Omnibus Law Tebas 6 Undang-Undang Perlindungan Lingkungan

Penulis : R. Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Jumat, 09 Oktober 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja berdampak pada sejumlah undang-undang lain yang masih berlaku, termasuk beleid yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Sejumlah pasal dan ketentuan dalam undang-undang yang selama ini jadi tumpuan untuk kelestarian alam, diubah bahkan dihapus dalam Omnibus Law.

Analisis yang dilakukan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengungkapkan ada setidaknya 6 undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam terdampak UU Cipta Kerja.

Keenam beleid itu adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Perusakan Hutan, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Bila dibedah, terdapat cukup banyak pasal penting dan ketentuan dalam 6 UU tersebut yang diubah dan dihilangkan, sehingga cenderung berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, sumber daya alam dan masyarakat.

Kawasan Hutan Produksi bergambut di Kotawaringin Barat diketahui mengalami kerusakan. Diduga rusak akibat penguasaan lahan untuk pembangunan perkebunan sawit./Foto: Dok. Save Our Borneo

Hal yang menjadi permasalahan utama pengesahan UU Cipta Kerja adalah hak masyarakat dalam mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, baik itu hak atas informasi, partisipasi, serta keadilan, mengalami pereduksian signifikan bahkan sampai penghapusan. Salah satu contohnya, adalah hilangnya kesempatan berpartisipasi dalam mengajukan keberatan dan penilaian AMDAL.

Selain itu, terdapat kesalahan konsep dalam perumusan strict liability yang dapat berakibat pada sulitnya menjalankan konsep tersebut. Dihapusnya izin lingkungan juga berdampak terhadap potensi hilangnya akses masyarakat untuk menggugat.

Yang lebih mengkhawatirkan, menurut ICEL, adalah pengecualian atas larangan membakar bagi masyarakat peladang tradisional juga dihapus. Penghapusan pengecualian larangan membakar bagi masyarakat peladang tradisional berpotensi terjadinya kriminalisasi dan pemindahan beban pertanggungjawaban.

Di sisi lain, masalah-masalah yang dihadapi selama ini seperti konsep uang paksa dalam Pasal 81 justru tidak diselesaikan. "Tetap ada ketentuan yang baik, tetapi jumlahnya minoritas dibandingkan yang bermasalah atau potensi bermasalah," kata ICEL dalam siaran persnya, Rabu (9/10/2020).

UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan

Menurut ICEL, terdapat beberapa perubahan yang substansial dalam UU Kehutanan akibat pengesahan UU Cipta Kerja ini. Misalnya ketentuan untuk mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan/atau pulau dihapus.

Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan juga tidak lagi "didasarkan", melainkan hanya "mempertimbangkan" penelitian terpadu. Selain itu terdapat pengecualian bagi masyarakat adat yang memanfaatkan hutan, asalkan telah 5 tahun berturut-turut melakukannya dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan.

Pertanggungjawaban mutlak untuk pelaku usaha yang arealnya terbakar kembali dihidupkan. Adanya perubahan beberapa larangan dan tindak pidana yang dianggap tumpang tindih dengan UU Nomor 18 Tahun 2013.

Terkait Undang-Undang 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, permasalahan utama yang muncul adalah terdapat pada perumusan sanksi adminsitrasi dan pidana. Itu menyangkut ketentuan pengurus perusahaan atau korporasi yang dapat dikenakan pidana badan, apabila korporasi tidak menjalankan pidana.

Secara teoritis, ketentuan ini kurang tepat karena berpotensi melanggar HAM pengurus dengan memidanakannya tanpa melalui proses peradilan yang tepat.

Kemudian adanya pemberian sanksi administratif dan pengecualiannya bagi masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan, yang berpotensi mengkriminalisasikan masyarakat adat apabila tidak dibarengi dengan pendataan dan pengakuan hak masyarakat adat beserta hutannya yang tepat sasaran.

UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan

Permasalahan yang menjadi sorotan utama dalam analisis ini adalah adanya penghapusan berbagai ketentuan dasar yang sebelumnya didetailkan dalam Undang-Undang Perkebunan, seperti kewajiban memiliki Amdal, analisis risiko, dan sarana prasarana penanggulangan karhutla, dan diamanatkan dalam PP.

Di satu sisi kekuatan PP tentu lebih lemah dari UU. Karena tidak dapat memberikan sanksi pidana apabila kewajiban yang diatur tidak dipenuhi. Di sisi lain, penilaian atas perubahan tersebut juga tidak dapat dilakukan sekarang. Karena masih harus menunggu PP tersebut terbit.

Analisis terhadap perubahan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang menemukan permasalahan utama berupa dilemahkannya posisi tata ruang sebagai salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Dalam UU Cipta Kerja, berbagai ketentuan dalam penataan ruang dilonggarkan. Relaksasi ini terutama untuk mengakomodasi kebijakan nasional yang bersifat strategis. Sayangnya, UU Cipta Kerja tidak menjelaskan apa yang dimaksud atau bagaimana lingkup kebijakan nasional yang bersifat strategis yang dapat mempengaruhi penyelenggaraan penataan ruang tersebut.

Hal ini dikhawatirkan akan mereduksi peran instrumen tata ruang sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, serta instrumen untuk memastikan terselenggaranya pembangunan berkelanjutan.

Dalam hal menyangkut Undang-Undang 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, UU Cipta Kerja mengembalikan ketentuan terkait dengan otonomi daerah dan memberikan kewenangan secara atribusi kepada Pemerintah Daerah. Sekalipun begitu, ketentuan terkait ketenagalistrikan dalam UU Cipta Kerja juga masih memiliki beberapa masalah.

Permasalahan utama terdapat pada ketentuan terkait partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Selain itu, pereduksian beberapa kewenangan DPR dan Pemerintah Daerah juga masih ditemukan. Dikhawatirkan hal ini akan berpengaruh kepada semangat transisi energi yang tengah digagas saat ini.


Permasalahan Bermunculan

Sementara itu, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menilai setidaknya ada 6 poin masalah yang akan muncul apabila UU Cipta Kerja disahkan. Pertama, akan menguntungkan korporasi untuk membakar hutan dan lahan seluas-luasnya. Kedua makin garangnya kriminalisasi petani, masyarakat adat dan pejuang lingkungan hidup.

Kemudian ketiga, UU ini akan menjadi jalan tol mempercepat penebangan hutan alam, perusakan gambut dan penggundulan hutan alam tersisa. Keempat, korporasi akan menjadi kebal hukum, karena hukuman bisa selesai hanya dengan membayar denda, kejahatannya akan hilang.

"Makin mudah menyuap pemerintah dan pemerintah makin mudah korupsi. Korporasi kian mudah merampok hutan dan lahan di Indonesia, tidak bayar pajak lalu uangnya disimpan di negeri surga pajak di luar negeri," kata Okto Yugo, Wakil Koordinator Jikalahari, Kamis (8/10/2020).

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menganggap UU Cipta Kerja ini akan membuat tanah petani dirampas, mendiskriminasi hak-hak dasar rakyat kecil, termasuk memutus konstitusionalitas masyarakat miskin tak bertanah (landless/tunakisma) di desa dan kota. KPA juga menyebut gerbang kapitalisme agraria telah resmi dibuka lebih lebar oleh Pemerintah setelah mengantongi ijin formil dari DPR RI.

"Kedaulatan agraria rakyat (ke dalam) dan kedaulatan agraria bangsa ini (ke luar) resmi dipangkas. Badan-badan usaha, pemilik modal, dalam dan luar negeri, telah dibangunkan jalannya untuk berbisnis semakin mudah dan cepat, melegitimasi mereka untuk melakukan perampasan tanah rakyat, mendorong terjadinya ploletarisasi petani, merusak lingkungan dan pelanggaran-pelanggaran pengusaha berbasis agraria dilindungi Negara," kata Sekjen KPA Dewi Kartika dalam siaran pers tersebut, Kamis (8/10/2020).

Bagi kaum tani dan elemen gerakan reforma agraria lainnya, hari pengesahan UU Cipta Kerja merupakan Hari Kejahatan Terhadap Konstitusi oleh DPR RI, yang seharusnya menjadi Penjaga Utama Konstitusi. Meski mulusnya proses di DPR juga sudah dapat diprediksi.

