Lahan Food Estate di Sumut Masuk Dalam Konsesi Perusahaan Swasta

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Kamis, 11 Maret 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perencanaan dan pelaksanaan Program Lumbung Pangan (food estate) yang dijalankan pemerintah masih bercela. Di Sumatera Utara (Sumut), lahan yang disiapkan untuk Program Food Estate diketahui berada di dalam konsesi perusahaan swasta, dan itu menghadirkan pertanyaan besar bagi publik.

Sekretaris Yayasan Petrasa, Sumatera Utara (Sumut), Ridwan Samosir mengatakan, berdasarkan hasil kunjungan dan pemetaan yang dilakukan Yayasan Petrasa di lokasi food estate, di Desa Ria-Ria, Kabupaten Humbang Hasundutan, menunjukan bahwa lahan food estate ternyata masuk ke dalam konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Hal serupa juga terjadi pada lahan food estate yang diusulkan Pemerintah Kabupaten Dairi, yang ternyata masuk dalam konsesi PT Gruti. Hal ini menurutnya patut dipertanyakan, mengapa lahan untuk food estate masuk dalam konsesi perusahaan besar swasta?

"Ini patut dikritisi, karena Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi yang sangat rentan terjadinya konflik agraria," ujar Ridwan, dalam Diskusi Tematik, 'Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, Sekedar Proyek atau Bermafaat secara Berkelanjutan bagi Petani?', yang digelar secara virtual, Rabu, 3 Maret 2021 pekan kemarin.

Presiden Jokowi di food estate di Desa Siria-ria, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Selasa (27/10/2020). (dok.presidenri.go.id)

Kemudian, lanjut Ridwan, dari 1.000 hektare lahan yang disiapkan untuk food estate di Humbang Hasundutan, 215 hektare di antaranya diserahkan pengelolaannya kepada petani, sedangkan 785 hektare sisanya akan diserahkan kepada pihak ketiga.

Ridwan menyebut, sejauh ini ada 10 perusahaan yang akan melakukan pengolahan lahan food estate di Humbang Hasundutan ini. Keterlibatan banyak perusahaan swasta dalam pengolahan dan pengelolaan lahan food estate ini akan menimbulkan pergeseran aktor sumber pangan. Dari yang selama ini berasal petani, maka dengan Program Food Estate ini penyedia pangan nasional akan mulai dialihkan kepada industri dan korporasi.

"Selanjutnya, ketika Program Food Estate berjalan maka perusahaan besar akan bersaing dengan petani lokal. Hal ini berpotensi timbulnya kesenjangan antara petani lokal yang masih manual dengan korporasi yang memiliki infrastruktur dan sumber daya yang besar."

Ridwan juga mempertanyakan tentang mekanisme pasar dan nasib petani lokal dalam memasarkan produknya. Pemerintah harus menjelaskan kepada publik, khususnya kepada petani, tentang akses pasar terhadap hasil produksi mereka. Pemerintah, menurutnya, juga harus mempertimbangkan potensi perubahan dari petani mandiri menjadi buruh tani di masa depan.

Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Jimmy Sormin mengaku khawatir Program Food Estate yang dijalankan pemerintah hanya akan menguntungkan segelintir kelompok saja. Sehingga program ini akan hanya akan menjadi suatu kebohongan yang akan menciptakan kebohongan lain serta mencitakan dosa berulang dengan daya rusak yang semakin bertambah.

"Berangkat pula dari kegagalan proyek nasional jauh sebelumnya di Kalimantan dan Papua. Melihat sejumlah persoalan ini rekomendasi kami bagi pemerintah dan pihak terkait adalah perlu untuk melihat dan mengkaji program ini, kiranya semangat memberdayakan petani tidak berubah menjadi memperdaya petani dan memperdaya anggaran negara," kata Pdt. Jimmy.

Baru-baru ini, Bupati Humbang Hasundutan (Humbahas) Dosmar Banjarnahor mengakui, food estate di wilayahnya panen dengan hasil yang belum maksimal. Pasalnya hasil panen di food estate terganggu intensitas curah hujan yang cukup tinggi.

"Namun cukup berhasil," kata dia dikutip dari Antara, Ahad lalu.

Adapun food estate di Humbahas, di tahap awal seluas 215 hektare sudah diolah. Pengembangan tanaman bawang merah, bawang putih dan kentang. Komoditas itu ditanam karena menjadi salah satu yang menjadi pemicu inflasi.