Indonesia Bisa Dapatkan Rp1,5 Triliun dari Penurunan Emisi Karbon

Penulis : Betahita.id

Deforestasi

Minggu, 29 November 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan penting dengan Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility/FCPF) yang dikelola oleh Bank Dunia, Jumat (27/11/2020).

Kesepakatan tersebut membuka peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan hingga 110 juta dolar AS atau sekitar Rp1,5 triliun sebagai imbal balik atas penurunan emisi karbon dari pencegahan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan hingga 2025.

Dengan diberlakukannya Kesepakatan Pembayaran Pengurangan Emisi (ERPA) ini, Indonesia akan menerima pembayaran berbasis hasil untuk mengurangi 22 juta ton emisi karbon di Provinsi Kalimantan Timur. Pengurangan emisi di kawasan ini, bersama dengan upaya multilateral lainnya akan membantu Indonesia dalam mencapai target iklim dan lingkungan nasional.

“Kesepakatan ini, merupakan bukti kerja keras Indonesia yang terus menerus mengurangi deforestasi dan melindungi hutan. Namun, upaya kami tidak akan berhenti sampai di sini,” ujar Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono.

Hutan yang sebagian sudah gundul

Program ini telah membangun momentum positif, dan membuka kesempatan kolaborasi lintas pemerintah, organisasi masyarakat sipil, komunitas, dan pelaku usaha.

"Meskipun pekerjaan penurunan emisi di lapangan akan dilakukan di satu provinsi, hasilnya akan membantu kita sebagai negara untuk mencapai tujuan mengurangi deforestasi dan degradasi, mengatasi dampak perubahan iklim, dan menempatkan Indonesia di jalur pembangunan hijau," kata Bambang seperti dikutip siaran pers Humas KLHK, Sabtu.

Program Pengurangan Emisi Indonesia di Kalimantan Timur, yang berpenduduk 3,5 juta jiwa, bertujuan untuk menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan. Targetnya adalah 12,7 juta hektar lahan yang kaya akan hutan hujan tropis dan keanekaragaman hayati di sana.

ERPA akan mendukung perbaikan tata kelola lahan dan mata pencaharian lokal. Selain itu, program ini juga melindungi habitat berbagai spesies yang rentan dan terancam punah. Upaya tersebut dilakukan melalui perbaikan perizinan kehutanan, peningkatan jumlah perkebunan skala kecil, dan mempromosikan perencanaan berbasis masyarakat.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Satu Kahkonen mengatakan kesepakatan untuk pengurangan emisi karbon di Kalimantan Timur ini bukti upaya Indonesia dalam melindungi dan mengelola hutan tropis secara berkelanjutan. Hutan tropis Indonesia merupakan sumber daya yang penting dalam skala global.

"Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi 41% emisi gas rumah kaca pada tahun 2030, serta mempercepat pembangunan berkelanjutan dalam rencana pembangunan nasionalnya. Perjanjian yang ditandatangani hari ini akan mendukung pencapaian tujuan nasional yang ambisius ini," ujarnya.

Masyarakat Kalimantan Timur merupakan jantung dari pengelolaan lahan yang berkelanjutan di sana. Program ini akan memastikan bahwa berbagai pemangku kepentingan mendapatkan manfaat dari hasil jangka panjang program ini, termasuk mata pencaharian yang lebih baik, hutan yang lebih sehat, dan masyarakat yang lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim.

Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) adalah kemitraan global pemerintah, bisnis, masyarakat sipil, dan organisasi Masyarakat Adat yang berfokus pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi stok karbon hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang, kegiatan yang biasa disebut sebagai REDD +.

Diluncurkan pada tahun 2008, FCPF telah bekerja sama dengan 47 negara berkembang di Afrika, Asia, serta Amerika Latin dan Karibia, bersama dengan 17 donor yang telah memberikan kontribusi dan komitmen senilai 1,3 miliar dolar AS.

Untuk menyiapkan kegiatan FCPF ini, Bank Dunia telah memberikan hibah dukungan pembiayaan kegiatan persiapan untuk Provinsi Kaltim selama lima tahun 2015 sampai dengan 2020 pada Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi (BLI) KLHK, yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim serta Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim.