Terobosan Anyar Penanganan Kasus Perdagangan Ilegal Satwa Liar

Penulis : Sandy Indra Pratama

Hukum

Rabu, 14 April 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar (TSL) merupakan satu jenis kejahatan lingkungan yang paling banyak diproses hukum di Indonesia. Jenis kejahatan ini, selalu menempati urutan kedua sengketa lingkungan hidup setelah pembalakan liar.

Dari data Pengegakan Hukum KLHK, jumlah kasus setiap tahunnya dalam lima tahun belakangan selalu menyentuh angka di atas 50 kasus. Paling tinggi pada 2019 yang mencapai 65 kasus dalam setahun.

Dalam dokumen policy brief yang diterbitkan Auriga Nusantara, dengan tajuk “Gugatan Perdata Lingkungan Hidup” respon baru terhadap perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia, maraknya kasus perdagangan ilegal TSL berskala besar menimbulkan kerusakan yang sangat besar pula — tak hanya terhadap individu tumbuhan dan satwa, tetapi juga terhadap lingkungan secara luas, masyarakat dan ekonomi.

Dampak ini termasuk dampak pada kelangsungan hidup spesies, pada jasa ekosistem, pada mata pencaharian masyarakat, pada keuntungan dari ekowisata, pada potensi pajak, dan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dan organisasi lingkungan.

Komodo (Varanus komodoensis) merupakan satwa dilindungi dan endemik. Komodo hanya berhabitat di kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Foto: Achmad Ariefyandi/Komodo Survival Program

Sekumpulan dampak yang disebut tadi sebenarnya tidak dapat dipulihkan melalui sanksi denda dan penjara yang relatif rendah pada penegakan hukum pidana. Oleh karenanya, dibutuhkan respon baru untuk penanganan kasus semacam itu.

“Gugatan perdata memungkinkan penggugat untuk meminta pertanggungjawaban dalam bentuk pemulihan sebagai ganti rugi atas berbagai dampak kerusakan lingkungan,” ujar Direktur Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra menjelaskan kepada betahita.

Ganti kerugian ini, kata Roni, dapat berupa tindakan restorasi, kompensasi finansial bagi swasta, hingga menagih permintaan maaf banyak pihak yang diduga terlibat dalam kasus, meski hanya berupa pembiaran.

“Indonesia berulang kali menjadi contoh bagi negara-negara lain, dalam penerapan hukum lingkungan dengan memanfaatkan instrumen perdata untuk menggugat pemulihan bagi kerusakan lingkungan,” kata Roni. (Baca juga: Gugatan Perdata Walhi Soal Satwa Jadi yang Pertama di Indonesia)

Pendekatan ini, seperti ditulis laporan Auriga, telah digunakan setidaknya dalam 15 kasus sejak 2009, termasuk untuk kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran, polusi dan pertambangan. Pendekatan ini dipandang sebagai terobosan dalam penegakan hukum karena memungkinkan pertanggungjawaban dalam bentuk pemulihan lingkungan.

Pekan lalu, PT Nuansa Alam Nusantara (NAN), pemilik Kebun Binatang Mini yang ada di Kabupaten Padang Lawas Utara digugat, karena memelihara satwa yang dilindungi tanpa izin. Gugatan tersebut diajukan oleh WAHLI Sumatera Utara (Sumut) dan LBH Medan di Pengadilan Negeri (PN) Padang Sidempuan, pada pekan lalu, dengan nomor perkara 9/Pdt.G/LH/2021/PN Psp. Berdasarkan catatan, gugatan perdata ini merupakan gugatan perdata terkait satwa pertama di Indonesia.

Kebun Binatang Mini itu diketahui telah dioperasikan secara ilegal tanpa izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Dengan memelihara sejumlah hewan paling langka dan ikonik di Indonesia. Termasuk orangutan sumatera, komodo dan banyak spesies burung yang dilindungi seperti cendrawasih, kakatua dan kasuari. Secara keseluruhan, ada setidaknya 43 hewan dari 18 spesies, yang semuanya dilindungi undang-undang dan diperdagangkan secara ilegal dari alam liar.