UU Cipta Kerja Tutup Peluang Masyarakat Protes Dokumen Amdal

Penulis : Betahita.id

Lingkungan

Rabu, 07 Oktober 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Undang-Undang Cipta Kerja menutup peluang masyarakat untuk protes atau keberatan terhadap dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup alias amdal pada suatu proyek. Sebab, klausul itu sudah dihapus dalam Omnibus Law yang disahkan pada Senin, 5 Oktober 2020.

Hak ini hilang karena Omnibus Law telah mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Salah satunya yaitu Pasal 26 ayat 4 UU PPLH. "Masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal," demikian bunyi pasal tersebut. Di UU Omnibus Law, pasal ini dicoret.

Baca juga : Presiden PKS Ahmad Syaikhu Minta Presiden Jokowi Terbitkan Perpu UU Cipta Kerja

Selain dihapusnya hak mengajukan keberatan, Tempo juga merangkum sejumlah perubahan yang terjadi pada ketentuan amdal di UU Cipta Kerja itu, berikut di antaranya:

1. Tim Uji Kelayakan

Kerusakan hutan akibat galian pasir ilegal di Hutan Lindung Remu, Kota Sorong, Papua Barat, pada Kamis (24/09/2020).

Dalam Pasal 24 UU PPLH, dokumen amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Dalam Omnibus Law, amdal tetap menjadi dasar uji kelayakan lingkungan.

Tapi sejumlah ketentuan baru ditambahkan. Pertama, uji kelayakan dilakukan tim bentukan Lembaga Uji Kelayanan Pemerintah Pusat.

Tim ini terdiri dari pemerintah pusat, daerah, dan ahli bersertifikat. Pusat dan daerah kemudian menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasi pengujian. Keputusan bersama ini yang jadi syarat suatu bisnis dapat izin.

2. Masyarakat Terdampak

Pemerintah membuat ketentuan dalam dokumen amdal lebih ketat. Dalam Pasal 25 huruf c UU PPLH, dokumen amdal memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana bisnis.

Dalam UU PPLH, ada tiga kriteria masyarakat. Dua di antaranya yaitu yang terkena dampak dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.

Tapi dalam UU Omnibus Law, kriterianya semakin diperjelas menjadi "masyarakat yang terkena dampak langsung yang relevan"

3. Peran Pemerhati Lingkungan Dicoret

Dalam Pasal 26 ayat 3 UU PPLH, pemerhati lingkungan termasuk dalam satu dari tiga kriteria masyarakat yang dilibatkan dalam penyusunan dokumen amdal. Tapi dalam Omnibus Law, tidak ada lagi tempat untuk pemerhati lingkungan dalam penyusunan amdal

Hanya saja, pemerintah menambahkan satu ayat baru dalam Pasal 26 ini. Bunyinya yaitu "Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)."

4. Informasi yang Transparan

Dalam Pasal 26 ayat 2 UU PPLH, pelibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen amdal harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap, serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. Dalam Omnibus Law, ketentuan ini dicoret.

5. Kriteria Penyusun Amdal

Dalam Pasal 28 UU PPLH, dokumen amdal wajib disusun oleh orang yang memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. Kriteria dan sertifikat kompetensinya pun sudah diatur dalam UU PPLH.

Contohnya, penyusun Amdal wajib memiliki kemampuan menyusun rencana
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup untuk memperoleh sertifikat kompetensi. Tapi, aturan ini dihapus dan diatur lebih lanjut lewat Peraturan Pemerintah (PP).

6. Komisi Penilai Amdal Dihapus

Salah satu perubahan drastis yaitu dihapuskannya komisi penilai amdal dalam Omnibus Law. Pasal 29, 30, dan 31 dalam UU PPLH yang mengatur komisi ini dicoret.

Selama ini, komisi inilah yang berisi gabungan pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Dalam Pasal 30 UU PPLH, ada enam unsur yang menjadi anggota komisi.

Dari sisi pemerintah, diwakili oleh instansi lingkungan hidup dan teknsi terkait. Dari akademisi, diwakili pakar di bidang jenis usaha yang dilakukan dan pakar di bidang dampak yang ditimbulkan dari bisnis tersebut.

Dari masyarakat yaitu mereka yang berpotensi terdampak, serta organisasi lingkungan hidup.

ANTARA | TEMPO.CO | TERAS.ID