Masyarakat Sipil Desak Gubernur Beri Hak Milik Hutan Adat Papua

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Kamis, 11 Februari 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Gabungan kelompok masyarakat sipil dan masyarakat adat di Papua Barat mendorong Gubernur Dominggus Mandacan untuk memberikan hak pengelolaan dan kepemilikan hutan kepada masyarakat adat, terutama di wilayah yang telah dibebani izin untuk perusahaan.

Perwakilan dari Perkumpulan Mongka Papua, Nerius D. Sai, mengatakan, saat ini mekanisme pemberian hak kelola hutan adat belum jelas.

“Substansi yang berkaitan dengan pengakuan hak masyarakat adat itu di mana? Dan bagaimana mekanismenya? Ini yang belum jelas,” kata Nerius melalui siaran pers, Senin, 8 Februari 2021.

Ketua Perkumpulan Panah Papua Sulfianto Alias mengatakan, perizinan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan skala besar telah menyebabkan deforestasi dan merebut lahan milik masyarakat adat di Tanah Papua.

Seorang masyarakat adat dari Suku Maskona berdiri di samping kayu merbau yang telah ditebang perusahaan. Aktivitas perusahaan itu tanpa sepengetahuan marganya selaku pemilik hak ulayat. Foto: Istimewa

“Akibatnya terdapat ketimpangan penguasaan lahan secara legal antara pemegang izin dan masyarakat adat,” kata Sulfianto dalam siaran pers, Senin, 8 Februari 2021.

“Deforestasi juga masih terus berlangsung hingga saat ini, khususnya di wilayah berizin,” kata Sulfianto.

Menurut Sulfianto, saat ini terdapat sekitar 3 juta hektare hak pengelolaan hutan yang diberikan kepada perusahaan. Sebaliknya, masyarakat adat tidak menerimanya. Di sektor perkebunan, 500.000 hektare lahan di Papua Barat dikuasai oleh sembilan grup perusahaan, sementara Orang Asli Papua tidak memiliki hak kepemilikan di wilayah berizin tersebut.

Sulfianto mengatakan, program reforma agraria dan perhutanan sosial yang ada saat ini tidak dapat menyelesaikan persoalan ketimpangan pengelolaan lahan di Tanah Papua.

Hal ini diamini Penias Itlay dari Perkumpulan Oase. Menurutnya, saat ini belum ada komitmen yang jelas dari pemerintah tentang pemberian hak kepemilikan hutan adat kepada Orang Asli Papua.

“Masih jauh dari harapan. Bahkan konflik antara masyarakat adat dan pemegang izin hingga saat ini pun belum terselesaikan,” katanya.

Berdasarkan data dari report Koalisi Indonesia Memantau, sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Tanah Papua menyusut 663.443 hektare, 29% terjadi pada 2001-2010 dan 71% 2011-2019. Bila direrata, di Tanagh Papua terjadi deforestasi 34.918 hektare per tahun, dengan angka deforestasi tertinggi terjadi pada 2015 yang menghilangkan 89.881 hektare hutan alam Tanah Papua.

Delapan puluh tujuh persen deforestasi Tanah Papua pada 2001-2019 terjadi di 20 kabupaten, atau di separuh total kabupaten di regio ini. Deforestasi terbesar terjadi di Kabupaten Merauke (123.049 ha), diikuti Kabupaten Boven Digoel (51.600 ha). 

Dilihat dari penyebabnya, sebagian besar deforestasi di Tanah Papua terindikasi terjadi di dalam konsesi usaha industri ekstraktif, baik di sektor perkebunan, sektor kehutanan dan sektor pertambangan. Luas deforestasi yang terjadi di dalam areal konsesi usaha industri ekstraktif ini jumlahnya mencapai sekitar 474.521 hektare, atau 71 persen dari total deforestasi yang terjadi di Tanah Papua.

Data deforestasi di dalam konsesi perizinan usaha itu diperoleh melalui kombinasi dataset Global Forest Change dari Global Land Analysis and Discovery (GLAD) University of Maryland dan peta penutupan lahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).