Belum Ada Pengakuan Hutan Adat di Tanah Papua

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Jumat, 09 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Hingga saat ini, pemerintah Indonesia telah menetapkan hutan adat seluas 44.629 hektare. Wilayah tersebut tersebar di berbagai provinsi, mulai dari Sumatera Barat hingga Sulawesi Tengah. Namun, belum satu pun hutan adat diakui di Tanah Papua.

Berdasarkan data geospasial lingkungan hidup dan kehutanan tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan 66 hutan adat seluas 44.629,84 hektare di 13 provinsi. Provinsi Kalimantan Barat dengan pengakuan hutan adat terbesar seluas 14.105,50 hektare. Kemudian disusul Jambi dengan 27 hutan adat seluas 7.802,50 hektare. Selain itu, Bali, Banten, dan Sumatera Barat, dan Sulawesi Tengah juga termasuk dalam provinsi yang diakui hutan adatnya.

Berbeda dengan Tanah Papua. Sebelumnya, KLHK memasukkan Provinsi Papua dan Papu barat dalam rekapitulasi hutan adat dalam data geospasial lingkungan hidup dan kehutanan 2019. Di situ, Papua dan Papua Barat tercatat dalam data rekapitulasi hutan adat. Masing-masing seluas 18.839,43 hektare dan 2.554,19 hektare.

Sebaliknya, Tanah Papua masuk dalam program perhutanan sosial pada 2020 yang terbagi dalam beberapa skema kehutanan. Di Papua, misalnya, terdapat hutan desa seluas 60.547 hektare. Sementara itu hutan desa di Papua Barat mencapai 58.553 hektare. Skema lainnya, seperti hutan kemasyarakatan, mencakup lahan seluas 277 hektare dan 1.895 hektare di Papua dan Papua Barat. Khusus di Provinsi Papua, saat ini terdapat hutan tanaman rakyat seluas 17.180 hektare dan kemitraan kehutanan 1.112 hektare. 

Suku Moi adalah salah satu masyarakat adat yang tinggal di hutan Papua. Foto: AMAN

Data KLHK 2019, ada usulan hutan adat seluas 9,3 juta hektare dari para pihak. Dari luas tersebut, 6.551.305 hektare berada di dalam kawasan hutan; terbagi atas 3.660.813 hektare dengan produk hukum dan 2.890.492 hektare tanpa produk hukum. 

Produk hukum tersebut terbagi dalam empat kluster, yakni 6.495 hektare dengan perda pengakuan masyarakat adat; serta 185.622 hektare memiliki perda pengaturan dan surat keputusan pengakuan. Lalu, 226.896 hektare dilampiri dengan SK pengakuan masyarakat adat; 3.067.819 hektare perda pengaturan; dan 274.771 hektare produk hukum lain.

Berdasarkan fungsi kawasan, wilayah adat di dalam hutan produksi paling luas yakni 171.233,24 hektare, diikuti hutan lindung 126.344,07, hutan konservasi 97.604,59 hektare, dan Area Penggunaan Lain 77.799,33 hektare. 

Bagaimana dengan pengakuan hutan di Tanah Papua?

Eksekutif Direktur Walhi Papua Aiesh Rumbekwan mengatakan, hingga saat ini  pengakuan hutan adat di Tanah Papua berjalan di tempat. Selain itu, ruang kelola masyarakat adat juga terbatas lantaran tumpang-tindih regulasi.

Menurut Aiesh, salah satu instrumen yang memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk mengelola hutannya adalah Peraturan Khusus Daerah Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

“Tapi aturan ini tidak berkalan karena negara lagi-lagi memberikan prasyarat soal NSPK atau norma, standar, prosedur dan kriteria, dan ini diatur oleh pemerintah pusat,” kata Aiesh kepada Betahita, Selasa, 6 April 2021.

Aiesh mengatakan, peraturan negara termasuk Undang-Undang Nomor 41 telah menjauhkan masyarakat adat dari hutan yang merupakan penghidupan dan bagian dari identitas Orang Asli Papua. 

Hal itu diperparah oleh terbitnya Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut Aiesh, kedua regulasi itu akan semakin menjauhkan pemenuhan hak masyarakat adat atas tanah. Dia khawatir, konflik lahan dan kerusakan lingkungan semakin tinggi di Tanah Papua. 

Aiesh mendesak pemerintah agar melihat hutan dari perspektif Orang Asli Papua. Secara historis, daratan Papua dibagi berdasarkan marga yang ditempati oleh berbagai suku dari generasi ke generasi.

“Secara historis, masyakarat adat itu berpikir hutan merupakan milik marga. Tapi ketika mereka mau kelola, tidak bisa. Ini karena selalu berbenturan dengan aturan,” jelas Aiesh.

“Dengan kondisi sekarang, mungkin mengelola hutan adat bagi masyarakat itu seperti mimpi,” kata Aiesh mengeluh.