KLHK Bantah Obral Izin dalam Kawasan Hutan Era Presiden Jokowi

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Kamis, 04 Februari 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membantah terjadi obral izin di dalam kawasan hutan pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar. Hal itu terkait dengan pernyataan beberapa organisasi pegiat lingkungan ihwal obral izin sebagai salah satu penyebab banjir besar di Kalimantan Selatan Januari silam.

“Dalam situasi bencana, banyak pihak yang memanfaatkan situasi dengan obral data yang tidak benar ke publik. Kewajiban kami adalah meluruskan informasi tersebut,'' kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Anugrah dalam siaran pers, akhir Januari lalu.

Banjir yang melanda Kalimantan Selatan pada Januari 2021 merupakan yang terparah selama 50 tahun terakhir. Dari 13 kabupaten/kota di provinsi tersebut, 11 terendam banjir atau longsor dan membuat 112.709 jiwa mengungsi. Untuk kerugian finansial, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mencatat nilainya mencapai Rp 1,349 triliun.

Kelompok masyarakat sipil seperti Jaringan Advokasi Jatam (Jatam) dan Walhi Kalimantan Selatan berargumen, luasnya dampak banjir itu akibat alih fungsi lahan demi industri ekstraktif. Hal itu berhubungan langsung dengan banyaknya izin yang diterbitkan di dalam kawasan hutan untuk usaha pertambangan dan perkebunan monokultur.

Foto udara perkebunan hutan tanaman industri di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Foto: Yudi Nofiandi/Auriga

“Banjir ini bukan karena tingginya curah hujan, melainkan curah izin,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang di akun Instagram @jatamnas, 27 Januari 2021.  

Namun, KLHK mengklaim izin terbanyak terbit sebelum Presiden Jokowi dilantik pada Oktober 2014. Dalam rentang waktu 1984-2020, penerbitan izin yang tercatat adalah 7,3 juta hektare. Dari luas tersebut, sebanyak 113 izin atau 600 ribu hektare terbit pada era Presiden Jokowi. Sementara itu, 746 izin seluas 6,7 juta hektare keluar pada rezim sebelumnya.

Di sektor kehutanan, KLHK mengklaim Menteri Siti Nurbaya memberikan izin hutan tanaman industri (HTI) seluas 1,2 juta hektare dari keseluruhan 11,2 juta hektare izin yang diterbitkan hingga Desember 2020. Sementara untuk hutan alam (HPH) tercatat izin seluas 18,7 juta hektare. Dari total tersebut, KLHK mengklaim rezim Jokowi hanya menerbitkan 291 ribu hektare atau 1,6% dari total izin yang diberikan.

Khusus izin tambang dalam kawasan hutan (izin pinjam pakai kawasan hutan atau IPPKH), luasnya mencapai 590 ribu hektare sejak Orde Baru hingga Kabinet Indonesia Maju. Dari total tersebut, 131 ribu hektare atau 22% keluar dalam rentang waktu 2015-2020. Menurut KLHK, izin tersebut dialokasikan untuk megaproyek listrik 35.000 MW dan batu bara (117 ribu hektare) dan 14.410 hektare untuk fasilitas umum seperti jalan, bendungan, dan menara seluler.

Nunu mengatakan, KLHK melakukan pembatasan kegiatan tambang mineral dan batu bara dengan kuota maksimal 10% dari luas areal izin pemanfaatan atau pengelolaan hutan. Menteri Siti Nurbaya juga menerapkan batas luasan IPPKH untuk kegiatan mineral dan batu bara di angka 1.000 hektare untuk satu IPPKH.

''Secara umum luas areal izin tambang dalam kawasan hutan jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah/instansi terkait di luar kawasan hutan, termasuk tambang ilegal selama puluhan tahun sebelum Presiden Jokowi,'' kata Nunu.

''Oleh karena itu, kebijakan pemulihan lingkungan dan penegakan hukum menjadi komitmen kuat yang dijalankan pada pemerintahan ini,” tambahnya.