Revisi Kebijakan Ekspor Benur Harus Demi Kesejahteraan Nelayan

Penulis : Kennial Laia

Ekologi

Selasa, 01 Desember 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Pemerintah Indonesia diminta untuk memperhatikan kesejahteraan nelayan. Hal itu terkait dengan adanya desakan merevisi peraturan tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan.

Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Rianta Pratiwi mengatakan, nelayan dirugikan akibat panjangnya rantai ekspor lobster. Rantai tersebut bermula dari nelayan, pengepul, pengepul pusat, lalu baru ke eksportir.

 “Saat ini nelayan belum sejahtera. Dari rantai ekspor itu, nelayan hanya mendapat Rp5000 per ekor. Sementara pengepul atau eksportir menjualnya hingga Rp200 ribu per ekor,” kata Rianta dalam diskusi dengan media, Senin, 30 November 2020.

“Saya sempat wawancara dengan nelayan di Sabang, Aceh. Kalau sedang tidak musim lobster, mereka harus bekerja serabutan, mulai dari bercocok tanam, jadi buruh kebun, hingga menangkap hewan laut lainnya,” kata Rianta.

Ilustrasi nelayan penangkap lobster. Foto: Reuters

Peneliti Kebijakan Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian Politik LIPI Anta Maulana Nasution mengatakan, pemerintah perlu mengevaluasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan.

“Momentum penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan harus menjadi pendorong bagi pemerintah untuk menyikapi kebijakan ekspor benur. Peraturan itu perlu dikaji ulang, apakah itu solusi yang tepat untuk nelayan?” katanya.

Menurut Anta, pemerintah perlu menghilangkan monopoli harga, kargo, kartel, sistem pengepul, dan oligarki dalam rantai ekspor lobster. “Kalau monopoli masih ada, nelayan tidak akan sejahtera,” katanya.

Dalam revisi tersebut, Anta menyarankan pemerintah untuk menganalisis aktor-aktor yang berkepentingan untuk mencegah terjadinya monopoli. Dalam kasus dugaan korupsi izin benih lobster yang melibatkan Menteri Edhy, misalnya, eksportir hanya bisa mengirim melali satu perusahaan saja.

“Ke depan, semuanya harus dianalisis dulu. Jangan sampai menunjuk perusahaan yang baru berdiri ataupun memiliki jejak rekam yang bermasalah,” katanya.

Sementara itu, Peneliti dari Balai Bio Industri Laut LIPI Sigit Anggoro Putro Dwiono menilai adanya peluang baik bisnis lobster di Indonesia. Menurutnya, upaya pemerintah seperti program bantuan keramba jaring apung untuk memproduksi lobster dapat membantu produktivitas nelayan.

“Namun ada masalah dari segi pakan. Kalau program itu dijalankan bersamaan saat panen, bagaimana penentuan harga dan distribusinya? Kepada siapa akan diekspor? Ini pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,” kata Sigit.