Burung Bermigrasi Diusulkan Masuk Daftar Dilindungi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Rabu, 14 Oktober 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuka peluang masuknya tumbuhan dan satwa tertentu ke dalam daftar dilindungi, termasuk jenis burung bermigrasi. Peluang tersebut terbuka mengingat KLHK berencana akan melakukan perubahan terhadap Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.106 Tahun 2018.

Perhimpunan Ornitologi Indonesia bersama sejumlah akademisi dan peneliti burung bermigrasi yang bergabung dalam Komunitas Burung Migrasi Indonesia pada 10 Oktober 2020, mengusulkan perubahan status perlindungan terhadap 10 jenis burung bermigrasi kepada Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).

Baca juga KLHK Buka Peluang Tumbuhan dan Satwa Masuk Daftar Dilindungi

Dari 10 jenis tersebut 8 di antaranya diusulkan untuk diubah statusnya, dari tidak dilindungi menjadi dilindungi. 8 jenis tersebut ialah, Calidris pygmaea (Kedidi paruh sendok), Calidris tenuirostris (Kedidi besar), Calidris alba (Kedidi putih), Limosa lapponica (Birulaut ekor blorok), Limosa limosa (Birulaut ekor hitam), Charadrius dealbatus (Cerek muka putih), Charadrius canatus (Kedidi merah) dan Caladris ferruginea (Kedidi golgol).

Limosa limosa atau Birulaut ekor hitam, salah satu jenis burung migrasi yang diusulkan masuk dalam daftar satwa dilindungi oleh Perhimpunan Ornitologi Indonesia./Foto: Burung Indonesia/Asep Ayat

Selain mengusulkan 8 jenis untuk diubah menjadi dilindungi, terdapat 2 jenis burung migrasi lainnya yang diusulkan untuk diubah, dari berstatus dilindungi menjadi tidak dilindungi. Yakni Haematopus fuliginosus (Kedidir kelam) dan Accipiter nisus (Elangalap eurasia).

Rencana usulan burung bermigrasi ini sebelumnya juga menjadi fokus pembahasan dalam Diskusi Burung Migrasi Indonesia Seri 3 dengan tema Status Perlindungan Burung Bermigrasi di Indonesia yang digelar pada Rabu, 7 Oktober 2020 pekan lalu. 

Dalam diskusi tersebut Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Pengawetan Jenis Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sri Mulyani menuturkan, upaya perlindungan keanekaragaman hayati secara keseluruhan dilakukan melalui dua cara. Pertama menetapkan kawasan-kawasan tertentu untuk perlindungan dan yang kedua menetapkan daftar tumbuhan dan satwa dilindungi.

Indonesia saat ini telah memiliki kurang lebih 544 kawasan konservasi yang diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan tumbuhan dan satwa dilindungi, dengan berbagai fungsinya. Baik taman nasional, suaka margasatwa, taman wisata alamdan lain sebagainya.

"Kemudian status perlindungannya di Indonesia juga sudah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No 7 pengawetan jenis, yang daftarnya direvisi dalam Permen LHK P.106," kata Sri Mulyani, Rabu (7/10/2020) pekan lalu.

Sri Mulyani yang juga merupakan National Focal Point East Asian-Australasian Flyway (EAAF) di Indonesia tersebut melanjutkan, sejauh ini sudah 6 kawasan yang sudah ditetapkan menjadi situs ramsar untuk kegiatan perlindungan habitat atau kawasan konservasi burung migran. 6 ramsar yakni Yang pertama di Berbak dan di Sembilang yang merupakan dua taman nasional yang sudah menjadi satu kesatuan pengelolaan. Kemudian Danau Sentarum, kemudian Tanjung Puting, Tawa Aopa Watumahoi, Taman Nasional Wasur dan Suaka Margasatawa Pulau Rambut."

Dari 6 situs ramsar tersebut, terdapat 2 yang sudah berstatus flyway site network. Yaitu Taman Nasional Berbak Sembilang dan Taman Nasional wasur. Komunikasi pengelolaan burung migran ini merupakan bagian dari kemitraan di tingkat regional dengan East Asian-Australasian Flyway Partnership. Sedangkan di tingkat nasional, telah ada kemitraan nasional konservasi burung bermigrasi dan habitatnya.

"Dari 6 situs ramsar tadi memang sudah ada ditetapkan menjadi flyway site network di tingkat regional. Yakni di Taman Nasional Wasur dan Taman Nasional Berbak Sembilang. Di dua taman nasional inilah beberapa tahun terakhir ini dilakukan monitoring keberadaan burung migran."

Di akhir 2019 lalu, selain di Taman Nasional Wasur dan Taman Nasional Berbak Sembilang, kemitraan nasional juga melakukan inventarisasi di lokasi lain yang berpotensi menjadi situs baru. Yakni di Bagan Percut di Sumatera Utara, di Pantai Cemara Jambi, di pesisir Kuala Babok Loksumawe Aceh dan di lahan basah di atas Sungai Kayan Kalimantan Utara.

Dari hasil survei yang dikumpulkan dari 6 situs tersebut ternyata ada sekitar 143 ribu lebih individu yang berhasil dikumpulkan. Dari 143 ribu individu tersebut terdiri dari 66 spesies. 31 spesies di antaranya merupakan burung air bermigrasi dan 24 spesies lainnya merupakan burung air yang dilindungi.

