Greenpeace Desak Evaluasi Deforestasi Terencana Tanah Papua

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Minggu, 11 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi di halaman kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menggunakan alat peraga pohon dan asap buatan yang menggambarkan kerusakan hutan Tanah Papua, akibat pembukaan hutan untuk kepentingan perkebunan, Kamis pekan lalu. Aksi ini merupakan bentuk desakan kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap deforestasi terencana di Tanah Papua.

Sejumlah poster atau pesan menghiasi aksi ini. Di antaranya bertuliskan Cabut Izin Perusahaan Perusak Hutan Papua dan Selamatkan Masyarakat Adat Papua, hingga taggar #sayabersamahutanpapua, sebagai tuntutan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan atas kebijakan yang menjadikan hutan di Tanah Papua sebagai target deforestasi terencana.

Aksi ini menyusul laporan Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua yang dirilis oleh Greenpeace International pada Selasa (6/4/2021) kemarin Laporan tersebut mengungkap indikasi dugaan pelanggaran dalam pemberian izin terhadap 25 dari 32 perusahaan yang memperoleh pelepasan kawasan hutan di Provinsi Papua, antara 2011-2019. Yang mana izin tersebut terbit pada saat Zulkifli Hasan menjabat sebagai Menteri Kehutanan (2009-2014) dan juga di era Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

"Kami melaporkan indikasi adanya dugaan pelanggaran kebijakan yang mengobral hutan di Tanah Papua sekaligus mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan hukum, termasuk meminta Menteri LHK Siti Nurbaya untuk mengevaluasi kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan sawit tersebut," kata Asep Komarudin Juru Kampanye Hutan
Greenpeace Indonesia.

Sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi di halaman kantor KLHK, sebagai bentuk desakan terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap deforestasi terencana di Tanah Papua./Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Asep melanjutkan, KLHK berulang kali menyebut deforestasi di Papua dan Papua Barat berasal dari perizinan sebelum masa pemerintahan Joko Widodo. Namun masalah deforestasi tidak selesai dengan hanya menyalahkan pemerintahan sebelumnya. Menurut Asep, pemerintah saat ini justru punya kewenangan untuk mengusut dan mencabut izin yang diduga melanggar peraturan.

Munculnya perizinan di Tanah Papua diduga melibatkan banyak kepentingan bisnis, pejabat negara dan anggota partai politik yang berpengaruh serta pensiunan jenderal polisi. Perizinan tersebut banyak melanggar aturan seperti tidak memiliki AMDAL, izin yang diduga dipalsukan dan melakukan aktivitas tanpa Hak Guna Usaha serta menyembunyikan kepemilikan.

Hal ini diperburuk dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja yang memberi peluang lebih besar bagi oligarki politik dan bisnis untuk mempengaruhi pengambilan keputusan izin investasi di kawasan hutan Papua.

"Kami meminta KLHK untuk melanjutkan dan melakukan penyidikan lebih dalam terkait dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para perusahaan sesuai kewenangan yang dimiliki oleh KLHK. Sementara hutan yang belum dikonversi menjadi perkebunan bisa diselamatkan dan dikembalikan kepada masyarakat adat Papua."

Ekspansi besar di Papua telah menimbulkan banyak dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat adat Papua. Tak jarang hal ini memunculkan kasus sengketa lahan dan menempatkan masyarakat adat hanya sebagai penonton, saat tanah mereka diserahkan kepada perusahaan tanpa persetujuan masyarakat adat.

Juru Kampanye Hutan Papua, Greenpeace Indonesia, Nico Wamafma menyebut, dugaan adanya manipulasi ini telah membelah dan merusak harmoni kehidupan komunitas adat, karena hutan Papua itu sumber mata pencaharian dan praktek kebudayaan masyarakat adat.

"Pemerintah harus menempatkan masyarakat adat pemilik tanah ulayat sebagai aktor utama dalam mengelola lahan dan hutan, bukan mendahulukan kepentingan investasi yang hanya menguntungkan segelintir kelompok," kata Nico.