Konflik Agraria di Tahun Pandemi 2020 Tetap Tinggi

Penulis : Kennial Laia

Agraria

Selasa, 12 Januari 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Di tengah pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi, konflik agraria terus terjadi di Indonesia. Kasus perampasan lahan serta kekerasan terhadap petani dan masyarakat adat masih tinggi dan membutuhkan solusi serta komitmen serius dari pemerintah.

Hal itu terangkum di dalam Catatan Akhir Tahun Konsorisum Pembaruan Agraria (KPA) 2020, diluncurkan Rabu lalu, 6 Januari 2021. KPA mencatat adanya tren peningkatan jumlah konflik di dua sektor dibandingkan 2019, yakni perkebunan dengan 122 kasus (naik 28 persen) dan kehutanan dengan 41 kasus (naik 100 persen). Periode April-Desember 2020, masyarakat yang terdampak oleh konflik agraria mencapai 135.332 keluarga.

Baca juga Pakar IPB: Undang-Undang Cipta Kerja Picu Konflik Agraria

“Konflik yang terjadi melibatkan lahan seluas 624.272 hektare di hampir seluruh provinsi di Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika dalam diskusi peluncuran laporan, Rabu, 6 Januari 2021.  

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

Riau menempati posisi teratas penyumbang konflik agraria, didominasi oleh isu investasi dan bisnis sawit. Menyusul Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.  

Selama lima tahun terakhir (2015-2020), total konflik agraria yang bersifat struktural mencapai 2.288 kasus. KPA mencatat, jumlah korban konflik secara langsung mencapai 169 orang. Di antaranya, 139 individu dikriminalisasi, 19 dianiaya, dan 11 tewas. Kekerasan tersebut sebagian besar dilakukan aparat negara: polisi (46), TNI (22), pamong praja (9), dan petugas keamanan perusahaan (20). 

Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo mengatakan, pihaknya menerima terdapat 60 persen konflik terkait tanah dari total laporan yang mereka terima. Tipologi konflik beragam, mulai dari konflik antarmasyarakat, masyarakat vs. kelompok pemodal/perusahaan, maupun masyarakat vs. badan usaha milik negara (BUMN).

“Ini gambaran konflik agraria terus terjadi,” katanya.

 Menurut Dewi, jumlah kasus yang tinggi tersebut tidak diiringi oleh upaya penyelesaian memadai. Penyelesaian konflik oleh pemerintah “macet” karena cara yang ditempuh pemerintah cenderung reaktif.

"Situasi konflik agraria pada 2020 menunjukkan adanya pengabaian akan adanya permasalahan struktural yang terus menumpuk dan tidak ada urgensi penyelesaiannya,” tutur Dewi.

 Untuk menuntaskan konflik agraria, kata Dewi, harus ada terobosan politik dari pemerintah. Hal itu dapat dimulai dengan pembentukan badan khusus yang bersifat eksekutorial dan sejalan dengan prinsip reforma agraria. Badan itu harus dipimpin langsung oleh Presiden.

“Sudah saatnya dilakukan reforma agraria dan perbaikan fundamental terhadap kebijakan maupun praktik perusahaan di Indonesia. Perlu ada perubahan paradigma dalam melihat hak rakyat atas tanah,” pungkasnya.

Banyak tantangan

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Surya Tjandra mengatakan, meningkatnya konflik agraria memiliki kaitan dengan tidak tersentuhnya masalah ketimpangan akses dan akses kepemilikan tanah. Menurut Surya, saat ini pemerintah terus berupaya menyelesaikan konflik yang ada.

Namun proses penuntasan konflik menemui sejumlah tantangan, termasuk prosedur yang panjang dan lintas-kementerian. Karena itu kepemimpinan yang kuat amat dibutuhkan.

“Koordinasi antarlembaga harus berjalan efektif,” kata Surya. 

Surya menyebut, salah satu konflik agraria yang membutuhkan koordinasi antarlembaga adalah konflik antara masyarakat dengan BUMN. Menurutnya, pihaknya tidak dapat menyelesaikannya sendirian, namun harus melibatkan instansi seperti Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan karena menyangkut aset negara.

“Saat ini masing-masing memiliki prosedur sendiri. Ini yang sedang didorong. Saya berharap penyelesaiannya bisa lebih sistematik,” kata Surya.

Selain itu, adanya mafia tanah turut menyumbang konflik agraria. Menurut Surya, masalah ini sulit diatasi karena banyaknya pihak yang dapat mengeluarkan dokumen hak atau klaim kepemilikan atas lahan tertentu. Sementara itu, sengketa lahan juga dianggap rumit dan membutuhkan proses dan strategi penyelesaian jangka panjang.

“Sengketa itu rumit. Saat ini paling tidak kita membangun fondasinya dulu. Itu pun catatannya mungkin bukan yang mengeksekusi. Ini strategi long-term,” jelas Surya.

Baca juga Konflik Agraria Bak Api dalam Sekam

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Sosial Budaya Badan Intelijen (Baintelkam) Polri Komisaris Besar Arif Rahman menepis bahwa pihaknya melakukan kekerasan dan kriminalisasi masyarakat terkait konflik agraria. Menurutnya, polisi merupakan pihak keamanan yang diminta pihak yang bersengketa untuk mencegah terjadinya konflik yang berakibat kerugian materiil atau jiwa.

“Namun dalam pelaksanaannya, terjadi aksi-aksi anarkistis oleh pihak-pihak tertentu sehingga mau tidak mau polisi terlibat di dalamnya,” katanya.