Salah Kaprah Proyek Food Estate dalam Bingkai Analisis Walhi

Penulis : Sandy Indra Pratama

Lingkungan

Selasa, 23 Februari 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengkritisi pelaksanaan proyek Food Estate yang sedang dijalankan pemerintahan Presiden Jokowi. Banyak hal yang disoroti, mulai dari keterlibatan Kementerian Pertahanan hingga alasan ekologis seputar proyek itu.

Saat ini Kalimantan Tengah telah memasuki tahap pembahasan awal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk Food Estate. Sayangnya, Walhi menangkap kesan bahwa KLHS hanya dijadikan justifikasi untuk pembukaan Food Estate.

“Seharusnya KLHS menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan, rencana, dan program, bukan hanya menjadi tahapan administratif dalam sebuah proyek,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono.

Dalam paparan Kementerian Pertahanan, di paparan awal KLHS, setidaknya 486.164 Ha lahan awal di Kalimantan Tengah berasal dari Kawasan Hutan (Lahan AOI, Blok Katingan, Kapuas, Blok Gunung Mas). Itu berarti, kata Walhi, sebuah proyek yang dipimpin oleh Kementerian Pertahanan di wilayah Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah untuk komoditas Singkong telah membuka sekitar 700 hektar hutan alam di kawasan hutan produksi, dalam lima bulan terakhir tanpa ada dokumen AMDAL.

Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi pengembangan food estate di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, awal Juli 2020. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden.

Proyek ini juga telah menabrak berbagai aturan termasuk kewajiban atas dokumen legalitas kayu (SLVK) dan Izin Pemanfaatan Kayu yang justru akan menghancurkan hutan alam dan mencederai komitmen pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim dari sektor kehutanan dan tata guna lahan.

Dalam arahan presiden RI pada Ratas Food Estate 23 September 2020, setidaknya ada 3 tujuan food estate yang disampaikan. Pertama, mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi COVID-19. Kedua, mengantisipasi perubahan iklim. Terakhir, mengurangi ketergantungan impor.

Ketiga alasan diatas menjadi tidak berdasar melihat fakta saat ini, Pertama alasan COVID-19 justru harusnya dijawab dengan desentralisasi produksi pangan, serta memberikan dukungan langsung pada petani, baik pada faktor produksi maupun ketersediaan lahan, mengingat ketimpangan kepemilikan lahan masih tinggi. Kedua, argumentasi perubahan iklim menjadi tidak berdasar, merujuk catatan IPCC dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pemerintah indonesia salah satu faktor penyumbang emisi terbesar berasa dari sektor AFOLU (agriculture, Forestry, Other Land Use/Pertanian, Kehutanan, dan alih fungsi lahan lainnya). Ketiga, argumentasi ketergantungan impor, justru menunjukkan ketidak-konsistenan saat omnibus law disetujui justru melonggarkan hal ini, pada sisi lain proyek pangan skala luas belum pernah terbukti berhasil.

Keterlibatan Komponen Cadangan

Keterlibatan Kementerian Pertahanan dalam proyek Food Estate, terlebih ditambah pernyataan presiden Jokowi yang mengatakan akan melibatkan komponen cadangan (KOMCAD) dalam proyek pangan, menambah kompleksitas masalah. Bahkan dalam paparan kementerian PPN/BAPPENAS, konsep pengembangan food estate dikenal 2 mekanisme, militer dan non-militer.

Menurut Walhi, rencana pelibatan Komponen Cadangan (KOMCAD) dalam proyek lumbung pangan (food estate) yang dipegang oleh Kementerian Pertahanan, jelas menyalahi tujuan dari pembentukan KOMCAD itu sendiri. Sebab tujuan KOMCAD, sejatinya untuk membantu TNI dalam mengatasi ancaman militer (perang).

Komponen cadangan adalah mereka yang dibekali dengan pelatihan dasar kemiliteran selama 3 bulan. Dalam hal ini, dalam penilaian Walhi tentunya tidak tepat dan keliru ketika akan dikerahkan untuk keperluan pengembangan proyek lumbung pangan (food estate).

Mobilisasi Komcad untuk kebutuhan selain menghadapi ancaman militer sejatinya bukan merupakan tanggungjawab kementerian pertahanan. Melainkan tanggungjawab kementerian yang dalam hal ini seharusnya Kementerian Pertanian.

Untuk itu, pihak yang dilibatkan dalam pengembangan proyek lumbung pangan (food estate) seharusnya adalah mereka yang terampil dan mempunyai pengetahuan dan keahlian dalam urusan pertanian terutama pangan. Bukan mereka yang hanya dibekali pelatihan dasar kemiliteran.

Dengan demikian, maka istilah yang tepat digunakan dalam konteks ini bukanlah komponen cadangan (komcad) melainkan relawan.

Melihat kondisi saat ini, terlebih kita baru saja diingatkan bahwa pengabaian terhadap lingkungan hidup akan berbuah pada bencana ekologis. Pada keterangan persnya Walhi tegas menyatakan untuk saatnya menghentikan proyek-proyek yang mengabaikan hak masyarakat dan lingkungan hidup