Walhi: Undang-Undang Cipta Kerja Percepat Kerusakan Lingkungan

Penulis : Betahita.id

Lingkungan

Kamis, 08 Oktober 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Undang-Undang Cipta Kerja tidak mencerminkan kebutuhan rakyat dan lingkungan hidup, sehingga merupakan tindakan inkonstitusional, demikian dikatakan Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati dalam keterangan persnya, Selasa, 6 Oktober 2020.

"Hal ini yang membuat kami menyatakan mosi tidak percaya kepada Presiden, DPR dan DPD RI. Satu-satunya cara menarik kembali mosi tidak percaya yang kami nyatakan ini hanya dengan cara Negara secara sukarela membatalkan pengesahan RUU Cipta Kerja”, tambah Nur Hidayati.

Baca juga: Undang-Undang Cipta Kerja Rawan Kriminalisasi Masyarakat Adat

WALHI mencatat beberapa hal krusial dalam ketentuan RUU Cipta Kerja terkait isu agraria. Ketentuan ini semakin melanggengkan dominasi investasi dan mempercepat laju kerusakan lingkungan hidup.

Tampak dari ketinggian sebagian hutan di wilayah adat Kinipan telah terbabat untuk perkebunan sawit PT SML./Foto: Betahita.id

Beberapa hal krusial tersebut, yaitu penghapusan izin lingkungan sebagai syarat penerbitan izin usaha, reduksi norma pertanggungjawaban mutlak dan pertanggungjawaban pidana korporasi hingga perpanjangan masa waktu perizinan kehutanan dan perizinan berbasis lahan.

"Mirisnya, RUU cipta kerja justru mengurangi dan menghilangkan partisipasi publik dalam ruang peradilan dan perizinan kegiatan usaha," katanya.

Omnibus law Undang-undang Cipta Kerja juga memangkas habis kewenangan pemerintah daerah dalam penataan ruang. Dalam UU Cipta Kerja, kewenangan penataan ruang berada di tangan pemerintah pusat.

"Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh pemerintah pusat," demikian tertulis dalam Pasal 9 ayat 1 UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada Senin, 5 Oktober 2020.

Dalam Pasal 9 ayat 2, tertulis bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan penataan ruang diatur dengan peraturan pemerintah.

Ketentuan ini mengubah dua ayat dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam UU lama, disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh seorang menteri.

Adapun tugas dan tanggung jawab menteri dalam penataan ruang mencakup tiga hal. Yaitu pengaturan, pembinaan, dan pengawasan penataan ruang; pelaksanaan penataan ruang nasional; dan koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.

Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah pusat berwenang menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk penyelenggaraan penataan ruang. Penataan ruang oleh pemerintah daerah harus mengacu pada NSPK yang telah dibuat pemerintah pusat.

Pasal 10 dan 11 UU Penataan Ruang yang menjelaskan wewenang pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota pun berubah drastis dari yang sebelumnya meliputi tujuh pasal. UU lama mengatur pemda berwenang terhadap penataan ruang wilayah, penataan ruang kawasan strategis dan penataan ruang antarkabupaten/kota atau antarprovinsi.

Pemerintah daerah juga berwenang dalam penetapan kawasan strategis, perencanaan tata ruang kawasan strategis, pemanfaatan ruang kawasan strategis hingga pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis.

Namun UU Cipta Kerja menyebutkan wewenang pemerintah daerah sesuai NSPK pemerintah pusat hanya meliputi tiga hal. Pertama, pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, kabupaten/kota.

Kedua, pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi. Ketiga, kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan fasilitasi kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.

TEMPO.CO | TERAS.ID