Perhutanan Sosial Mestinya untuk Pemulihan Kedaulatan Masyarakat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Jumat, 06 November 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Realisasi Perhutanan Sosial dalam 6 tahun terakhir baru sekitar 4,4 juta hektare dari target 12,7 juta hektare. Presiden Joko Widodo menginkan agar target tersebut bisa segera diselesaikan.

Upaya mengejar target realisasi ini membuat pelaksanaannya dinilai asal-asalan. Banyak pihak yang seharusnya tidak berhak akan kebagian apalah dalam Undang-Undang Cipta Kerja memungkinkan perorangan bisa mengelola perhutanan sosial, padahal sebelumnya hanya untuk kelompok masyarakat seperti kelompok tani.

Direktur Eksekutif HuMa, Agung Wibowo mengatakan, kebijakan Perhutanan Sosial sebaiknya ditujukan untuk melakukan pemulihan kedaulatan masyarakat atas sumber daya alam. Alih-alih hanya mencantumkan akumulasi jumlah luasan hektare dalam SK penetapan skema Perhutanan Sosial.

"Perhutanan Sosial sejatinya dapat menyelesaikan konflik tenurial berkepanjangan masyarakat yang selalu dikriminalisasi karena tinggal di kawasan hutan. Perhutanan Sosial harus juga mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan, serta menyejahterakan masyarakat (prosperity approach) dalam mengentaskan kemiskinan yang ada di dalam dan sekitar hutan," kata Agung, Kamis (5/11/2020).

Ilustrasi hutan sosial (KLHK)

Angka capaian realisasi Perhutanan Sosial yang disampaikan pemerintah, menurut Agung, juga perlu dikritisi. Apakah memang dilakukan sebagai resolusi konflik sekarang atau merupakan akumulasi legalisasi dan pemutakhiran data saja dari program perhutanan sosial di rezim-rezim sebelumnya, yang telah dilakukan pada tahun 1980-an.

"Sebagai fakta misalnya angka capaian Hutan Adat masih paling buncit di antara skema perhutanan lainnya. Artinya program ini masih meminggirkan subyek utama yaitu masyarakat yang selama ini termarjinalkan atas kebijakan kehutanan, yaitu masyarakat hukum adat. Padahal amanat konstitusi kita jelas bahwa masyarakat hukum adat haruslah berdaulat atas wilayah hidup mereka."

Sehingga, lanjut Agung, selain perlu mengejar angka sisa target realisasi Perhutanan Sosial tersebut, pemerintah juga perlu menguatkan konsep implementasi. Sebagaimana amanat Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan memberi keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat di dalam atau sekitar kawasan hutan.

Khusus untuk Hutan Adat, produk hukum daerah berupa peraturan daerah masih menjadi salah satu kendala yang kerap ditemui dalam proses penetapannya. Agung berpendapat, perlu komitmen dari para legislator di tingkat daerah, yang tidak hanya memerlukan konsep yang kuat, tetapi ongkos politik yang cukup mahal bila peraturan daerah menunggu ditetapkan.

"Sehingga ini dapat memakan waktu cukup panjang. Belum lagi dalam hal konten para legislator perlu memahami substansi Peraturan Daerah tersebut apakah berisi pengaturan (regeling) tata cara pengakuan MHA (masyarakat hukum adat) atau ia merupakan penetapan pengakuan masyarakat hukum adat (beschiking)."

Menurut Agung, hal ini akan berimplikasi pada proses alur penetapan Hutan Adat menurut Pasal 6 Peraturan Menteri LHK Nomor P.17 Tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Yang mana, bila peraturan daerah tentang penepatan, maka dapat langsung diusulkan sebagai Hutan Adat atau Hutan Hak.

Namun apabila produk hukum daerah berupa peraturan daerah tentang pengaturan maka perlu ditindaklanjuti melalui keputusan kepala daerah. Sehingga perlu adanya undang-undang masyarakat adat yang dapat mengakomodasi berbagai macam produk hukum daerah yang memperumit masyarakat hukum adat untuk mendapatkan kedaulatan wilayahnya.

5 Faktor Penentu

Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Hariadi Kartodihardjo menyebut ada lima faktor penentu dalam model transformasi pembangunan kehutanan.

Yang pertama pendampingan. Prof. Hariadi berpandangan bahwa pendampingan terhadap pelaku Perhutanan Sosial perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Karena pendampingan akan sangat membantu pelaku.

Selanjutnya, persoalan pendapatan dari pekerjaan utama masih ada, sebelum adanya Perhutanan Sosial. Sehingga pendapatan dari Perhutanan Sosial diharapkan bisa menamah pendapatan melalui proses pendampingan. Karena konten dari pendampingan pada umumnya masih hanya soal administrasi saja.

