Membangun Ketelusuran Rantai Pasok Minyak Sawit: Mungkinkah?

Penulis : Ramada Febrian

Kolom

Jumat, 08 Januari 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Keterlacakan rantai pasok dibutuhkan dalam setiap aktivitas sebagai bentuk kredibilitas. Aneh jadinya, ketika kita unggul dalam satu hal, di saat yang bersamaan tidak tahu bahkan yang membuat kita runtuh kemudian itu apa. Tidak heran, nanti, anak cucu tahunya sebatas sejarah saja, tidak sempat merasakan nikmat hasil jerih payah pengembangan komoditas strategis nasional ini. Kalau, ditanya soal tanggung jawab saja masih bingung.

Sebagai pihak yang paling diuntungkan dari adanya minyak kelapa sawit, seharusnya tahu perihal isu di hulu sampai di hilir. Jangan sampai oversupply minyak kelapa sawit semakin bertambah. Sebentar, siapa pula paham soal oversupply ini. Data luasan kebun kelapa sawit saja, jauh dari angka semestinya. Produksi, bagaimana angka itu dihasilkan pun masih jadi pertanyaan.

Baca juga Mengenal Kelapa Sawit, Penyebab Deforestasi Terbesar Saat Ini

Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mengumpulkan data perkebunan rakyat dari agen-agen di lapangan. Sementara, informasi mengenai perkebunan besar, dikumpulkan melalui Badan Pusat Statistik dari laporan perusahaan. Usaha itu ada, pertanyaannya adalah, kenapa angkanya bisa berbeda dari kondisi di lapangan.

Tampak perkebunan sawit dan hutan yang dibelah oleh jalan./Foto: Greenpeace.

Itu baru soal kebun kelapa sawit, belum masuk rantai produksi lain seperti pabrik pengolah TBS jadi minyak kelapa sawit, pabrik pengolah minyak kelapa sawit menjadi turunan lain atau di tangki timbun pelabuhan sebelum minyak kelapa sawit di ekspor. Banyak PR harus dikerjakan ketika negara ingin lebih bertanggung jawab terhadap hasil dari kelapa sawit ini. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga perusahaan, petani, dan masyarakat.

Ketiadaan informasi mengenai rantai pasok ini menimbulkan berbagai masalah. Tidak hanya bagi pemerintah dan perusahaan, tetapi juga untuk petani dan masyarakat. Seperti, fluktuasi harga, kampanye hitam kelapa sawit, penggunaan lahan tidak sesuai regulasi, konflik sosial, hilangnya potensi penerimaan negara, hambatan pasar, deforestasi, dan masalah-masalah lain yang sejatinya berhubungan.

Bagaimana minyak kelapa sawit dilacak?

Rantai pasok minyak kelapa sawit di mulai dari kebun kelapa sawit, terdiri dari kebun swadaya milik petani mandiri, kebun plasma hasil kemitraan perusahaan dengan petani, dan kebun inti milik perusahaan. Hasil kebun berupa TBS kemudian di kirim ke pabrik untuk di olah. Pemasok TBS dari luar kebun inti perusahaan biasanya memiliki kontrak pengiriman dengan pabrik. Dari orang-orang pemegang kontrak ini kemudian petani dan perantara-perantara kecil tanpa kontrak dapat memasok TBS ke pabrik.

Sebelum kebun dibangun, ada beberapa keperluan perizinan harus dilakukan. Kebun dengan luas kurang dari 25 hektar harus mendaftarkan kebun ke Bupati untuk mendapatkan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B). Sementara untuk kebun dengan luas 25 hektar atau lebih harus mengurus izin lokasi untuk penanaman modal ke Bupati/Wali Kota, Gubernur, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Dalam proses itu, pemerintah sudah bisa mendapatkan daftar informasi luas kebun, pemilik, lokasi, dan informasi dasar lainnya untuk kebun petani swadaya. Sama halnya dengan izin lokasi, pemerintah sudah memiliki informasi dasar mengenai pemilik, luasan, dan jenis usaha yang akan dibangun. Sebelum perusahaan memperoleh izin usaha, terlebih dahulu perusahaan harus mengurus izin lingkungan sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin usaha.

