Proyek Food Estate Jangan Memperdaya Anggaran Negara

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Rabu, 10 Maret 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Pemerintah tetap nekat menjalankan Program Lumbung Pangan (food estate) di sejumlah wilayah. Dalihnya demi mengantisipasi krisis pangan. Namun sejumlah kalangan ragu dan khawatir program food estate itu hanya akan menjadi proyek yang memperdaya anggaran keuangan negara saja.

"Kiranya semangat memberdayakan petani tidak berubah menjadi memperdaya petani dan memperdaya anggaran negara," ujar Pdt. Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dalam Diskusi Tematik, Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, Sekedar Proyek atau Bermafaat secara Berkelanjutan bagi Petani?, yang digelar secara virtual, Rabu, 3 Maret 2021 pekan kemarin.

Pernyataan itu dilontarkan Pdt. Jimmy saat mengungkapkan kekhawatirannya terhadap proyek program food estate yang dikerjakan pemerintah. Karena berdasarkan perhitungan, program ini hanya akan mendatangkan kerugian bagi banyak pihak dan malah menguntungkan segelintir kelompok saja. Apalagi prosesnya sejak awal sudah salah, hulu dan hilirnya.

"Sehingga program ini hanyalah sebuah kebohongan yang akan menciptakan kebohongan lain serta menciptakan dosa berulang dengan daya rusak yang semakin bertambah."

Kawasan hutan produksi seluas hampir 600 hektare, di wilayah Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, dibuka untuk dijadikan perkebunan monokultur singkong, salah satu program PSN Food Estate./Foto: Dokumentasi Save Our Borneo

Dilihat dari kegagalan proyek nasional, jauh sebelumnya yang dikerjakan di Kalimantan dan Papua, pemerintah dan pihak terkait dinilai perlu untuk melihat dan mengkaji ulang program ini.

Keraguan dan kekhawatiran terhadap program food estate tersebut bukan tanpa dasar. Pada food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng) misalnya. Baru berjalan setahun, proyek tanam padi yang dikerjakan Kementerian Pertanian di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas terindikasi mengalami kegagalan. Salah satu indikasinya adalah terlihat dari realisasi hasil panen padi yang masih jauh dari target yang ditetapkan.

"Pemerintah optimis menargetkan 6-7 ton per hektare melalui program ini. Namun realisasinya kurang dari itu, bahkan untuk mencapai target yang biasa petani raih sebesar 3-4 ton per hektare saja tidak mampu," kata Safrudin Mahendra, Direktur Save Our Borneo (SOB).

Safrudin melanjutkan, percepatan waktu tanam yang konon demi mengejar target 3 kali panen dalam satu tahun, juga berakibat pada gagalnya lahan garapan petani. Hal ini dikarenakan adanya serangan hama tikus, yang mestinya sudah diantisipasi oleh pemerintah.

"Sejak awal kami menyatakan menolak program ini. Karena kami khawatir lahan-lahan, terutama kawasan eks-PLG (Pengembangan Lahan Gambut), yang kami harapkan dapat direhabilitasi, justru malah dialokasikan untuk pertanian lagi."

(Baca juga: Panen di Proyek Food Estate HUmbahas Tidak Maksimal)

Selain food estate tanaman padi, Safrudin juga menyoroti pengerjaan food estate untuk komoditi singkong, yang dikerjakan oleh Kementerian Pertahanan di Kabupateng Gunung Mas, Kalteng. Safrudin mengungkapkan, areal yang dibuka untuk ditanami singkong itu berstatus kawasan Hutan Produksi (HP), dengan tutupan hutan yang masih sangat bagus, dengan potensi kayu yang besar.

"Ketika hutan ini dibuka, yang menjadi pertanyaan adalah, kemana kayu-kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi ini akan dibawa? Siapa yang akan mendapatkan keuntungan ini (kayu)?"

Permasalahan lain lagi, pembukaan kawasan HP untuk lahan tamanan singkong itu dilakukan dengan tanpa didahului adanya kajian lingkungan, sebagai dasar. Kawasan HP yang sudah dibuka luasnya kini sudah hampir mencapai angka 600 hektare.

"Hingga saat ini publik bertanya-tanya bagaimana menyampaikan sejumlah persoalan atau pengaduan jika terjadi pelanggaran terkait program ini. Mekanisme seperti ini yang belum ada," tambah Safrudin.

Safrudin menilai, kawasan HP yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian hanyalah akal-akalan licik penguasa dan pengusaha yang tidak bertanggungjawab untuk menguasai lahan dan kawasan, khususnya di Kalteng. Yang mana, menurutnya, wilayah ini harusnya dilindungi untuk kepentingan bersama.

Pemerhati Lingkungan Kalteng, Fatkhurohman menambahkan, hadirnya food estate di Kalteng didasari oleh kondisi krisis pangan akibat pandemi Covid-19, namun tidak ada dipayungi kebijakan selevel keputusan presiden (Kepres) atau instruksi presiden (Inpres) yang mengaturnya. Hal ini menurutnya merupakan masalah besar. Karena akan berdampak pada kerja-kerja menjadi berjalan secara parsial.

"Jika kita bercermin pada pelaksanaan program ini dan mengibaratkannya sebagai sebuah orkestra, maka yang muncul hanya ada suara bising cendrung gaduh semata. Hal ini karena semuanya berjalan secara parsial, karena tidak ada konduktor yang dapat mengatur menjadi irama yang harmonis," kata Fatkhuroman.

(Baca juga: Salah Kaprah Proyek Food Estate dalam Bingkai Analisis Walhi)

Muhammad Wahyu Agang, dari Tim Ahli KLHS Food Estate Kalteng, mengatakan, proses Kajian Lingkunan Hidup Strategis (KLHS) Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan di Kalteng, pada dasarnya sudah berjalan sesuai dengan tahapannya dan tidak meninggalkan proses partisipatif masyarakat.

"Kami sangat terbantu dengan laporan dan data dari lapang karena dapat kami tuangkan dalam proses penyusunan KLHS. Harapannya proses deliberatif melalui KLHS ini dapat kita kawal bersama sehingga menjadi pembelajaran. Kegagalan masa lalu akan menjadi masukan bagi kita kedepan," ujar Wahyu.

Mantan Gubernur Kalteng, yang kini menjadi senator DPD RI, Agustinus Teras Narang menilai, program food estate memang menjadi hal penting dan perlu didukung. Namun dengan catatan, harus ada prinsip keberlanjutan di dalamnya.

Artinya program ini haruslah memenuhi aspek keselamatan ekologi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat di lokasi pengembangannya. Selain itu, karena program ini melibatkan lintas kementerian, dirinya mencoba mendorong agar ada payung hukum yang jelas untuk mengatur seluruh pihak yang terlibat.

"Perlu adanya sebuah badan otorita pangan yang mengawal dan memimpin agenda ini. Agar lebih dapat fokus dalam membangun sinergitas kepentingan antar kementerian, termasuk pemda dan masyarakat. Secara umum pelaksanaan program ini perlu menjadi perhatian dan dievaluasi. Saya berpandangan kita harus tetap kritis yang konstruktif tentunya serta memiliki semangat untuk membangun kepentingan dan tujuan bersama," ujar Teras Narang.