"Dari jumlah spesies itu mungkin juga ada beberapa spesies burung air atau burung lainnya yang bermigrasi belum masuk dalam daftar yang dilindungi."

Sri Mulyani berharap masukan dari berbagai pihak, baik dari pemerhati, peneliti dan masyarakat maupun komunitas di bilang pengelolaan burung migran, disampaikan menggunakan data dan informasi yang valid. Sehingga usulan tersebut benar-benar dapat dimasukkan dalam daftar satwa dan tumbuhan dilindungi.

Peluang Burung Migrasi Masuk dalam Daftar Dilindungi

Di kesempatan yang sama, Yus Rusila Noor dari Yayasan Lahan Basah atau Wetlands International Indonesia menuturkan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, Hayati dan Ekosistem, dalam Pasal 20 Ayat 2 menyebutkan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi digolongkan dalam tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan dan tumbuhan satwa yang populasinya jarang.

"Di penjelasannya disebutkan yang intinya banyak terkait dengan populasi. Jumlah populasinya sangat kecil atau populasinya jarang. Jadi ini inti UU Nomor 5 Tahun 1990 yang terkait dengan perlindungan jenis," kata Yus Rusila.

Selanjutnya Yus Rusila mengatakan prinsip yang digunakan UU Nomor 5 Tahun 1990 menegaskan bahwa tidak ada pengecualian dalam daftar jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Yakni semua jenis tidak dilindungi kecuali yang dilindungi.

"Dengan aturan ini jenis baru, yang secara notabene populasinya pasti kecil, karena baru ditemukan. Itu otomatis tidak dilindungi."

UU Nomor 5 Tahun 1990, lanjut Yus Ruslila, mendasarkan perlindungan tumbuhan dan satwa pada kriteria status dan ukuran populasi. Namun sayangnya tidak ada klausul yang menyebutkan tentang satwa-satwa yang bermanfaat.

Menurutnya, ada beberapa lebah madu yang dilindungi bukan karena pupulasinya namun karena fungsinya sebagai penyerbuk, untuk nektar misalnya. Beberapa yang lain seperti Kuntul kecil dan Kuntul kerbau, dilindungi bukan karena populasinya. Yang mana pada zaman kolonial Belanda dulu keduanya dilindungi dikarenakan bulunya diambil untuk bahan bantal atau bahan kasur.

"Tapi informasi ilmiah yang kita peroleh sekarang, burung Kuntul kerbau ternyata bermanfaat untuk membasmi hama pertanian. Sayangnya Kuntul kerbau dikeluarkan dari aturan perundang-undangan tersebut."

Apabila dilihat dari PP No. 7 Tahun 1999, masih kata Yus Rusila, Pasal 5 Ayat 1 menyebutkan suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila memenuhi kriteria populasi yang kecil, penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam dan daerah penyebaran yang terbatas. Namun dalam penjelasannya, huruf e, menyebutkan karena sifat biologis dan tingkah laku jenis tersebut seperti migrasi jenis tersebut rentan terhadap bahaya kepunahan.

"Atas dasar apa perlindungan terhadap jenis burung bermigrasi tersebut dilaksanakan. Secara nasional ada dalam penjelasan PP No. 7 Tahun 1999, status migrasi yang dapat digunakan untuk justifikasi untuk perlindungan jenis."

Yang kedua, Indonesia juga sudah memiliki kemitraan atau sekratariat nasional untuk burung bermigrasi dan habitatnya. Hal ini secara de facto atau de jure bahwa Indonesia mengakui adanya perlindungan burung jenis bermigrasi.

"Di level internasional ada East Asian-Australasian Flyway Partnership (EAAFP). Indonesia memiliki peran penting karena EAAFP ini diresmikan di Bogor, jadi Indonesia punya peran dan sekarang menjadi anggota."

Yus Rusila menambahkan, ada 3 konsideran atau pertimbangan yang menjadi dasar penetapan keputusan, yang bisa digunakan untuk mengusulkan spesies-spesies burung bermigrasi masuk dalam daftar tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Yakni pertama pertimbangan huruf c pada Permen LHK P.20 Tahun 2018, kemudian ketentuan Pasal 20 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan terakhir penjelasan Pasal 5 Ayat 1 PP Nomor 7 Tahun 1999.

Dengan mengkombinasikan 3 konsideran ini pihaknya mengusulkan perlindungan terhadap 2 spesies burung migran. Yakni Kedidi paruh sendok atau Calidris pygmaea yang berstatus critically endangered dalam IUCN dan Kedidi besar atau Calidris tenuirostris yang berstatus endangered.

Imam Taufiqqurahman dari Atlas Burung Indonesia, Burungnesia menuturkan, terdapat 547 jenis burung yang dilindungi yang masuk dalam Permen LHK P.106 Tahun 2018. 107 di antaranya adalah burung jenis migran. Yang terdiri dari 79 jenis burung air, 23 jenis raptor atau pemangsa dan 5 jenis petengger dan lainnya.

Imam memberikan beberapa jenis burung migran yang memungkinkan untuk dimasukkan dalam daftar satwa yang dilindungi. Yakni Calidris tenuirostris atau Kedidi besar dan Caladris alba atau Kedidi putih. Dua jenis burung bermigrasi ini populasinya diketahui mengalami penurunan tajam.