FABA Batu Bara Mengandung Unsur Berbahaya

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Senin, 15 Maret 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Dikeluarkannya Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) batu bara dari daftar limbah B3, dinilai sebagai keputusan membahayakan. Karena batu bara mengandung berbagai jenis unsur racun, termasuk logam berat dan radioaktif. Di Cilacap, dua warga yang tinggal dekat dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) meninggal dunia, diduga terdampak FABA yang dihasilkan dari pembakaran batu bara PLTU.

Dalam konferensi pers yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) secara virtual, Minggu (14/3/2021), Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Tengah (Jateng), Fahmi Bastian mengatakan, keluarnya FABA dari daftar limbah B3 menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat Jateng, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU batu bara. Karena FABA yang dihasilkan dari operasi produksi PLTU cukup besar. Khususnya di PLTU Cilacap, FABA yang dihasilkan sekitar 26 ribu ton per 3 bulan.

Fahmi mengungkapkan, angka penderita infeksi saluran nafas akut (ISPA) di daerah ring satu PLTU Cilacap tercatat tinggi. Pada 2018 peningkatan kasus ISPA tercatat sekitar 8 ribu orang dan meningkat di tahun selanjutnya menjadi 10 ribu orang. Bahkan berdasarakan catatan Walhi Jateng, terdapat dua warga yang tinggal di sekitar PLTU, yang meninggal dunia, diduga akibat terdampak FABA yang dihasilkan PLTU.

"Di 2010 itu ada satu orang meninggal di umur 25 tahun. Yang itu rumahnya dekat sekali, hanya berjarak 100 meter dari ash yard atau kolam abunya. Di tahun 2019 muncul kembali, ada orang meninggal di umur 39 tahun. Itu jaraknya 200 meter dari coal yard atau penampungan batu baranya. Ditambah lagi, terkait dengan anak-anak, ada sekitar 15 orang yang terkena bronkitis. Itu yang juga jaraknya sekitar 100 meter, yang perkampungan atau pemukiman yang paling dekat dengan penampungan abu batu bara.," kata Fahmi.

Timbunan limbah flying ash dan bottom ash (FABA). Foto: BPPT

Dalam siaran pers yang dipublikasikan Walhi, sehari sebelumnya, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah mengungkapkan, ketika batu bara dibakar di PLTU, maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya, yakni abu terbang dan abu padat (FABA). Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium ke badan lingkungan.

"Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar. Alih-alih memperkuat implementasi pengawasan dan penjatuhan sanksi pengelolaan abu batu bara dari pembangkit yang akan memperkecil risiko paparan, pemerintah justru melonggarkan aturan pengelolaan abu batu bara dengan mengeluarkannya dari daftar Limbah B3," ujar Fajri, dalam siaran pers yang dipublikasikan Walhi, Sabtu (13/3/2021).

Banyak laporan dan fakta atas terjadinya perubahan dan penurunan kondisi lingkungan dan kesehatan warga di sekitar PLTU. Seperti yang dialami warga dan petani di Mpanau Sulawesi Tengah, Cilacap Jawa Tengah, Indramayu dan Cirebon Jawa Barat, Celukan Bawang Bali, Ombilin Sumatera Barat, Muara Maung dan Muara Enim Sumatera Selatan, dan Suralaya Banten.

Derita serupa juga dialami warga di banyak kampung di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, termasuk di Morowali Sulawesi Tengah, dimana terdapat smelter nikel, PLTU mulut tambang dan kawasan industri yang listriknya berasal dari batu bara. Itu akan segera dialami petani dan warga di Teluk Sepang Bengkulu dan banyak daerah lain yang akan dibangun pembangkit batu bara.

"82 persen PLTU batu bara berada di pesisir. Operasi dan limbah yang dihasilkan akan meracuni biota dan pangan laut pesisir yang kembali akan dikonsumsi warga. Dampak akan dialami kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya seperti anak-anak dan kelompok paling dekat seperti nelayan dan masyarakat adat," ujar Ali Akbar, Ketua Yayasan Kanopi Bengkulu.

