2020: Tahun Penuh Bahaya bagi Pembela HAM-Lingkungan Papua

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Kamis, 04 Februari 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat adat pembela lingkungan di Papua marak terjadi. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mencatat, setidaknya terdapat 42 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sepanjang Januari-Desember 2020. 

Dalam laporan berjudul "Ancaman kepada Pembela HAM Lingkungan Papua Tahun 2020", Pusaka menemukan berbagai macam kasus kekerasan HAM yang berhubungan dengan aktivitas pembela  lingkungan, hutan maupun HAM. Di posisi puncak, perkara pelanggaran atas hak hidup mengemuka. Dicatat ada 16 kasus pelanggaran atas hak untuk hidup yang menimpa para pembela  lingkungan, hutan maupun HAM.

"Bentuknya kekerasan, penyiksaan hingga pembunuhan," ujar Peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Rasella Malinda memaparkan laporannya kepada publik secara virtual,Rabu, (3/2/2021).  Menurut Yayasan Pusaka, kategori pembela HAM dan lingkungan adalah para pihak yang termasuk individu atau komunitas yang melakukan aktivitas mempertahankan hak atas tanah adat dan lingkungan secara damai.

Perkara tertinggi kedua adalah pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi sebanyaj 13 kasus, hak atas rasa aman 10 kejadian, hak atas lingkungan hidup (2), dan hak atas pekerjaan (1). Dari puluhan kejadian kekerasan itu, tentunya korban berjatuhan. Maih berdasarkan catatan Pusaka, terdapat 14 warga sipil dan 3 pelayan agama yang menjadi korban.

Seorang aktivis bersama Orang Asli Papua lainnya berunjukrasa menuntut hak ulayat masyarakat adat di Tanah Papua, Jakarta, 15 November 2018. Foto: Betahita/Kennial Laia

Sementara itu pelaku pelanggaran HAM diidentifikasi mulai dari aktor negara seperti aparat kepolisian dan TNI, Satpol PP, kepala kampung, dan kepala distrik, Hingga aktor non-negara dilakukan oleh pihak korporasi, pendukung perusahaan, serta lembaga adat yang berpihak pada perusahaan. 

“Tahun 2020 adalah tahun penuh bahaya bagi pembela lingkungan maupun masyarakat adat karena mengalami banyak sekali ancaman,” kata Rasell.

Terdapat enam kasus, sedikitnya, intimidasi terhadap pembela lingkungan yang tersebar di beberapa kabupaten seperti Boven Digoel, Merauke, dan Sorong. Bentuk intimidasinya beragam, seperti kekerasan fisik, pembeberan data pribadi di media sosial, dan tuduhan melakukan ilmu hitam (suanggi).

“Selain itu, ada juga masyarakat adat yang diintimidasi untuk menandatangani undangan rapat adat dari perusahaan terkait pelepasan tanah adat,” kata Rasella.

Perlakuan intimidatif itu, kata Rasella mencontohkan, dialami Petrus Kinggo, ketua marga Kinggo, sub-marga Mandobo/Wambon di Dusun Kali Kao, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel. Petrus mengaku rumahnya didatangi manajer PT Korindo Group dan polisi. Di situ, Petrus dipaksa untuk menandatangani dokumen persetujuan pertemuan antarmarga. Rumah Petrus juga pernah didatangi empat orang mabuk yang membawa parang. Selain itu, Petrus juga mengalami doxing, saat fotonya disebar di media sosial. 

Petrus Kinggo mengaku diperdaya oleh perusahaan. Pada 2015, Petrus bersama masyarakat Kinggo melepaskan tanah adat kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erna Pop E, salah satu anak perusahaan Grup Korindo asal Korea Selatan. Marga Kinggo diberikan sejumlah uang untuk pelepasan tanah adat dan dijanjikan bahwa tanah adatnya dikembalikan setelah 35 tahun. 

Belakangan, Petrus menyadari banyak janji perusahaan yang tidak ditepati, apalagi setelah mendapati tanah adatnya telah menjadi tanah negara berdasarkan penerbitan izin Hak Guna Usaha. Petrus tidak memahami makna kata pelepasan. Karena itu, Petrus bersama komunitas di Kampung Kali Kao melakukan berbagai upaya penolakan seperti ritual adat, pemasangan sasi salib merah, hingga mengajukan berbagai keberatan ke instansi pemerintah daerah dan pusat. 

Kekerasan lain juga dialami oleh Ones Wetaku, yang tinggal di Distrik Kais Darat, Kabupaten Sorong Selatan. Sejak 2015, Ones aktif memperjuangkan hak atas hutan adat dan dusunnya yang dibebani izin perkebunan kelapa sawit milik PT Putera Manunggal Perkasa (PT PMP), anak perusahaan Grup Austindo Nusantara Jaya. Karena aktivitasnya tersebut, Ones mengalami kekerasan dan intimidasi berulang.

Penyerangan terbaru dialami Ones pada 1 Juni 2020. Saat itu, tempat tinggalnya didatangi orang bersenjata tajam yang menuduh Ones menyantet salah seorang warga. Ones mengalami luka fisik. Ones menduga kejadian tersebut berhubungan dengan aktivitasnya menolak kehadiran PT PMP yang didukung sebagian warga. Ones mengaku telah melapor ke polisi, namun tidak ada tindak lanjut.