Para Tokoh Adat Sorong Selatan Desak Pencabutan Izin Sawit

Penulis : Sandy Indra Pratama

Sawit

Sabtu, 10 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Para tokoh masyarakat adat dari 12 kampung di Kabupaten Sorong Selatan, yang terdampak dan terancam oleh aktivitas bisnis perkebunan kelapa sawit, mendesak pencabutan izin perkebunan yang menyengsarakan mereka. Bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan organisasi mahasiswa Sorong dan Tambrauw, mereka menggelar jumpa media dengan membagikan pernyataan sikap bersama tertulis, Sabtu, 10 April 2021.

Dalam surat pernyataan bersama yang diterima betahita, para tokoh masyarakat menyatakan menolak berbagai izin-izin pengembangan usaha perkebunan sawit yang sedang dan akan berlangsung di tanah dan hutan adat milik masyarakat adat.

Menurut para tokoh adat, izin-izin dan praktik usaha perkebunan tersebut melanggar hak-hak adat dan hak-hak hukum masyarakat adat, terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), tidak adil dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat,kerusakan dan kelestarian lingkungan hidup.

Adrianus Kameray, tokoh masyarakat adat Kampung Bariat, Distrik Konda,Kabupaten Sorong Selatan, menjelaskan warga adatnya resah karena pemerintah memberikan izin kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Anugerah Sakti Internusa, tanpa persetujuan masyarakat luas di Distrik Konda.

Para tokoh adat Sorong Selatan, mahasiswa dan elemen perjuangan lainnya menyerukan penolakan terhadap pemberian izin yang terus dilakukan oleh pemerintah di wilayah adat mereka. (Dok. Yayasan Pusaka)

“Kami menolak perusahaan dan izin-izin perkebunan kelapa sawit, karena tanah dan hutan adat kami kecil, terdapat hutan keramat yang dilindungi.”, jelas Adrianus Kameray.

Pemerintah daerah dan nasional, menurut para tokoh adat, dianggap abai dan belum sungguh-sungguh mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Secara khusus masyarakat adat Papua yang berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Sorong Selatan.

Masyarakat adat disekitar hutan dan areal perkebunan kelapa sawit kehilangan hak atas tanah, kehilangan sumber mata pencaharian, berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan orang-orang pendukung perusahaan.

Masyarakat adat minta pemerintah untuk menghentikan pembukaan lahan baru dan membatasi lahan perkebunan.

“Kami minta perusahaan tidak menggusur hutan adat tersisa. Kami korban dan memohon pemerintah dan perusahaan menghormati dan melindungi hak masyarakat”, ujar Yanti Worait, tokoh perempuan dari Kampung Ikana, Distrik Kais Darat.

Sebelumnya, aksi keprihatinan yang sama juga digelar sedikitnya 30 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua berunjukrasa di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu, 7 April 2021. Dalam koridor perjuangan yang sama mereka juga menyuarakan soal betapa buruknya pengakuan pemerintah terhadap hak-hak adat masyarakat di Tanah Papua.

Deforestasi atau hilangnya tutupan hutan alam di Indonesia saat ini telah mencapai angka 9,9 juta hektare. Itu terjadi hampir di seluruh wilayah provinsi kaya hutan. Termasuk di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat). Salah satu pelaku utama deforestasi di Bumi Cendrawasih ini adalah industri ekstraktif yang kian hari makin menjamur.

Berdasarkan data hasil analisis deforestasi di Tanah Papua, yang dikerjakan Yayasan Auriga Nusantara. Total luas hilangnya hutan alam di pulau kaya sumber daya alam ini dari tahun ke tahun angkanya terus bertambah. Luas hutan alam di Tanah Papua sendiri tercatat sebesar kurang lebih 33.710.523,22 hektare. Namun dalam dua dekade terakhir, sekitar 663.443 hektare hutan alam di sana diketahui lenyap.

Lenyapnya tutupan hutan alam itu 29 persen di antaranya terjadi pada 2001-2010 dan 71 persen lainnya terjadi dalam rentang waktu 2011-2019. Bila diambil rata-rata, per tahunnya ada sekitar 34.918 hektare hutan alam hilang di Tanah Papua. Tertinggi terjadi pada 2015, yang menghilangkan 89.881 hektare hutan alam.