Dalam laporan Analisis Timbulan dan Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia yang dikeluarkan oleh BAPPENAS disebutkan bahwa FABA termasuk dalam jenis limbah B3 terbanyak dihasilkan pada tahun 2019. Bahkan, Bottom Ash masuk dalam kategori limbah dengan tingkat bahaya tertinggi dengan skor 13 (dari skala 14), sedangkan Fly Ash memiliki skor 11 (dari skala 14).

Ketika FABA masih berstatus sebagai limbah B3, banyak studi kasus yang menunjukkan perizinan belum berhasil memastikan perlindungan atas risiko. Para penghasil abu maupun pihak ketiga yang mengelola abu belum betul-betul mengelola risiko dan memenuhi persyaratan teknis yang layak sebagaimana diatur dalam regulasi.

Bahkan beberapa kasus menunjukkan pemilik izin melakukan pembuangan abu ilegal tanpa pengelolaan di sungai, rawa, tanah kosong dekat rumah penduduk, maupun memberikan secara cuma-cuma kepada penduduk sebagai material urug. Kasus PT Indominco, Kalimantan Timur misalnya. Perusahaan ini sudah divonis bersalah karena pengelolaan buruk FABA, ternyata di lapangan tidak terjadi pemulihan. Nilai denda sangat kecil dan tidak membuat jera.

"Begitu juga warga di dekat PLTU Mpanau, Sulawesi Tengah. Warga yang sakit dan mengadu ke pemerintah justru diminta untuk membuktikan sendiri keterkaitannya penyakit yang diderita dengan dampak FABA operasi PLTU. Jadi perlindungan warga dari limbah FABA itu omong kosong. Apalagi sekarang ketika FABA bukan lagi beracun dan berbahaya. Dari kasus itu, kebijakan ini akan membuat pebisnis batu bara semakin ugal-ugalan membuang limbah dan terbebas dari hukum," kata Merah Johansyah Dinamisator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Di Indonesia, studi mengenai pencemaran lingkungan akibat FABA maupun dampak kesehatannya masih sangat terbatas. Informasi hasil pengujian air tanah tidak tersedia untuk diakses publik, sekalipun disyaratkan dalam pengelolaan limbah B3. Sementara, kegiatan berizin yang bertahun-tahun dianggap taat pun belum tentu benar. Seringnya, inspeksi serius dilakukan setelah keresahan masyarakat kian merebak, atau jika ada pengaduan masyarakat. Jika pun sanksi dijatuhkan, tidak selalu menjamin masyarakat terbebas dari pelanggaran berulang.

"Jangankan bicara soal informasi bagaimana limbah beracun ini dikelola, dokumen penting seperti AMDAL dan Izin Lingkungan saja susah diperoleh meski harus melewati mekanisme pengadilan. Padahal pada dokumen inilah terdapat data dan informasi bagaimana proyeksi dampak operasi perusahaan bisa dilihat, diteliti dan diawasi publik secara terbuka. Terlebih fakta betapa lemahnya pengawasan dan penegakan hukum pemerintah terhadap para penjahat lingkungan," kata Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Eksekutif Nasional dari WALHI Nasional.

Apabila pemerintah memiliki orientasi dan keinginan yang kuat pada upaya pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan hidup, mencegah bencana lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat, pemerintah harus tetap mengatur FABA batu bara sebagai jenis limbah B3. Penghapusan aturan yang terjadi saat ini dengan dalih mendorong pemanfaatan hanya akan berakhir sebagai langkah ekonomi yang berisiko tinggi.

Seperti diberitakan sebelumnya, FABA yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU) atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi, selain stocker boiler dan/atau tungku industri, dikeluarkan dari daftar Limbah Bahan Berbahaya Beracun (LB3) dan masuk dalam kategori Limbah Non-B3 Terdaftar, dengan kode limbah N106 (Fly Ash) dan N107 (Bottom Ash). Hal ini tertuang dalam lembar Lampiran XIV Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun pada lembar lampiran IX PP tersebut, FABA yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas stocker boiler dan/atau tungku industri, tercatat dalam daftar Limbah B3 dari Sumber Spesifik Khusus, dengan kode limbah B408 (Fly Ash) dan B409 (Bottom Ash), keduanya masuk dalam kategori bahaya 2.