Dari izin lingkungan, pemerintah bisa mendapatkan informasi mengenai perusahaan-perusahaan yang layak untuk diberikan izin usaha. Analisis dampak lingkungan dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan layak secara lingkungan membuka usaha di areal tersebut. Selesai dari situ, perusahaan kemudian mengurus izin usaha perkebunan dan izin Hak Guna Usaha setelahnya.

Izin-izin dan surat dalam proses pendaftaran kebun dapat menjadi basis untuk keterlacakan kelapa sawit dari sisi hulu. Hasil dari kebun berupa TBS kemudian di pasok ke pabrik pengolah TBS. Setiap pemasok TBS ke pabrik biasanya memiliki kontrak pengiriman TBS. Informasi mengenai sumber buah dan jumlah buah ada dalam daftar kontrak pengiriman itu. Pemerintah dapat membuat regulasi terkait pelaporan pemegang kontrak, misalnya, perusahaan harus melaporkan setiap kontrak yang terbit ke pemerintah, sehingga pemerintah dapat mengetahui rantai pasok dari kebun ke pabrik pengolah TBS.

Dari sisi pabrik pengolah TBS, pemerintah dapat mengetahui informasi dasar mengenai pembangunan pabrik pengolah TBS melalui status hak atas tanah atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah, dan izin-izin lainnya seperti bukti kepemilikan gedung, izin mendirikan bangunan, data pemilik bangunan Gedung pabrik, hasil analisis dampak lingkungan, dan persyaratan tata bangunan.

Setelah TBS di olah menjadi minyak kelapa sawit dan inti sawit, pemerintah dapat melacak kemana produk tersebut bermuara dengan mewajibkan perusahaan untuk melaporkan hasil produksi ke pemerintah setiap tahunnya dan di kirim kemana produk tersebut. Opsinya adalah, hasil produksi mungkin di ekspor langsung ke luar negeri melalui pelabuhan internasional dan Bandara Udara, mungkin juga di kirim ke pabrik dalam negeri untuk dijadikan turunan lain seperti palm fatty acid distillate (PFAD), palm kernel fatty acid distillate (PKFAD), RBD palm oil, RBD stearin, dan RBD olein. Bahan-bahan tersebut kemudian dipakai oleh industri-industri lain sebagai bahan untuk berbagai macam produk makanan, kosmetik, minyak goreng, dan biodiesel.

Informasi dasar mengenai pabrik pengolah minyak kelapa sawit bisa di dapatkan melalui izin-izin yang diajukan oleh perusahaan seperti halnya pabrik pengolah TBS. Sementara informasi mengenai tangki timbun, pemerintah bisa melakukan pelacakan dengan memanfaatkan informasi dari surat pengajuan penimbunan yang lengkap identitas perusahaan, lokasi, indentitas diri, dan kondisi serta luas tanah. Informasi yang lebih detail dapat didapatkan pemerintah selama proses uji tangki timbun. Selanjutnya, soal minyak dari tangki timbun tersebut kemudian akan di ekspor atau di kirim ke luar pulau, pemerintah memiliki informasi dari laporan surveyor dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk produk minyak kelapa sawit beserta turunanya.

Khusus untuk informasi seperti luasan, lokasi dan produksi kebun sebenarnya bisa di identifikasi melalui citra satelit resolusi tinggi. Berbekal komputer dan tenaga kerja yang mampu mengoperasikan GIS, mendapatkan angka luasan kebun kelapa sawit mungkin untuk dilakukan. Seperti data luas kebun sawit terbitan KPK, Lapan, BIG, dan Kementan dibantu oleh Auriga sebagai tim dari Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam untuk tutupan sawit tahun 2016. Dalam proses menghitung produksi, informasi yang perlu dimiliki adalah usia tanaman. Dimana proses identifikasi melalui citra satelit resolusi tinggi juga mungkin untuk dilakukan.

