#BersihkanIndonesia: Pilkada 2020 Vaksin Imunitas bagi Oligarki

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Kamis, 10 Desember 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Koalisi #BersihkanIndonesia menilai, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang digelar di 270 wilayah di Indonesia pada Rabu (9/12/2020) menjadi sebuah momentum bagi oligarki industri ekstraktif tambang dan energi kotor.

Sejumlah proyek padat polusi yang dipermudah oleh Undang-Undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan UU Cipta Kerja sedang antre untuk dioperasikan di wilayah-wilayah yang menggelar Pilkada.

Baca juga: Koalisi Langit Biru dan #BersihkanIndonesia Bentangkan Spanduk ‘Jokowi, PLTU Membunuh Laut Kami’

Gerakan #BersihkanIndonesia pada Senin (7/12/2020) meluncurkan laporan terbaru berjudul Pilkada 2020: Vaksin Imunitas Bagi Oligarki. Sebuah naskah tanding menghadapi Pilkada Oligarkis 2020.

Salah satu bekas lubang tambang di Kalimantan Selatan/foto:Auriga Nusantara

Dalam laporan tersebut ditemukan setidaknya ada 5.599 izin usaha pertambangan (IUP) di 270 wilayah yang menggelar pilkada. Dalam skala provinsi, di 32 provinsi dimana 270 pilkada serentak dalam berbagai level dilakukan, terdapat 196 proyek yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Jumlah itu merepresentasikan 98 persen dari total 201 daftar proyek terbaru dari PSN yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020. Jumlah ini belum termasuk proyek-proyek yang potensial menjadi bagian dari daftar 10 program strategis nasional (PSN).

Dari jumlah tersebut terdapat 131 proyek yang masuk dalam daftar proyek PSN dan berpotensi menjadi bagian dari daftar program PSN yang akan dibangun persis di daerah-daerah yang menggelar Pilkada. Dari jumlah tersebut, 39 proyek masuk dalam daftar proyek PSN dan 92 proyek yang berpotensi menjadi bagian dari program PSN.

Kemudian, sebanyak 56 proyek dari 131 proyek itu merupakan pembangunan PLTU batu bara dengan total kapasitas yang direncanakan sebesar 13.615 megawatt (MW). Menyusul setelahnya 16 proyek smelter, 10 proyek kawasan industri atau ekonomi dan 7 proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

Selain itu ada 6 proyek instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) yang sebagian besar kemungkinan menggunakan teknologi termal yang akan menimbulkan pencemaran serius, dan 2 proyek food estate. Proyek-proyek padat modal yang mahal.

"Ini adalah daftar proyek padat polusi dan emisi industri ekstraktif yang bila dikombinasikan dengan biaya mahal pilkada, akan mendorong terjadinya transaksi ijon politik, menggadaikan kekayaan alam dan rakyat untuk menanggulangi pembiayaan politik pilkada," ujar Ahmad Ashov Birry, Jurubicara #BersihkanIndonesia dari Trend Asia, dalam peluncuran laporan Pilkada 2020: Vaksin Imunitas Bagi Oligarki, Senin (7/12/2020).

Temuan lain, di sembilan provinsi yang menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur, juga terdapat 1.359 IUP/IUPK (izin usaha pertambangan khusus), dengan luas konsesi mencapai 4,6 juta hektare atau hampir setara dengan luas Jawa Timur, yakni 4,7 juta hektare.

Selain komoditi tambang mineral dan batu bara, di sembilan provinsi yang menggelar pilkada itu juga terdapat 11 wilayah kerja panas bumi (WKP) atau geothermal, dari 64 WKP yang tersebar di seluruh Indonesia. Total luas WKP di sembilan provinsi tersebut mencapai 1,1 juta hektare, atau melampaui luas provinsi Banten, yang seluas 966 ribu hektare.

Sementara itu, di sembilan provinsi tersebut, juga terdapat 46 blok minyak dan gas migas dari 245 blok di Indonesia. Luasan 46 blok migas tersebut mencapai 10,2 juta hektare, dari 57 juta hektare luas keseluruhan blok Migas di Indonesia.