"Sebab mayoritas Anggota DPR adalah pengusaha, pemilik modal atau pejabat teras atau komisariat dari badan-badan usaha negara atau swasta. Mereka bagian dari lingkaran kapitalisme yang selama menggerogoti kedaulatan tanah air."

"Atas masalah-masalah fundamental UU Cilaka di atas, Konsorsium Pembaruan Agraria mengecam keras kelahiran UU Cipta Kerja dengan segala substansi dan manipulasi prosesnya, dan menyatakan menolak UU Cipta Kerja."

10 Masalah Fundamental UU Cipta Kerja Berkaitan dengan Agraria

UU Cipta Kerja menabrak konstitusi.
Pengabaian terhadap konstitusi, secara khusus Pasal 33 UUD 1945, Ayat 3 mengenai kewajiban Negara atas tanah dan kekayaan alam Bangsa dan Ayat 4 mengenai prinsip dan corak demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa.

Lebih jauh lagi, banyak keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah ditabrak UU Cipta Kerja, di antaranya Keputusan MK terhadap UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

UU Cipta Kerja Mendorong Liberalisasi Pasar Tanah di Indonesia. UU ini tidak memiliki landasan filosofis, ideologis, yuridis dan sosiologis. Sebab tidak mengacu kepada UU yang sudah ada terkait pertananan yakni UUPA 1960. Argumen "norma baru" dimunculkan UU ini sebagai cara agar RUU Pertanahan yang gagal disahkan pada September 2019 karena mengandung sejumlah masalah prinsipil, tetap bisa diseludupkan ke dalam UU Cilaka.

"Inilah bentuk kolutif birokrasi agraria dengan DPR dalam proses legislasi. UU ini secara tidak langsung bermaksud menggantikan prinsip-prinsip UUPA yang telah dilahirkan para pendiri bangsa."

UU Cipta Kerja Menghidupkan kembali Azas Domein Verklaring Pemerintah Kolonial. Paradigma dan praktik domein verklaring atau azas "negaraisasi tanah" di masa pemerintahan kolonial yang telah dihapus UUPA 1960, justru dihidupkan lagi oleh UU ini. Yakni dengan menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah melalui rumusan-rumusan bermasalah Hak Pengelolaan (HPL) dalam UU ini.

"Seolah Negara (cq. Pemerintah) adalah pemilik tanah, ini bentuk pelanggaran lain terhadap Konstitusi. Dari HPL ini, UU memfasilitasi penerbitan ragam jenis hak, yakni HGU, HGB dan Hak Pakai bagi badan usaha dan pemilik pemodal."

Celakanya, UU Cilaka tidak mengatur batas waktu jenis-jenis hak atas tanah tersebut sehingga potensi monopoli tanah tiada akhir tetap dapat terjadi. Lebih celaka lagi, proses perpanjangan dan pembaruan hak dapat sekaligus, ini bentuk lain pelanggaran konstitusional.

Bank Tanah ala UU Cipta Kerja: Melayani Pemilik Modal, Mengandung Motif Monopoli dan Spekulasi Tanah oleh Pemerintah. Untuk menampung, mengelola dan melakukan transaksi jual-beli tanah-tanah Negara dibentuk lembaga Bank Tanah (BT).

BT mengelola tanah-tanah klaim negara hasil penerapan domein verklaring di atas, dan kemudian ditetapkan sebagai aset Bank Tanah dalam bentuk HPL. Meski disebut diklaim sebagai lembaga non-profit, faktanya sumber pendanaannya dapat berasal pihak ke tiga termasuk, hutang-hutang lembaga asing.

Tak ada prinsip dan mekanisme yang menjamin bahwa operasi BT ini tidak mengejar keuntungan, mengingat BT akan bertransaksi tanah dengan para pemilik modal dan badan-badan usaha.