"Juga ada konflik yang menurun, ada peran penting dari hasil hutan serta pemasaran-pemasaran yang beberapa di antaranya sudah cukup advance (maju). Nah ini saya kira kita pegang menjadi satu temuan penting bahwa ini adalah suatu faktor ke depan bagaimana Perhutanan Sosial itu," kata Prof. Hariadi, dalam suatu diskusi virtual yang digelar Katadata bertema Perhutanan Sosial untuk Kesejahteraan Rakyat, yang digelar pada Rabu (4/11/2020).

Hariadi menuturkan, terdapat beberapa hal yang menjadi tinjauan praktik Perhutanan Sosial. Di antaranya, terjadinya peningkatan partisipasi dari konteks usaha yang lebih besar, bentuk partisipasi genuine dan devolusi atau desentralisasi yang sesungguhnya. Kemudian terjadinya perubahan hubungan antara negara dan masyarakat, sebuah transformasi posisi pelayanan usaha besar menjadi pelayanan masyarakat.

"Termasuk apa yang disebut emergent properties. Sebuah rasa memiliki bersama. Yang sebenarnya kalau ada pertanyaan, siapa sih yang menyebabkan Perhutanan Sosial berhasil itu? Agak susah menjawabnya karena banyak sekali faktor yang menentukan."

Selain itu pelayanan birokrasi juga mengalami perubahan, karena menyesuaikan dari waktu ke waktu. Terlebih banyak pelaku Perhutanan Sosial yang sudah memerlukan inovasi bentuk pelayanan kegiatan. Yang terakhir kompleksitas proses dan hasil juga memerlukan tinjauan khusus terhadap keberlanjutannya.

Menurut Prof. Hariadi, Perhutanan Sosial mampu menghadirkan manfaat ekonomi yang signifikan. Yang mana semakin banyak keragaman komoditi, maka hal itu akan menjadi semakin baik.

"Kemudian transformasi income. Dari income dari kerjaan lama menjadi income kaitannya dengan Perhutanan Sosial itu."

Dari segala tantangan yang ada, masih kata Prof. Hariadi, yang sangat dapat dikendalikan oleh pemerintah pemerintah saat ini adalah bagaimana meningkatkan pelayanan perizinan kepada masyarakat. Hal ini perlu terus menerus diupayakan.

"Bagaimana sebetulnya inovasi kaitannya dengan proses ini? Salah satu cara sebetulnya adalah mengembangkan hubungan-hubungan dengan teman-teman CSO (civil society organization) dan seterusnya untuk memastikan pendampingan itu."

4 Persen untuk Rakyat

Pada kesempatan sebelumnya, dalam keterangan pers yang digelar secara virtual, Selasa (3/11/2020) kemarin, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengatakan, 12,7 juta hektare target realisasi pemberian Perhutanan Sosial kepada masyarakat itu adalah target ideal.

Perhutanan Sosial itu, Siti menjelaskan, muncul sebagai koreksi pemerintah terhadap ketimpangan pengelolaan lahan. Yang mana pada 2014 lalu, dari sekitar 37 juta hektare total areal izin yang diberikan oleh pemerintah, hanya 4 persennya saja yang dikelola atau diberikan izinnya kepada rakyat. Sementara 96 persen lainnya diberikan kepada pengusaha swasta.

"12,7 juta itu target ideal, karena itukan keluar pertama kali hutan sosial adalah Corecction Action, nawa cita Jokowi-JK. Kita sudah hitung, kira-kira areal izin itu ada 36-37 juta hektare, pada 2014 4 persen saja yang untuk rakyat per 2014 sampai 2015 awal. Sisanya 96 persen itu swasta," kata Siti Nurbaya dalam keterangan persnya yang disampaikan pada Selasa kemarin.

Siti Nurbaya melanjutkan, apabila 12,7 juta hektare tersebut tercapai, maka masyarakat akan mendapat pembagian sekitar lebih dari 30 persen pengelolaan lahan yang ada di Indonesia. Sehingga hal itu setidaknya akan memberikan keseimbangan keberpihakan pemerintah dalam hal distribusi pengelolaan lahan.

"Kalau 12,7 juta hektare jadi ideal, maka sebetulnya rakyat dapat 30 persen lebih. Swastanya tidak bisa dibunuh juga, diakan perlu untuk pertumbuhan ekonomi juga. Jadi paling tidak menjadi seimbang ada keberpihakan terhadap masyarakat. Pengaturannya kurang lebih seperti itu."

Untuk mencapai target 12,7 juta hektare tersebut, imbuh Siti, pihaknya perlu membuat langkah-langkah pencapaian per 5 tahun. Yang mana dalam lima tahun terakhir realisasi target Perhutanan Sosial yang diberikan kepada masyarakat tercapai lebih kurang sebesar 4 juta hektare.

"Tapi kalau lihat progres 2018-2019 bisa 1,8 juta hektare, bisa cepat. Yang penting target idealnya apa? Target realistiknya bagaimana? Kemudian contoh lapangannya seperti apa sih?"

