BMKG: Puncak Kemarau Agustus 2021, Waspada Karhutla 

Penulis : Kennial Laia

Karhutla

Jumat, 26 Maret 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Potensi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diprediksi terjadi pada musim kemarau yakni periode April-September dan puncaknya bulan Agustus, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, 12 persen atau 41 zona musim akan mengalami kemarau di bawah normal atau lebih kering. Kondisi tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). 

 “Ini perlu diwaspadai karena lebih kering dari biasanya. Akan ada potensi karhutla,” kata Dwikorita dalam konferensi pers virtual, Kamis, 25 Maret 2021.  

Wilayah yang akan mengalami kekeringan lebih adalah Riau bagian utara, sebagian kecil Sumatera Barat, Bengkulu bagian pantai timur dan barat, dan sebagian Sumatera Utara. Di Pulau, Jawa Barat dan Jawa Timur juga akan mengalami kekeringan di bawah normal. 

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan bencana berulang, berdampak pada kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi. Foto: Greenpeace Indonesia

Deputi Bidang Klimatologi BMKG Drs. Herizal mengatakan, walau tidak sekering 2019, kategori ancaman bencana kebakaran hutan dan lahan menengah hingga tinggi. Potensi kebakaran diprediksi terjadi pada Mei hingga Juli di wilayah Riau bagian utara dengan kategori menengah - tinggi. Lalu meluas ke Jambi dengan kategori menengah pada bulan Juni. Kebakaran hutan dan lahan semakin meluas pada Juli. Kebakaran diprediksi akan terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Barat diprediksi pada Juli 2021. 

Pada puncak musim kemarau, yakni Agustus - September, kategori kebakaran adalah menengah hingga tinggi. Herizal mengatakan, intensitas kebakaran diprediksi semakin tinggi di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, dan sebagian Papua Selatan.

"Memasuki September, ancaman karhutla di Riau dan Jambi berkurang, namun masih tinggi di Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Papua bagian selatan," kata Herizal.