seluas 1,45 juta hektare itu dinilai gagal dan menimbulkan masalah kebakaran hingga saat ini. 

"Rencana Presiden Jokowi membangun food estate di Papua adalah ide lama yang sudah terbukti pernah gagal di banyak tempat di Indonesia dan bahkan di Papua sendiri," kata Direktur Eksekutif WALHI Papua Aiesh Rumbekwan.

"MIFEE... yang awalnya direncanakan untuk didominasi tanaman pangan seperti beras, jagung, kedelai, dan tanaman pangan lainnya faktanya saat ini didominasi industri perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Ini menunjukkan food estate tidak berhasil di Merauke," kata Aiesh.

Koalisi juga mengatakan rencana konversi kawasan hutan seluas 1.304.574 hektare dan 734.377 hektare APL menjadi lahan industri pangan tak hanya akan menyebabkan deforestasi, namun juga mengorbankan keberlanjutan hidup masyarakat adat Papua. Masyarakat adat di Papua pada umumnya bergantung pada hasil hutan dan secara sosial-budaya dan spiritual menyatu dengan alam. Kearifan lokal masyarakat adat Papua juga terdampak, seperti hilangnya tempat berburu dan sumber obat-obatan tradisional dari hutan.

"Ada banyak cerita dari Merauke yang sudah didokumentasikan tentang bagaimana deforestasi telah mengubah alam masyarakat adat Malind dan kepemilikan tanah mereka beralih ke pihak lain atau dirampas dengan surat-surat resmi yang diterbitkan oleh pemerintah," kata Aiesh.

Koalisi menegaskan menolak diulangnya program food estate di Papua. Program tersebut disebut akan merugikan masyarakat adat Papua, seperti bentuk investasi lainnya.

"Masyarakat adat juga sudah memiliki kerangka mengamankan wilayah adat mereka untuk kepentingan anak cucu. Jadi, tidak boleh ada pemaksaan, apalagi dilakukan dengan cara kekerasan," kata Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (KAMe) Pastor Anselmus Amo.

Veronika Manimbu, tokoh marga dari Suku Mpur, Lembar Kebar, Kab. Tambrauw, Papua Barat/ Betahita