Mudahnya Hutan Alam Tanah Papua Terkonversi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Selasa, 09 Februari 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - "Kita orang Papua ini tidur di atas emas, kita tidur di atas minyak, kita tidur berpeluk kayu merbau, tetapi kita hanya mampu menjual pinang saja di pinggir jalan" -Nicodemus Wamafma, Juru Kampanye Hutan Papua, Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia.

Perkatan Nicodemus itu adalah ungkapan umum yang digunakan orang asli papua (OAP) untuk menyentuh nurani Pemerintah Indonesia atas ketidakberdayaannya melihat eksploitasi masif yang terjadi di Tanah Papua.

Industri ekstraktif telah meranggaskan hutan alam di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat). Dari 663.443 hektare total deforestasi atau hilangnya tutupan hutan alam di Tanah Papua, 474.521 hektare atau 71 persen di antaranya, disebabkan oleh aktivitas industri ekstraktif. Perkebunan sawit salah satu pelaku utamanya, dengan mendulang angka sebesar 339.247 hektare.

Lalu bagaimana perkebunan sawit bisa dengan mudahnya menjadi yang terdepan menggunduli hutan alam di Tanah Papua?

Tampak perkebunan sawit dan hutan yang dibelah oleh jalan./Foto: Greenpeace.

Nicodemus mengakui, maraknya alih fungsi hutan alam menjadi perkebunan sawit di sana sulit terbendung. Syahwat besar investasi usaha industri ekstraktif dan kuasa kebijakan pemerintah seolah bertemali mengikat suara OAP yang menolak hutannya dibabat atas nama pertumbuhan ekonomi.

Nicodemus beranggapan, kalau dirinya saja yang terbilang cukup berpendidikan merasa susah untuk berhadapan dengan ancaman ekspansi perusahaan besar swasta, apalagi masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal terpencil di pedalaman.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, beserta Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21, Nomor 22 dan Nomor 23 yang menjadi turunannya, yang diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap hutan alam, termasuk tanah-tanah adat di Tanah Papua, ternyata tidaklah bertuah. OAP masih saja harus berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar swasta dan harus merelakan hutannya terus menerus terbabat.

"Tetapi dalam faktanya perdasus-perdasus ini di lapangan tidak diimplementasikan. Karena seperti ada lompatan begitu. Dalam artian bahwa ternyata semua perizinan yang berbasis pada lahan ini ternyata mainnya di (pemerintah) pusat," kata Nicodemus kepada betahita.

Pemerintah dan pengusaha juga masih memandang hutan atau tanah di Papua dan Papua Barat semata milik negara. Hak ulayat masyarakat adat di Tanah Papua, ternyata harus berdasarkan pengakuan dari Negara. Penetapan wilayah adat di Tanah Papua sendiri, sudah diamanatkan dalam Perdasus Nomor 23 Tahun 2008. Namun celakanya penetapan wilayah adat ini harus berlomba dengan hasrat ekspansi usaha industri ekstraktif.

Nico melanjutkan, perlindungan hutan di Tanah Papua sebenarnya telah menjadi komitmen Deklarasi Manokwari tahun 2018. Dalam deklarasi itu, Pemerintah Provinsi Papua Barat menyatakan komitmennya untuk menjadikan provinsi tersebut menjadi Provinsi Konservasi, dengan menetapkan 70 persen dari luas daratannya menjadi kawasan lindung.

Dalam deklarasi yang sama Provinsi Papua juga telah mempertegas penguatan visi 2100 yang ingin mempertahankan 90 persen hutan alamnya. Tetapi komitmen-komitmen tersebut malah mendapat koreksi dari pemerintah pusat.

"Tapi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian bicara bahwa kalau konservasi itu domainnya pusat, jadi di daerah tidak bisa mengatur ruang itu. Mereka harus tetap mendengar bagaimana lokasi ruang menurut pemerintah pusat di Tanah Papua."

Artinya, imbuh Nico, pemerintah pusat tetap merasa punya hak untuk mengintervensi sebuah bentuk perencanaan ruang yang ada di Tanah Papua. Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat harus mengikuti skema perencanaan ruang yang juga menjadi kepentingan pemerintah pusat di Tanah Papua.

Itu sebabnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua sampai hari ini masih mengalami revisi dan peninjauan. Penyelesaian RTRW ini juga berhubungan dengan peninjauan kembali terhadap perizinan berbasis lahan yang telah diterbitkan di Tanah Papua. Hal itu masih berproses, khususnya untuk Provinsi Papua.

Selain persoalan peraturan perundang-undangan dan tata ruang. Permasalahan lain yang menyebabkan hutan alam di Tanah Papua mudah terkonversi adalah lemahnya masyarakat di pedalaman mempertahankan tanah adatnya. Dalam hal ini, sumber daya manusia dan desakan ekonomi menjadi menjadi faktor determinan.

Nico mengungkapkan, kondisi ekonomi dan sumber daya manusia yang relatif rendah, membuat masyarakat pedalaman sangat rentan dengan tawaran rupiah yang dibawa oleh investor yang ingin membabat hutan. Dengan rupiah yang tak seberapa, para investor dengan mudahnya bisa mendapatkan lahan dari masyarakat tanpa mendapat banyak perlawanan.

Nicodemus mengatakan, di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, investor bisa mendapatkan hak atas pengelolaan satu hektare tanah hanya dengan memberikan lebih kurang Rp100 ribu saja. Artinya, hanya dengan membayarkan beberapa miliar rupiah saja, investor bisa dengan sangat mudahnya mendapatkan belasan atau puluhan ribu hektare lahan.

"Ketika perusahaan datang dan menaruh uang di situ, mereka tidak punya pilihan lain selain menerima (uang) itu dan melepaskan hutannya. Karena mereka harus menerima uang itu, karena pada hari itu uang itu menjawab persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh mereka. Makan, minum, pendidikan dan kesehatan."

Persoalan terakhir yang menyebabkan hutan alam Tanah Papua mudah terkonversi adalah cara pandang Pemerintah Indonesia melihat Tanah Papua. Selama ini, menurut Nico, pemerintah pusat hanya melihat Tanah Papua sebagai resources area, bukan development area yang harus dibangun. Selama cara pandang itu dipertahankan, maka selama itu pula ancaman terhadap keberadaan OAP termasuk hak-haknya di atas tanahnya itu akan tetap terbuka lebar.

"Kalau kita ingin mendorong perubahan di Tanah Papua kita harus mendorong perubahan pola pikir pemerintah pusat melihat Tanah Papua sebagai tujuan pembangunan. Bahwa ada yang tertinggal, ada yang terbelakang, ada yang kurang yang harus dibenahi. Kira-kira resources seperti apa yang harus dibutuhkan yang kita butuhkan, bagaimana cara mengembangkan resources itu."