PT KS Kalahkan Negara dalam Kasus Pidana Karhutla

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Karhutla

Selasa, 23 Februari 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Persidangan kasus pidana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan terdakwa PT Kumai Sentosa (KS) di Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), sudah sampai pada ujungnya. Pada 17 Februari 2021 kemarin, Majelis Hakim yang memimpin persidangan menyatakan bahwa terdakwa PT KS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Dengan demikian Majelis Hakim PN Pangkalan Bun membebaskan PT KS dari semua dakwaan.

Kemenangan PT KS dalam kasus ini memberikan pukulan telak kepada Negara. Karena putusan Majelis Hakim, yang diketuai Heru Karyono, didampingi oleh Muhammad Ikhsan dan Iqbal Albanna, sebagai anggota, ini menambah panjang daftar kekalahan Negara dari korporasi dalam kasus karhutla, di level peradilan tingkat pertama. Kasus pidana karhutla PT KS ini didaftarkan ke PN Pangkalan Bun pada 8 September 2020 lalu. Dengan No.233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kotawaringin Barat (Kobar), Dandeni Herdiana sangat menyayangkan putusan bebas murni terhadap PT KS. Menurutnya, Majelis Hakim PN Pangkalan Bun yang menangani perkara pidana karhutla PT KS tidak memberikan dukungan terhadap pemberantasan penanganan kebakaran yang menjadi perhatian nasional dan internasional.

Namun dalam kasus ini pihaknya tidak menyerah begitu saja. Sebaliknya pihaknya memanfaatkan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung (MA). Meskipun peluangnya kecil, Dandeni berharap hakim-hakim MA bisa lebih profesional dalam memutus perkara ini. Karena, lanjut Dandeni, semestinya putusan Majelis Hakim yang dijatuhkan kepada PT KS itu bukanlah putusan bebas (vrijspraak), tapi putusan lepas (onslag van recht vervolging).

Kebakaran di area konsesi perkebunan sawit milik PT Kumai Sentosa, Desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Agustus 2019. Saat ini proses penegakan hukum terhadap PT KS sedang berlangsung atas kasus kebakaran seluas 2.600 hektare itu. Foto: Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK

"Tapi ya masih ada upaya hukum yang bisa lakukan. Yaitu upaya hukum kasasi. Kita akan buktikan bahwa ini seharusnya bukan putusan bebas, tapi putusan onslag. Dan kita akan membuktikan bahwa seharusnya terbukti bawha perusahaan tersebut, PT KS tersebut telah lalai hingga menyebabkan kebakaran," kata Dandeni, Senin lalu.

Berdasarkan riwayat perkaranya, yang dapat dilihat di situs SIPP PN Pangkalan Bun, pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, pada Jumat 19 Februari 2021 kemarin. Saat ini pihak JPU tengah menyusun memori kasasi yang akan diserahkan kepada MA, melalui PN Pangkalan Bun. Dalam hal ini JPU memiliki jangka waktu paling lama 14 hari untuk menyerahkan memori kasasi tersebut.

Terpisah, Kepala Seksi (Kasi) Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPHLHK) Wilayah I Kalimantan, Irmansyah menilai, putusan bebas terhadap PT KS, yang dianggap mengakibatkan kebakaran dan bencana asap 2019 lalu, akan membuat Indonesia menjadi bulan-bulanan negara tetangga.

Irmansyah melanjutkan, dalam putusannya, Majelis Hakim PN Pangkalan Bun menganggap PT KS sebagai korban, dengan alasan api yang menyebabkan kebakaran lahan di dalam areal PT KS berasal dari luar areal perusahaan. Selain itu PT KS juga dianggap memiliki peralatan penanganan kebakaran lengkap.

"Hal itu berdasarkan fakta awal, dilengkapi setelah terjadi kebakaran besar dan tim masuk memeriksa. Fakta bukti sudah jelas," kata Irmansyah, Kamis (18/2/2021).

Apapun alasannya, imbuh Irmansyah, PT KS terbukti telah melakukan kelalaian, karena peralatan penanganan kebakaran tidak tersedia saat pembukaan lahan. Ditambah pula fakta persidangan yang terungkap bahwa pengajuan peralatan pencegahan dan penanganan kebakaran oleh petugas lapangan tidak direspon oleh pihak managerial kebun.

"Larangan membuka lahan saat kemarau oleh Gubernur juga tidak diindahkan. Penanganan lambat dan antisipasinya tidak ada. Menara pantau api juga tidak memadai untuk luas ribuan, hanya ada 1 saja. Banyak fakta yang tidak dilihat dalam kasus ini. Kalau dikatakan korban itu sungguh luar biasa."

Berdasarkan berkas putusannya, Majelis Hakim PN Pangkalan Bun menganggap PT KS merupakan korban dalam kejadian karhutla, khususnya yang terjadi pada Agustus 2019 lalu. Salah satunya sebutkan pada halaman 180 berkas putusan. Pada halaman tersebut tertulis, menimbang bahwa oleh karena dalam perkara ini asal api adalah dari kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) dan berakibat pada menyebarnya api ke kawasan PT KS yang pada akhirnya tidak dapat dipadamkan, sehingga menyebabkan kebakaran lahan di areal perkebunan PT KS dan Blok 41 sampai dengan Blok 31 atau seluas 2.600 hektare yang mengakibatkan kerugian lebih dari Rp10 miliar hanya dari harga kelapa sawitnya saja, sehingga dengan demikian PT KS adalah kobran.

Berdasarkan bunyi putusannya, majelis hakim PN Pangkalan Bun menyatakan terdakwa koorporasi PT Kumai Sentosa yang diwakili oleh pengurus, I Ketut Supastika Bin I Wayan Sukarda, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif kesatu dan kedua Penuntut Umum.

Kemudian membebaskan terdakwa koorporasi dengan identitas tersebut di atas, oleh karena itu dari dakwaan alternatif Penuntut Umum. Selanjutnya menetapkan memulihkan hak-hak terdakwa koorporasi dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya dalam kedudukan semula.

Kalau dilihat dari dakwaannya, PT KS dianggap dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 99 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf a jo pasal 119 huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain itu PT KS juga dituntut dengan pidana denda sebesar Rp2 miliar dan pidana tambahan Rp935 miliar, akibat terjadinya kebakaran lahan seluas kurang lebih 2.600 hektare.