Lainnya, seperti lokasi pabrik pengolah TBS, estimasi kapasitas pengolahan TBS, dan informasi serupa untuk tangki timbun minyak kelapa sawit juga mungkin didapatkan dari indentifikasi melalui citra satelit. Informasi awal yang dibutuhkan adalah pengetahuan soal karakteristik pabrik pengolah TBS dan karakteristik tangki timbun kelapa sawit. Agar informasi tangki timbun yang didapatkan lebih akurat, mengetahui karakteristik tangki timbun selain minyak kelapa sawit juga akan sangat berguna, misalnya, tangki timbun bahan bakar.

Tantangan dalam melacak rantai pasok minyak sawit

Meskipun instrumen pelacakan rantai pasok sudah tersedia, sulitnya membentuk kesepakatan yang saling menguntungkan antara perusahaan, pemerintah, petani, dan masyarakat membuat inisiasi jadi berkendala. Selain itu, kurang solidnya koordinasi antara Kementerian dan Lembaga, termasuk pemerintah daerah juga seakan-akan membuat instrumen yang sudah ada di instansi-instansi terkait ini jadi sulit di konsilidasikan untuk membentuk satu instrumen baru sebagai alat manajemen risiko sekaligus pertanggung jawaban pemerintah terhadap produk kelapa sawit.

 Manfaat Mengetahui “Pemilik Manfaat”

 “Pemilik Manfaat” menjadi suatu kewajiban bagi setiap korporasi setelah Perpres 13 2018 diundangkan. Setiap Korporasi wajib mendeklarasikan siapa “Pemilik Manfaat” atas korporasi tersebut. Pendeklarasian ini tidak hanya berguna bagi Pemerintah namun juga dapat memiliki keuntungan terhadap korporasi itu sendiri.

Kemunculan Prinsip “Pemilik Manfaat” memang dilandasi atas upaya Indonesia menjadi negara yang ramah terhadap investor namun tidak ingin menjadi wilayah yang lemah dalam mengatur seluruh kegiatan bisnis di wilayahnya. Apalagi Indonesia tidak mampu memetakan suatu unit usaha, yang dikhawatirkan dananya bersumber dari Tindak Pidana Pencucian Uang atau untuk kepentingan Tindak Pidana Terorisme.

Bagi setiap investor, mengetahui siapa “Pemilik Manfaat” atas korporasi memberikan nilai kepercayaan terhadap setiap aktivitas korporasi. Kepercayaan ini tentunya berakibat kepada mudahnya suatu korporasi menarik modal publik melalui instrumen saham. Mungkin saja, suatu korporasi akan mengalami kendala dalam mengumpulkan modal publik apabila “Pemilik Manfaat” nya tidak dideklarasikan terlebih sang “Pemilik Manfaat” memiliki record yang tidak terlalu bagus dalam memberikan keputusan bisnis.

Bagi Kreditor, informasi “Pemilik Manfaat” bisa memberikan nilai lebih kepada korporasi yang akan bertransaksi dengan Kreditor. Kepercayaan atas suatu korporasi mampu atau tidak membayar Utang tentu bisa memperkecil resiko utang tidak dibayarkan. Melalui informasi ini tercipta suasana bisnis yang kondusif dan tidak ada upaya dari korporasi untuk melakukan “transaksi ilegal” demi menghindari pembayaran utang yang tentunya memberikan kerugian terhadap pihak Kreditur.

Baca juga: Pengelolaan Sawit: ISPO Vs RSPO, Siapa Lebih Ramah Lingkungan?

Selain itu, dalam bidang Perpajakan. Korporasi yang menetapkan “Pemilik Manfaat” mendapatkan keuntungan berupa pembebasan dari Pemajakan Berganda. Pembebasan ini didasarkan dari Tax Treaty diantara 2 negara yang tentu telah memiliki hukum domestik yang mengatur secara khusus mengenai “Beneficial Ownership”.

Dari ketiga manfaat yang didapatkan oleh suatu korporasi apabila menetapkan “Pemilik Manfaat”, dapat disimpulkan sebagai sebuah indikator suatu korporasi memiliki reputasi yang baik. Tapi harus dipahami lebih lanjut, Instansi berwenang dapat melakukan penetapan terhadap “Pemilik Manfaat” lain apabila dalam penetapan “Pemilik Manfaat” oleh Korporasi diragukan keabsahannya.

Penulis: Ramada Febrian
Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Perkebunan Yayasan Auriga Nusantara