Di kesempatan sama, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Merah Johansyah menyebut, pilkada bukanlah pesta demokrasi. Melainkan pesta oligarki yang akan menyalurkan kepentingan bisnis yang sudah dibuatkan karpet merah oleh pemerintah pusat pasca-UU Omnibus Law.

"Apalagi saat ini seluruh kewenangan kepala daerah diamputasi dan ditarik kembali ke pemerintah pusat. Kehidupan demokrasi dan amanat reformasi telah dikorupsi," kata Merah.

Beberapa kewenangan pemerintah daerah (pemda) yang dicabut oleh pemerintah pusat di antaranya adalah kewenangan penataan ruang di daerah. Ini diatur dalam ketentuan pasal 8 dan 9 Hal. 18-20 pada UU Cipta Kerja. Pemda hanya kebagian urusan pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaannya.

Kewenangan pemerintah daerah (kabupaten/kota) mengenai pengendalian dampak investasi dan lingkungan hidup juga dikebiri melalui penghapusan pasal 29. Komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dihapus dan tim uji dari lembaga uji kelayakan diatur oleh pemerintah Pusat.

Kewenangan daerah

Pemda berpotensi kehilangan pendapatan dana royalti dari dana bagi hasil pada sektor minerba. Namun pemda terus menjadi pelayan perusakan melalui pengerukan batu bara di daerah melalui penambahan pasal 128 A dalam UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa bagi pelaku usaha yang melakukan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara yakni pengenaan royalti sebesar nol persen.

"Dari situ maka pilkada dan otonomi daerah menjadi tidak relevan lagi. Untuk apa memilih kepala daerah yang sudah tak punya kewenangan untuk melindungi kepentingan warganya. Pilkada hanya relevan bagi kepentingan memilih operator proyek kotor yang dibalut dalam UU Omnibus Law maupun berkedok proyek strategis nasional," tambah Merah.

Jika melihat proyek-proyek oligarki yang sedang antre setelah Omnibus Law disahkan, maka dapat disimpulkan bahwa Pilkada 2020 ini sedang membawa gerbong rencana perusakan dan pencemaran lingkungan, yang pada akhirnya membawa dampak kesehatan dan bencana.

"Pilkada ini tidak memberi jaminan perlindungan hukum dari siapapun yang terpilih. Pilkada dengan biaya mahal ini tidak memberi peluang bagi pemulihan hak-hak rakyat atas penggusuran lahan-lahan produktif. Sementara para politisi yang berkontestasi hanya akan menambah tunggakan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM)."

Egi Primayogha, dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menambahkan, setelah revisi UU KPK, UU Minerba, dan pengesahan UU Cipta Kerja, kini publik disajikan dengan gelaran Pilkada yang dipaksakan di tengah pandemi. Kuat dugaan ini adalah rangkaian upaya oligark untuk mempertahankan dan memperluas kekayaannya.

"Dana kampanye para kandidat banyak yang dilaporkan secara tidak wajar. Kandidat terindikasi tidak jujur dan berupaya menutupi sumber sumbangan. Selain membuka celah korupsi, ruang gelap yang menguntungkan oligark untuk memberi pengaruh dalam pilkada semakin terbuka lebar," kata Egi Primayogha.

Kritik dan protes rakyat selama ini, lanjut Egi, terhadap biaya mahal pilkada dan lemahnya instrumen pembiayaan kampanye yang membuka ruang ijon politik pebisnis industri ekstraktif pada pasangan calon dan hilangnya demokrasi substantif karena demokrasi prosedural yang dibajak oligarki justru tidak ada perubahan dan koreksi, yang berubah hanya modifikasi teknis pemilihan dengan biaya membengkak melalui penyesuaian dengan protokol pandemi.

Pilkada hanya akan menjadi vaksin yang memperkuat tubuh oligarki dan dinasti politik di 270 wilayah tersebut sekaligus sebagai anak tangga untuk merebut kekuasaan di kontestasi di pemilu berikutnya. Perbaikan tidak akan terjadi tanpa perubahan yang mengakar.

Oleh karena itu, #BersihkanIndonesia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama menolak Pilkada 2020 dan mendorong perubahan yang mengakar. Melalui perubahan sistem politik, ekonomi, hukum, sosial-budaya, dan teknologi secara cepat menuju Indonesia yang adil dan demokratis sepenuhnya.