Soal Grup Bank Mitsubishi dan Deretan Nasabahnya yang Bermasalah

Penulis : Sandy Indra Pratama

Perubahan Iklim

Selasa, 06 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Mitsubishi UFJ Financial (MUFG) merupakan salah satu penyandang dana bagi banyak perusahaan terkemuka dunia yang patut diduga turut memicu perusakan hutan hujan tropis melalui produksi dan perdagangan komoditas seperti minyak sawit, bubur kertas & kertas.

Sejak 2016, dalam dokumen laporan resmi yang dirilis Tranformasi untuk Keadilan Indonesia, MUFG menyediakan hampir USD 3 Miliar pembiayaan yang berisiko terhadap terjadinya deforestasi di Asia Tenggara, Brasil, dan sebagian Afrika. Sektor bisnis yang dibiayai Mitsubishi diyakini juga merupakan kontributor utama bagi terjadinya perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati melalui perubahan penggunaan lahan yang terkait dengan pelanggaran HAM dan korupsi.

Saat ini, masih disebutkan dalam dokumen, lebih dari 60% pembiayaan MUFG berisiko terhadap hutan di  Asia Tenggara, terutama pada sektor minyak sawit, bubur kertas & kertas. MUFG sendiri merupakan penyandang dana terbesar sektor minyak sawit yang berasal dari luar Asia Tenggara.

Cara MUFG memperluas kehadirannya di Asia Tenggara melalui akuisisi termutakhirnya pada bank terbesar keenam di Indonesia, yaitu PT Bank Danamon Tbk (IDX: BDMN). Oleh karena itu MUFG terpapar risiko Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (LST) tingkat tinggi yang terkait dengan nasabahnya di sektor-sektor ini.

Ilustrasi perkebunan sawit. Foto: Koaksi Indonesia.

Siapa saja nasabah yang dimaksud? Laporan resmi Tranformasi untuk Keadilan Indonesia, menyebut beberapa korporasi yang operasional hulu bisnisnya patut diduga memiliki risiko besar terhadap kelestarian hutan di Indonesia. Berikut data nasabah MUFG diklasifikasi berdasarkan kredit yang mereka terima dari MUFG.

Di urutan pertama, ada korporasi Sinar Mas Group dengan jumlah kredit mencapai 508 juta dollar Amerika, lalu disusul Grup bisnis Marubeni dengan total penerimaan pembiayaan sebesar 401 juta dollar AS, kemudian di urutan ketiga ada Group bisnis Salim dengan 330 juta dollar AS, keempat ada Royal Golden Eagle dengan 139 juta dollar AS, Wilmar 119 juta dollar AS, Jardine Matheson 64 juta dollar AS, Olam International 53 dollar AS, Archer Daniels Midland 44 juta dollar AS, Top Glove 39 juta dollar AS dan terakhir Perkebunan Nusantara Grup sebesar 23 juta dollar AS.

Dari 10 korporasi yang disebut, koalisi masyarakat sipil mengambil sample empat grup bisnis sebagai contoh korporasi bermasalah. Pertama, Divisi minyak sawit Grup Sinar Mas (SMG), Golden Agri Resources (GAR SGX: E5H). Perusahaan ini merupakan perusahaan kelapa sawit kedua terbesar di dunia, dan telah menerima kredit sebesar USD 508 juta antara 2016 - April 2020. Hingga saat ini setidaktidaknya dua akad hutang yang masih berjalan.

Pada 2018, karyawan GAR dihukum karena menyuap pejabat pemerintah di daerah tempat operasional mereka untuk menutupi dugaan adanya perkebunan ilegal mereka di dalam kawasan hutan lindung. Kegiatan operasional SMG termasuk pelanggaran yang berulang terkait hak atas tanah, hak buruh, dan kriminalisasi masyarakat lokal yang berbeda pendapat dengan perusahaan.

Rantai pasokan bubur kayu dan kelapa sawit SMG tumpang tindih
secara meluas di lahan gambut yang mudah terbakar, hal ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara perusahaan dengan bencana kebakaran dan krisis kabut
asap terparah di Indonesia.

Kedua, divisi bubur kertas & kertas Royal Golden Eagle (RGE) yaitu APRIL, telah menerima pinjaman senilai USD 139 juta melalui MUFG Singapura (2016-April 2020). Investigasi terkini menunjukkan bahwa APRIL telah melanggar kebijakan ‘nol-deforestasi’-nya dengan menyuplai serat kayu dari pemasok yang telah membuka 15.000 hektare hutan alam selama lima tahun terakhir.

Pasokan bubur kayu APRIL sangat bergantung pada pembukaan lahan gambut dan telah mendapat peringatan atas banyaknya titik api yang meluas di perkebunan bubur kayunya. Kegiatan operasional grup bisnis bubur kayu APRIL juga terlibat dalam pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat yang tidak terselesaikan dan cukup luas sejak tiga puluh tahun yang lalu.

Perusahaan minyak sawit RGE juga telah terbukti menyuplai dari pemasok yang terlibat dalam deforestasi di Ekosistem Leuser. RGE, yang didenda USD 250 juta pada tahun 2014 karena kasus penggelapan pajak dari bisnis minyak sawitnya, kembali menjadi sasaran tuduhan baru, yaitu mengalihkan keuntungan kena pajak senilai USD 168 juta dari Indonesia ke Makau melalui ekspor bubur kertasnya.

Ketiga adalah Grup bisnis Salim yang telah menerima pinjaman senilai USD 307 juta dari MUFG (2016- April 2020), dengan setidaknya 3 akad kredit yang masih berjalan untuk Indofood Sukses Mamkur. Grup bisnis ini kemudian diketahui sudah dikeluarkan dari sertifikasi RSPO, sebab adanya pelanggaran atas >20 standar keberlanjutan mereka. Bahkan Citigroup, Rabobank, dan Standard Chartered, telah membuat keputusan secara sadar untuk menghentikan hubungan dengan grup bisnis ini.

Siang kemarin, Koalisi masyarakat sipil melakukan aksi protes di depan kantor cabang Bank Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) di Jakarta. Dalam aksinya, koalisi menyerukan agar MUFG berhenti mendanai krisis iklim melalui kucuran dana yang diberikan untuk beberapa perusahaan-perusahaan tambang dan agribisnis besar di Indonesia.

Mengapa para aktivis menggeruduk kantor MUFG? Sebab berdasarkan kajian para aktivis, MUFG dengan cepat mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Baru-baru ini mengakuisisi bank terbesar keenam di Indonesia yaitu Bank Danamon.