KLHK Bantah Deforestasi Jadi Penyebab Banjir Bandang NTT

Penulis : Tim Betahita

Deforestasi

Jumat, 09 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim tak dipengaruhi oleh penebangan hutan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada kawasan tersebut. Terdapat tiga DAS yang berfungsi menampung air hujan di wilayah yang kini terdampak banjir, yakni DAS Wailewonara, DAS Waigeli dan DAS Werang.

“Kami lihat dalam kawasan hutan (di area DAS). Setelah kita cek, sebetulnya di Waigeli ada tanah terbuka cuma 26,7 hektare saja, kecil. DAS Werang cuma 1,1 hektare, itu lahan kering," Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai KLHK, Saparis Soedarjanto seperti ditulis CNNIndonesia.com.

Pada ketiga kawasan DAS tersebut, Saparis mengatakan luas lahan hutan yang kritis hanya 1,9 hektare dari luas keseluruhan ketiga DAS yang mencapai 3.600 hektare.

Menurutnya, proporsi tersebut tidak menunjukkan deforestasi berdampak signifikan dalam mendorong bencana banjir bandang ataupun longsor.

Hutan yang sebagian sudah gundul

"Berarti sebetulnya ya enggak bener juga mengenai anggapan deforestasi (salah satu faktor banjir)," katanya.

Saparis menjelaskan selain karena curah hujan ekstrem akibat siklon tropis seroja, banjir NTT juga disebabkan kondisi geografis di wilayah yang terdampak.

Ia mengatakan area terdampak banjir memiliki pergerakan air di permukaan lahan atau limpasan yang termasuk ekstrem. Sehingga limpasan air umumnya cukup tinggi.

Kondisi ini dikarenakan banyaknya lereng yang terjal pada wilayah tersebut. Longsor yang sering terjadi wilayah itu kemudian membentuk bendungan alami.

Ketika hujan deras mengguyur NTT pada Sabtu (3/4), bendungan alami tersebut tidak cukup kuat menahan air. Sehingga bendungan runtuh, air meluap, dan banjir menggenangi NTT dengan arus yang deras dan tinggi.

"Hujannya deras sekali, sehingga kecepatan (air) tinggi sekali. Seperti air bah. Kemudian diperparah kondisi di hulu banyak longsor kecil, karena lerengnya terjal dan gampang lepas," jelas Saparis.

Dengan kondisi seperti ini, Saparis mengatakan pemerintah harus mengevaluasi tata ruang di wilayah tersebut. Ia menyebut wilayah rawan banjir tidak boleh diisi pemukiman.

Jika relokasi tidak memungkinkan, pemerintah harus mengedukasi masyarakat setempat agar bisa beradaptasi dengan bahaya bencana. Teknologi deteksi dini juga harus ditingkatkan.

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkap korban meninggal banjir NTT kini sudah mencapai 138 orang. Banjir menggenang wilayah tersebut sejak 4 April 2021.

Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan siklon tropis seroja sebagai penyebab cuaca ekstrem yang melanda NTT. BMKG memproyeksi siklon tropis bakal sering terjadi ke depannya karena pemanasan global.