Siti Nurbaya menyebut, hingga akhir Desember 2020 nanti diperkirakan akan ada penambahan realiasi Perhutanan Sosial sebesar sekitar 200 ribu hektare. Sehinga bila ditotal, realisasi Perhutanan Sosial hingga akhir 2020 mendatang diperkirakan mencapai 4,6 juta hektare.

Menurut Siti Nurbaya, sampai saat ini telah ada sekitar 7.100 kelompok masyarakat, 800 ribu lebih kepala keluarga yang terlibat dalam pengelolaan Perhutanan Sosial yang diberikan. Sebagian di antaranya telah terbilang berhasil mengelola usaha lanjutan pemanfaatan Perhutanan Sosial.

"Tapi masih sedikit, hanya 8 persen kira-kira dari 7 ribuan itu. Tapi ada yang sudah ekspor. Madu, aren, kayu putih, kayu manis. Kayu putih yang minta Singapura, kayu manis yang minta Eropa. Gaharu yang minta Timur Tengah. Itu sudah ada, tapi kalau sedikit gitukan enggak ngefek enggak ngangkat."

Lumbung Pangan

Di kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Undang-Undang Cipta Kerja yang baru-baru ini ditandatangani Presiden Joko Widodo akan membantu pemerintah meluruskan hal-hal yang tidak lurus. Luhut berpendapat, model pengelolaan dan bisnis yang dibuat dalam proyek lumbung pangan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dapat direplikasi di tempat-tempat lain.

"Tentu tidak serta merta akan sama, tapi apapun yang akan kita lakukan harus ada benefit ekonominya kepada masyarakat. Dan itu yang Presiden lihat kemarin di Humbang Hasundutan. Itu dampaknya sangat besar. Karena memang kita, di samping menyiapkan lumbung pangan, memang kita berpuluh tahun tidak pernah membuat yang seperti ini dengan menyertakan rakyat," kata Luhut, Selasa (3/11/2020).

Menurut Luhut, dalam proyek lumbung pangan Humbang Hasundutan itu hanya 20 persennya saja yang dimiliki investor. Sedangkan 80 persen sisanya dimiliki oleh rakyat, yang dibagi 1 hektare per keluarga. Hal tersebut menurutnya dapat menciptakan hasil yang baik.

"Dimana mereka tidak boleh memperjualbelikan tanah itu, tapi dapat memberikan kepada keturunannya. Dan tanah tersebut hanya diperuntukkan untuk pertanian saja. Saya pikir itu akan membuat Indonesia swasembadanya ke depan dalam berbagai macam hortikultura akan bisa jalan."

Dalam rapat terbatas membahas soal pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui Perhutanan Sosial, yang digelar secara virtual melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/11/2020) kemarin, Presiden Joko Widodo meminta agar jajarannya bisa menyelesaikan target Perhutanan Sosial.

"Kita masih memiliki sisa yang cukup banyak untuk bisa kita selesaikan di empat tahun mendatang, yaitu kurang lebih masih 8 juta (hektare) lebih. Artinya memang ada sebuah peningkatan akumulatif yang cukup besar dalam lima tahun pertama kemarin, tetapi masih ada sisa juga yang 8 juta hektare lebih tadi yang perlu kita selesaikan," ujar Presiden Joko Widodo, Selasa kemarin.

Presiden juga mengingatkan, Perhutanan Sosial bukan hanya sekedar urusan pemberian izin atau mengeluarkan surat keputusan (SK) kepada masyarakat saja. Hal yang lebih penting dari itu adalah pendampingan untuk program-program lanjutan, sehingga masyarakat di sekitar hutan memiliki kemampuan dalam mengelola Perhutanan Sosial yang telah diberikan.

"Yaitu untuk masuk ke dalam aspek bisnis perhutanan sosial yang tidak hanya agroforestri, tetapi juga bisa masuk ke bisnis ekowisata, bisnis agrosilvopastoral, bisnis bioenergi, bisnis hasil hutan bukan kayu, ini banyak sekali, bisnis industri kayu rakyat. Semuanya sebetulnya menghasilkan, bisa menyejahterakan, tetapi sekali lagi pendampingan ini sangat diperlukan."

Presiden Jokowi juga mengingnkan agar pendampingan dimaksud harus terintegrasi. Dimulai setelah SK diberikan, penyiapan sarana dan prasarana produksi, hingga pelatihan-pelatihan. Jokwi yakin, jika hal tersebut dilakukan, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) akan berkembang dengan baik.

"Tapi memang sekali lagi, kita harus bekerja fokus di sisi ini dan saya harapkan tahun ini, tahun depan, betul-betul bisa muncul entah berapa KUPS yang bisa kita jadikan contoh untuk benchmarking bagi kelompok-kelompok yang lain."