Sesat pikir UU Cipta Kerja tentang Reforma Agraria (RA) dalam Bank Tanah. Agenda RA diklaim sebagai bagian dari pemenuhan aspirasi rakyat yang dijawab UU Cipta Kerja melalui tujuan-tujuan pembentukan Bank Tanah.

"Ini adalah pikiran sesat yang disebarkan ke publik, sekaligus memperjelas ketidakpahaman secara fatal pemerintah maupun DPR tentang RA."

Reforma agraria adalah operasi koreksi ketimpangan struktur pemilikan dan pengusahaan tanah, bukan operasi pengadaan tanah bagi kelompok bisnis. Celakanya, TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA dimanipulasi UU ini.

UU Cipta Kerja Melegitimasi Ketimpangan Penguasaan Tanah dan Kemudahan Konversi Tanah Pertanian Rakyat. Dalam UU Cipta Kerja, untuk memangkas birokrasi dan regulasi dalam pengadaan tanah bagi dunia usaha dan badan usaha, pemerintah dan perusahaan memiliki kewenangan sepihak menentukan lokasi pembangunan infrastruktur tanpa persetujuan masyarakat.

Otomatis, UU ini akan memperparah situasi agraria yang sudah timpang, penggusuran dan konflik agraria, sebab cara bekerjanya mempermudah praktik-praktik perampasan tanah (land grabbing) atas nama pembangunan infrastruktur, pengembangan kawasan ekonomi, perkebunan, pertambangan, energi, agribisnis, pariwisata, dan industri kehutanan.

UU Cipta Kerja Alat Hukum Baru Pemerintah, Aparat Keamanan dan Perusahaan untuk Mengkriminalisasi Rakyat. Petani, masyarakat adat dan pejuang agraria kembali terancam dipenjara karena bertani, berladang, mencari ikan dan mempertahankan hutannya. UU Cipta Kerja, lagi-lagi mengingkari Putusan MK No. 95/2014 terkait pengecualian pemidanaan bagi petani dan masyarakat adat yang menguasai tanah dan memanfaatkan hasil hutannya.

UU Cipta Kerja Memfasilitasi Diskriminasi Hak Petani lewat Klaim Negara atas Kawasan Hutan. Demi percepatan proyek strategis nasional (PSN) yang terhambat dalam pelepasan hutan, maka ketentuan minimal tutupan hutan 30 persen dihapuskan.

Berbanding terbalik yang diberlakukan bagi kepentingan RA. Enam tahun terakhir, KLHK selalu memakai alasan 30 persen tersebut agar klaim negara atas hutan tidak dilepaskan. Celakanya lagi, lagi-lagi petani dan masyarakat adat hanya sebatas diberi solusi perhutanan sosial dalam UU. Inilah standar ganda bagi usaha bisnis, dan diskriminatif bagi RA kembali dikuatkan Kementerian LHK.

UU Cipta Kerja Memangkas Hak Konstititusi dan Kedaulatan Petani atas Benih Lokal. Diberlakukan pelarangan bagi petani untuk memuliakan benihnya sendiri. Padahal MK telah memutuskan bahwa petani kecil berhak untuk memuliakan benihnya melalui Putusan MK No.138/PUU-XIII/2015.

UU Cipta Kerja Kontraproduktif dengan Kedaulatan Pangan Negara, dan Mendiskriminasi Petani, Nelayan sebagai Produsen Pangan Utama dan Kebijakan. UU Cipta Kerja mengubah UU Pangan dengan cara menghapus frasa petani, nelayan dan pembudidaya ikan. Digantikan dengan frasa pelaku usaha pangan.

Artinya, UU Cipta Kerja adalah kemunduran jauh upaya penghormatan dan perlindungan petani dan nelayan. UU Cipta Kerja pun kembali mengafirmasi kebijakan importasi pangan yang sudah sengsarakan petani dalam negeri.

KPA juga mengingatkan kepada para promotor dan perumus, UU Cipta Kerja ini bukan semata soal "klaster ketenagakerjaan" atau sesederhana janji job creation seperti yang dipromosikan terus-menerus oleh DPR, Pemerintah dan asosiasi perusahaan. Petani termasuk kelompok besar negeri ini yang diabaikan dalam pembuatan UU Cipta Kerja.