Studi: Krisis Iklim Bikin Manusia Khawatir Punya Anak

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Rabu, 02 Desember 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Studi terbaru mengungkap bahwa krisis iklim menjadi faktor penentu bagi manusia untuk memilih tidak memiliki anak.  Hal itu karena kekhwatiran bila anaknya harus menderita akibat "kiamat iklim" di masa depan. 

Peneliti dalam studi berjudul "Eco-reproductive concerns in the age of climate change" itu melakukan survey terhadap 600 responden dengan rentang usia 27-45 tahun yang mempertimbangkan krisis iklim sebagai faktor dalam bereproduksi. Dari survey itu, 96% responden sangat atau amat sangat khawatir mengenai kesejahteraan keturunan mereka di masa depan.

"Saya rasa saya tidak dapat membawa seorang anak ke dunia ini dan membiarkannya menderita di bawah kondisi apokaliptik," kata salah seorang responden berusia 27 tahun, dikutip oleh The Guardian.

Menurut studi tersebut, pendapat responden didasarkan pada penilaian yang sangat pesimis terhadap dampak pemanasan global di seluruh dunia. Salah seorang responden, misalnya, mengatakan teror dari krisis iklim "menyaingi perang dunia pertama."

Anak-anak bercengkerama di tengah asap saat kebakaran hutan dan lahan. Foto: Ardiles Rante/Greenpeace

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa sebagian orang yang telah menjadi orangtua menyesali keputusannya memiliki anak. Memilik anak juga berpotensi seseorang dapat menyumbang emisi karbon seumur hidup yang berkontribusi pada krisis iklim. Namun, dalam survey tersebut, hanya 60% yang mengaku khawatir tentang jejak karbon.

"Ketakutan akan jejak karbon karena memiliki anak memang cenderung abstrak," kata peneliti Matthew Schneider-Mayerson dari Yale-NUS College, Singapura, sekaligus pemimpin studi. "Namun kecemasan tentang nasib anak atau bakal anak di masa depan sangat dalam dan emosional," katanya.

Schneider-Mayerson mengatakan, ke depan akan semakin banyak yang mempertimbangkan faktor perubahan iklim terhadap rencana reproduksi mereka, seiring dengan semakin nyatanya dampak perubahan global.

"Untuk mengatasi hal ini, kita harus segera bertindak untuk menyelesaikan akar masalahnya, yang tak lain perubahan iklim itu sendiri," katanya. 

Studi yang diterbitkan di jurnal Climate Change tersebut tidak menemukan perbedaaan statistik yang signifikan antara pandangan perempuan maupun pria, meskipun jumlah responden perempuan sekitar tiga-per-empat dari total jumlah responden.

"Perubahan iklim adalah alasan tunggal bagi saya dalam memutuskan untuk tidak memiliki anak biologis. Saya tidak ingin melahirkan anak ke dunia yang sekarat, walaupun saya ingin sekali menjadi ibu," kata seorang responden berusia 31 tahun.

Studi tersebut juga menemukan bahwa 6% orangtua mengaku sedih karena memiliki anak. Seorang responden berusia 40 tahun mengatakan, "Saya menyesal memiliki anak karena ketakutan saya akan apa yang akan mereka hadapi ketika dunia berakhir akibat perubahan iklim."

Studi ini merupakan penelitian akademis pertama di isu yang telah menjalani peer review.  Survey terkait studi ini pun dilakukan secara anonim agar responden dapat mengutarakan perasaannya secara bebas dan aman.

Temuan lainnya adalah orang yang lebih muda lebih khawatir tentang dampak perubahan iklim terhadap anak mereka dibandingkan dengan reposnden yang lebih tua. Adopsi juga dilihat sebagai alternatif potensial untuk memiliki anak.

Studi ini mengindikasikan bahwa kecemasan terkait krisis iklim terhadap keberlangsungan hidup anak disebabkan oleh pandangan pesimistis akan masa depan Bumi. Dari 400 responden, 92,3% mengaku pesimis, 5,6% mixed atau netral, dan hanya 0,6% mengaku positif mengenai masa depan.

Seorang ayah berusia 42 tahun mengatakan bahwa pada 2050 dunia akan menjadi "neraka yang sangat panas, dengan perang memperebutkan sumber daya terbatas, peradaban yang kolaps, agrikultur gagal, naiknya permukaan air laut, mencairnya gletser, kelaparan, kekeringan, banjir, longsor lumpur dan kehancuran yang meluas."

Meskipun pandangan pesimistis ini diyakini cukup umum, Schneider-Mayerson mengatakan penelitian lebih lanjut diperlukan terhadap kelompok yang lebih beragam dan di belahan dunia lainnya. Studi saat ini melibatkan kelompok yang memilih sendiri, tinggal di Amerika Serikat, dan mayoritas berkulit putih, berpendidikan tinggi, dan berpandangan liberal.